Tidak bisa menjawab dengan cepat, Retno diam untuk sesaat. Pikirannya berkecamuk. Bingung dan bimbang. Haruskah jujur atau menutupi saja?. Perasan bersalah juga takut mendominasi Retno. "Retno.." panggil Pandu karena Retno malah melamun.
"Sorry... em.. itu kado dari karyawan." Retno memutuskan untuk menutupi saja. Dirinya akan berusaha menutupi jejak yang ditinggalkan oleh Bimo dan Aldi. Jauh dalam dirinya Retno sadar akan apa yang dilakukannya, tapi Retno benar-benar tidak ingin kehilangan Pandu. Bagaikan seorang anak kecil yang tidak ingin mainannya hilang atau direbut oleh siapapun, maka dia akan mempertahankan mainannya dengan cara apapun.
"Ada yang mau aku bilang sama kamu." Pandu menoleh pada Retno. "Aku mau keluar dari cafe Mas Bimo. Aku gak bisa disana terus. Gak mau semakin ngerasa punya hutang budi karena kebaikan Mas Bimo." Beritahu Pandu pada Retno dengan sangat serius.
Retno berdiri dari duduknya kemudian duduk di atas paha Pandu. Untuk beberapa detik Pandu kaget atas sikap Retno itu. "Mas, aku bakal terus dukung apapun yang kamu lakuin. Kita bisa bikin usaha sendiri." Bahkan degup jantung Pandu semakin cepat saat Retno menyandarkan kepala pada pundaknya. "Mas, aku baru tau pundak mas enak di jadiin sandaran."
"Dijadiin temen curhat lebih enak lagi."
Spontan Retno langsung tertawa. "Bukannya sering ya?."
"Enggak, yang aku rasain kamu masih belum terbuka sama aku. Banyak hal yang aku belum tau tentang kamu." Raut wajah Pandu sedih. Suasana mendadak hening untuk beberapa saat sampai akhirnya Pandu buka suara lagi. "Tapi aku yakin lama kelamaan kamu bakal pelan-pelan terbuka sama aku." Lanjut Pandu lirih. Tanpa perlu melihat wajah Pandu, Retno tau kalau calon suaminya mengatakan hal itu dengan sebuah perasaan sedih yang cukup dalam dan tidak berdaya.
Diam saja adalah hal yang dirasa tepat oleh Retno di keadaan seperti ini. Retno memilih tutup mata saja dan terus bersandar pada bahu Pandu. Menikmati udara malam yang terasa dingin dan menyejukkan, tapi hangat karena dekat dengan Pandu.
**Beberapa hari selanjutnya di pagi hari sebelum Retno berangkat kerja, dirinya dikejutkan oleh sebuah amplop yang dibawa oleh penjaga apartemen. Amplop itu berwarna hitam. Mendadak hati Retno merasa takut bahkan sebelum membuka surat itu. Di meja makan Retno membuka suratnya dengan perlahan dan isi suratnya ternyata cukup pendek, namun mampu membuat Retno ketakutan sekaligus marah dengan degup jantung menggila.
"Sebaiknya sebelum kamu melakukan sesuatu pertimbangkan dulu baik dan buruknya karena kamu mungkin tidak sadar sudah menyakiti orang lain. Menjadi seorang pelakor, contohnya. Akui saja dan minta maaf lah sebelum terlambat."
Hal yang ada dipikiran Retno pertama kali adalah surat ini berasal dari adik tirinya, Poppy. Dilipat kembali surat itu kemudian dimasukkan ke dalam tasnya. Sekarang juga Retno berniat ingin ke rumah Poppy, tapi baru saja berdiri Pandu masuk ke dalam unitnya. "Morning, mau berangkat sekarang?. Atau mau sarapan bubur Mang Ujang dulu?."
Gugup awalnya dengan kedatangan Pandu, tapi lama-lama Retno mencoba mengontrol dirinya sendiri. "Em... aku udah sarapan kok mas. Aku harus buru-buru pergi dulu, ada keperluan penting."
Pandu yang sudah memakai kemeja rapih berwarna biru langit berubah cemas. "Kenapa?. Ada sesuatu?. Biar aku anter, gimana?."
Langsung menggeleng Retno mendapatkan penawaran Pandu itu. Kan bisa ketahuan, pikir Retno. "Gak perlu, kamu kan pasti harus ke kantor pagi-pagi mas."
Tapi dasarnya Pandu yang bucin, jelas tidak akan membiarkan Retno pergi sendirian apalagi sekarang ini Pandu lebih possive dari sebelumnya. "Gak apa-apa. Hari ini aku nyantei, ada meeting diluar soalnya. Udah ya aku anterin aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Kaki
RomanceTertarik dengan seseorang yang pernah dia sia-siakan di masa lalu adalah hal yang berat sekaligus rumit bagi Retno. Apalagi kalau seseorang ini sudah memiliki keluarga. Bimo, laki-laki yang pernah dicampakkan olehnya perlahan telah membuatnya jatuh...