Pandu datang membawa ayam panggang yang penataannya sangat cantik. Retno sangat terpukau melihatnya. Sepertinya memang benar kalau Pandu ini terbiasa hidup dan memasak sendiri. "Tenang, kamu gak usah khawatir gitu. Rasa ayamnya not bad kok." Kata Pandu yang melihat Retno melihat ayam panggangnya dengan serius.
"Aku yakin enak. Aku ngeliatin terus itu karena ayam panggangnya cantik banget." Puji Retno dengan jujur.
Pandu tertawa. "Kayaknya cuman kamu deh yang bilang gitu. Ibu saya malah bilang masakan saya itu masih amburadul."
Kali ini giliran Retno yang tergelak. "Kalau masakan kamu amburadul gimana saya?."
"Ayo dimakan." Pandu menyimpan ayam panggangnya dimeja makan Retno. "Saya pulang dulu."
Retno kembali menahan tangan Pandu. "Udah disini aja mas. Makan bareng saya."
Retno selalu saja cuek, sementara Pandu sudah berdebar-debar karena tangannya kembali disentuh. Pandu bingung dengan dirinya sendiri, kenapa tubuhnya selalu bereaksi seperti itu bila berdekatan dengan Retno. "Gak apa-apa emangnya?." Tanya Pandu karena takut mengganggu sarapan pagi Retno.
"Ya gak apa-apa lah mas." Retno berdiri untuk mengambil piring dan sendok juga garpu. "Tunggu sebentar. "
Retno dan Pandu pun akhirnya sarapan pagi bersama sambil mengobrol banyak hal. Mulai dari pekerjaan di kantor sampai mengenai seputar apartemen. Selama mengobrol Pandu merasa Retno membangun benteng yang tinggi mengenai hal pribadanya. Sehingga Pandu pun hanya berani membicarakan topik seputar pekerjaan dan tempat tinggal saja.
"Mau berangkat bareng?." Tanya Pandu ketika selesai makan.
"Saya bawa mobil sendiri aja mas." Jawab Retno merasa tidak enak. Pandu sudah terlalu baik dan sebagai wanita pun Retno bisa merasakan kalau Pandu memiliki ketertarikan padanya.
"Bener?."
"Iya mas. Lagipula saya kalau dandan lama banget."
"Oke deh, kalau gitu saya pulang dulu ya. Saya juga mau siap-siap. Sampai ketemu dikantor." Pandu berdiri kemudian merapihkan piring dan sendok kotor.
"Mas udah gak usah. Nanti suka ada yang dateng kok."
"Udah gak apa-apa cuman cuci piring sedikit aja kok. Saya udah biasa." Pandu mencuci piring yang kotor, sementara Retno yang terbiasa tau beres hanya melihat saja di meja makan. Terakhir kali dia cuci piring, beberapa piring meluncur indah ke lantai karena terlalu banyak sabun kemudian pecah. Maka dari itu daripada menambah pekerjaan lebih baik diam saja menonton. Setelah selesai cuci piring Pandu benar-benar pamit keluar dari unit Retno. Bertepatan dengan itu telepon seluler Retno berdering. Nama Lina terlihat di layar handphone Retno. "Apa Lin?."
"Eh malem ini kita ketemu yuk, tapi jangan di luar. Di rumah lo aja. Gue mau curhat nih."
"Ayok boleh. Gue... juga mau cerita." Retno masih bimbang haruskah dia bercerita mengenai rasa sukanya pada Bima?.
"Oke. Si Fera juga tadi bilang katanya mau ada yang diceritain alias lagi galau juga."
"Oke kalau gitu. Ya udah gue mau siap-siap dulu ya Na. Udah siang."
"Iya gue juga lagi mau siap-siap nih. Sampei ketemu nanti malem. Bye."
"Bye." Telepon pun ditutup oleh Retno kemudian bergegas untuk bersiap-siap dan pergi ke kantor. Di kantor Retno bertemu dengan Bimo yang juga sedang menunggu lift. Dengan perasaan bimbang Retno mendekati Bimo. "Pagi Pak Bimo." Sapa Retno sopan. Dalam hati Retno bersyukur hari ini dia berdandan cantik dan maksimal. Bajunya pun baru, hasil perburuan hari libur kemarin di mall. Retno memasang senyum lebar dan manis
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Kaki
RomanceTertarik dengan seseorang yang pernah dia sia-siakan di masa lalu adalah hal yang berat sekaligus rumit bagi Retno. Apalagi kalau seseorang ini sudah memiliki keluarga. Bimo, laki-laki yang pernah dicampakkan olehnya perlahan telah membuatnya jatuh...