Klimaks

1.7K 156 21
                                    

Tidak bisa menghindar lagi, itu yang tergambar saat Retno melihat keberadaan Bimo dihadapannya. Mau tidak mau dia harus maju dan berusaha seperti tidak pernah ada apa-apa. "Hai.. Mas Bimo." Sapa Retno datar.

"Retno, kamu sendirian?." Tanya Bimo dengan wajah berbinar-binar sembari menunggu pesanannya.

Tidak menjawab, Retno memilih tersenyum saja kemudian memesan makanan pada pedagangnya. "Mas Joko biasa ya pecel ayamnya dua, yang satu nasinya biasa, yang satu lagi nasi uduk. Dua-duanya sambelnya pedes. Oh ya pake kol goreng yang nasi uduk." Mas Joko berteriak siap dari posisinya yang sedang menggoreng bahan sambal kemudian asisten Mas Joko yang tidak jauh dari Mas Joko langsung menuangkan teh panas lagi ketika melihat kedatangan Retno.

"Kamu berdua?, sama siapa kesini?." Bimo celingak-celinguk ke arah luar tenda. "Kamu kayaknya udah biasa ya makan disini. Kalau saya baru pertama kali dateng kesini."

Retno yang duduk berjarak sekitar satu meter dari Bimo mendengarkan Bimo sebagai sopan santun saja. Walaupun sebenarnya Retno sedang tidak ingin bicara dengan Bimo. Selain takut Pandu akan berpikir macam-macam, dia takut kalau hatinya belum bisa biasa-biasa saja pada Bimo. "Aku biasa kesini sama Mas Pandu, sekarang juga aku kesini sama Mas Pandu. Dia lagi ke ATM dulu." Jelas Retno dengan mata yang tidak menatap Bimo. Dirinya justru malah sibuk meminum air teh panas yang sudah disuguhkan oleh asisten Mas Joko.

Meski sudah Bimo duga bahwa Retno kemari dengan Pandu, tapi saat mendengarnya langsung dari mulut Retno dirinya merasa sedih. "Em.... Gimana sepatunya?. Kamu suka?. Apa cukup?."

Deg... mendengar pertanyaan Bimo itu jantung Retno berdegup kencang. "Em...cukup. Terima kasih, mas. Aku suka kok." Jeda... "Kenapa Mas Bimo tau ukuran kaki aku?."

Tawa kecil Bimo keluar secara spontan. "Kamu lupa?, saya kan pernah belikan kamu sandal waktu di Bandung dan saya masih inget."

Ditengah percakapan itu tiba-tiba Mas Joko batuk. "Uhuk... uhuk..."

"Itu terakhir ya aku nerima barang dari Mas Bimo..."

Awalnya Bimo diam, tapi akhirnya Bimo bersuara kembali. "Aku gak main-main waktu bilang bakal nunggu kamu. Aku bakal terus nunggu jawaban kamu."

"Aduh... itu e... mbak..., uhuk..."

Keadaan kedai Mas Joko yang hanya di isi oleh Bimo dan Retno jelas batuk Mas Joko yang tidak biasa itu membuat Retno bertanya, "kenapa mas?."

Lirikan mata Mas Joko pada arah belakang Retno serentak mengalihkan pandangan Retno dan Bimo. "Mas Pandu." Retno seketika langsung berdiri karena kaget.

Diamnya Pandu yang menakutkan tidak hanya membuat Retno saja yang ketakutan, tapi juga Mas Joko yang sedang asyik mengulek sambel ikut merasa deg-degan. Mas Joko sampai sesekali memantau keadaan, takut sampai terjadi perkelahian. Mungkin memang sudah kehendak Tuhan, pikir Mas Joko dalam diam. Beberapa menit lalu turun hujan deras dan kedai jadi sepi. Tidak terbayang kalau kedai ramai seperti biasanya mungkin dia akan melewatkan momen langka ini dan pertengkaran keduanya pun akan menjadi pusat perhatian.

"Makan sendirian aja, mas?." Pandangan mata Pandu sangat sinis dan tidak suka. Senyum yang biasanya mengembang untuk siapa saja seketika menghilang.

Bimo yang duduk saja meskipun melihat Pandu datang malah memulai makan dan menjawab Pandu dengan anggukan saja. Terlihat sekali perubahan wajah Bimo ketika melihat kedatangan Pandu. Tidak senang dan malas.

"Kemana Mbak Windi, mas?." Tanya Pandu lagi sembari duduk dibangku panjang yang berbeda dengan Bimo.

Kali ini Bimo mengangkat wajahnya kemudian menjawab, "saya baru pisah sama Winda."

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang