xi. evaluation

935 189 54
                                    

“Aku tunggu di luar aja.”

Siyeon berhenti di depan pintu ruang BEM. Di luar sudah ada Jinyoung dan Felix yang menunggu Jeno setelah acara dinyatakan selesai oleh Jeno tadi, beberapa menit yang lalu.

“Kalo gitu kamu tunggu di sini, sama Eunbin.”

Siyeon hanya mengangguk, ia mengeratkan blazer Jeno karena dirinya merasa cukup kedinginan. “Langsung ganti baju aja. Nanti ke sini lagi.” Kata Jeno sebelum masuk ke ruang BEM.

Pintu ruangan BEM terbuka lebar, menampilkan Jeno yang berjalan masuk bersama Jinyoung dan Felix. Auranya jadi berbeda. Renjun dan Jaemin bahkan ikut dalam evaluasi yang selalu diadakan, atau dikatakan wajib bagi panitia.

“Malam,” sapa Jeno yang baru saja duduk di kursi tunggal yang ditemani dengan sederet kursi di kiri dan kanan Jeno.

“Malam,” jawab mereka semua.

Semuanya terheran-heran. Mengira Jeno akan datang sambil melemparkan barang-barang kepada panitia divisi perlengkapan busana. Tetapi, cowok itu tetap tenang di kursinya yang menjadikannya pusat perhatian saat ini.

“Sebelum mulai evaluasi, kita berdoa dulu. Berdoa dimulai.”

Semuanya menunduk, termasuk Jeno. Mereka memanjatkan doa-doa syukur mereka sampai satu suara membangunkan semuanya. “Berdoa selesai.”

Jeno membuka laporan yang sudah mereka rencanakan dari berminggu-minggu yang lalu. Matanya hanya fokus pada sekumpulan kertas yang sudah dijilid dengan tampilan kertas mika di depan dan belakang kertas berwarna biru.

“Udah pada makan?” tanya Jeno tetapi matanya masih fokus pada lembaran laporan.

“Sudah,” jawab semuanya.

Jeno terkekeh. “Kompak banget kayak kombatan aja.”

“Jeno.” Panggil Renjun, mengingatkan.

Bunyi grasak-grusuk dari luar pintu membuat Jeno menoleh sekilas. Siyeon sudah mengganti bajunya menjadi baju yang lebih nyaman lagi. Menganalisa Siyeon sudah berganti pakaian, membuat Jeno semakin kesal dibuatnya.

“Sekarang udah jam berapa ya?” tanya Jeno.

“Sebelas malam.” Jawab Felix.

Jeno mendongak. Matanya menyorot ke seluruh isi ruangan ini, membuat mereka semakin tegang.

“Shift malam mulai jam berapa, ya?” tanya Jeno kedua kalinya.

Tidak ada yang jawab.

“Kalo gak ada yang jawab, gue anggap mulainya jam sebelas malam sekarang ini, boleh?” suara Jeno menggema di ruangan karena tidak ada yang bersuara selain dirinya dan bunyi tik-tik jarum jam.

“Heran gue kenapa pada mau jadi anggota BEM, tapi sekalinya ditanya gak ada yang nyahut. Lo pada masih hidup kan ya? Napas lo semua aja gak kedengeran di telinga gue.”

Benar-benar sulit untuk Felix menelan salivanya mendengar ucapan Jeno. Ternyata Jeno tidak emosi melempar barang tetapi emosi menggunakan kalimat-kalimat yang tajam.

“Jam delapan malam tadi mulai shift malam,” jawab Felix.

“Yang lain kemana?” tanya Jeno, ia menatap semua anggota BEM yang berpartisipasi menjadi panitia. “Udah pada jago yah, gak perlu evaluasi lagi deh gue. Gue balik duluan ya.”

Jeno mulai berdiri. Tetapi, langkahnya terhenti saat melihat Felix langsung menunduk. “Evaluasi kita Jeno.”

“Buat penjaga stand. Kerja bagus. Buat divisi acara, kerja yang sangat bagus. Buat divisi hubungan masyarakat dan dokumentasi, udah bagus banget. Buat divisi dekorasi, semuanya rapih.”

[✓] OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang