15 - Sebuah Pilihan

1.5K 152 8
                                    

Setelah kedatangan Bimo yang terasa membingungkan. Paginya Retno dikejutkan
oleh kedatangan mamahnya. "Mah, tumben." Kata Retno setelah mengikat rambutnya yang baru bangun tidur kemudian mengambil air minum di meja.

Mamah Retno yang terlihat masih sangat muda dan cantik duduk di meja makan dengan tablet yang selalu ada di tangannya. Beliau duduk dengan sangat elegan. Tidak terlihat sedikitpun kalau mamahnya kurang tidur. Mungkin karena perawatan mahal yang dijalani untuk membuat wajahnya tetap terlihat cerah dan cantik. "Mamah kesini mau pastiin gaun yang udah jadi pas di pake sama kamu." Matanya melirik sekilas Retno sebelum kemudian fokus lagi pada tabletnya.

"Bukan karena pengen masakin aku makanan?." Tanya Retno pelan.

Mamahnya langsung terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Retno. Tablet yang sedari tadi jadi perhatiannya disimpan terlebih dulu di atas meja. "Kamu tumben ngomong gitu. Ada apa?. Kan kamu tau sendiri kalau mamah gak bisa masak."

Tubuh Retno langsung maju. Mirip anak kecil yang ditawari es krim. "Gak apa-apa kok mah gak enak juga. Aku pasti makan."

Tubuh mamahnya ikut maju dan menyimpan tangannya di atas tangan Retno. "Mamah khawatir, kamu gak kenapa-kenapa kan?." Retno menyandarkan kembali tubuhnya dengan kesal. "Kamu aneh deh pagi ini. Oke, bilang sama mamah, kamu mau apa?. Kamu gak suka tempat ini?. Atau kamu mau makanan di restaurant mana?."

Kebiasaan, pikir Retno.

"Lupain aja. Aku gak pengen apa-apa." Retno berdiri dari duduknya. "Aku yakin mamah kesini gak cuman mau mastiin baju kondangan aku pas kan?."

Mamahnya menghela nafas. "Ketauan. Mamah cuma pengen nanya, bener kamu lagi deket sama karyawan di kantor Om Aryo?."

Deg...

"Mamah tau dari Om Aryo langsung. Katanya gosipnya udah meluas." Lanjut mamahnya.

"Apa sih mah?. Kenapa mamah sekarang seolah peduli sama aku?. Biasanya juga enggak." Retno menyender di kitchen set dengan mata yang lurus menatap ibunya.

"Ya gak kenapa-kenapa, mamah cuma pengen liat aja. Kata Om Aryo sih cowoknya kamu yang sekarang ini pinter banget dan berpotensi." Retno makin tidak mengerti dengan arah pembicaraan mamahnya. "Gimana kalau kalian secepatnya resmiin hubungan, kan dia jadi bisa ikut andil di kantor papah. Kamu gak mau dong si Aldi, yang bakal jadi suami Poppy itu yang ngambil alih?."

Kata orang sabar itu sebenarnya gak ada batasnya. Teori itu Retno coba mencocoklogikan dengan keadaan saat ini. Dirinya mencoba untuk terus bersabar pada ibunya. "Mah, aku gak peduli soal harta. Aku cuman mau cowok yang baik dan hubungan kita gak direcoki sama mamah. Biarin kita mandiri. Lagian Mas Pandu yang sekarang udah cukup kok buat aku."

Mamah Retno berdiri dari duduk kemudian mendekat pada anaknya. "Tapi kan kalau kerja di kantor papah lebih potensial sayang. Lagian kamu rela Poppy ngambil alih perusahaan papah yag sebenarnya adalah warisan eyang buat mamah?. Kan kamu cucu kandungnya, bukan Poppy. Lagipula kalau gak mamah recoki, liat kan buktinya?. kamu sama Aldi ternyata jadi malah kayak sekarang. Gagal." Retno sadar sekarang kalau mamahnya sedang merayu dan Retno juga cukup sadar kalau ternyata mamahnya memang tidak punya hati disaat mengatakan kalau dia sudah gagal dengan lancarnya. "Oke kalau kamu gak mau, berarti kamu yang kerja disana. Gimana?." Mamahnya semakin menggenggam tangan Retno. "Please, Retno kamu ngertiin. Ini bukan masalah uangnya, tapi perusahaan itu dibangun kakek kamu dengan susah payah."

Retno yang akan selalu marah jika dibahas mengenai hal itu langsung menghujani mamahnya dengan tatapan membunuh. "Mah, kita dulu kan udah sepakat kalau mamah gak akan paksa-paksa aku lagi."

"Terus gimana dong sayang?. Papah kemarin udah mulai ngajak si Aldi ke kantor. Mamah takut eyang di alam sana marah sama mamah karena mamah gak bisa jaga perusahaannya." Perasaan iba langsung muncul saat melihat mamahnya duduk dengan helaan nafas yang berat.

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang