20 - Acara Pertunangan

1.6K 145 2
                                    

Udara dingin dengan suara hujan yang rintik-rintik menambah kegalauan dihati Retno yang akan melakukan lamaran beberapa jam lagi. Tangannya yang ikut gelisah saling bertautan hingga berkeringat. Hatinya tidak menentu. Apalagi pikirannya yang berkeliaran jauh memikirkan apakah keputusannya ini sudah benar atau tidak?. Entah kenapa ketakutan  tiba-tiba menyelimuti Retno.

"No..." tepukan dari bahu membuat Retno berhenti melamun. "Ngelamunin apa sih?."

Retno kembali melihat tetesan air di jendela hotel. "Gue lagi berpikir aja, udah betul belum ya keputusan gue ini, Fer?."

Melihat temannya galau Fera duduk di hadapan Retno lalu memberikan air minum yang tadi dia beli di minimarket. "Minum dulu nih, biar segeran."  Tidak ada sambutan dari Retno, Fera membukakan minuman teh yang ada dalam kemasan botol kemudian di berikan lagi pada Retno. "Minum dulu, No."

Mau tidak mau mata Retno melirik pada Fera lalu akhirnya mengambil minuman itu. "Thanks. Lina mana?."

Senyum meneduhkan Fera langsung terbit setelah Retno sudah bisa diajak ngobrol. "Katanya sih masih di jalan." Fera ikut membuka teh dalam kemasan botol untuk dirinya sendiri. "Udah deh, No. Gak usah terlalu banyak dipikirin. Menurut gue, Pandu itu bakal jadi suami yang baik buat lo. Dia bakal bisa bikin lo cinta banget dan bahagia."

Retno langsung menghentikan minumnya kemudian bertanya pada Fera dengan serius. "Kok lo yakin banget?."

"Keliatan lah dari wajahnya yang ganteng kayak malaikat, udah gitu feeling aja. Kita kan dulu tiap hari liat cowok brengsek di club." Balas Fera dengan begitu yakinnya. "Gue serius." Lanjut Fera saat Retno terlihat tersenyum sekilas di ujung bibirnya seperti menertawakan teori Fera itu. "Si Nino contohnya, dari tampangnya aja kan udah keliatan brengsek, eh bener kan dia kayak gitu?."

"Kok jadi si Nino?." Retno tertawa.

"Inget gak kalau gue sama Lina mau ngerjain dia?. Kita beneran ngerjain dia loh. Berhasil dan fix dia gila." Fera menceritakan dengan emosi. Retno jadi merasa tertarik, masalahnya Fera ini tidak seperti Lina yang gampang heboh. Retno mencondongkan tubuhnya untuk lebih mendekat pada Fera. "Si Nino itu kan ketemuan sama gue sama Lina. Nah ceritanya... gila emang ini idenya si Lina aduh geli gue mau ngomongnya juga." Fera tertawa.

Kedua alis Retno mengkerut. "Kenapa?. Firasat gue gak enak."

Fera membisiki Retno, "ngikutin si Nino dengan bilang ngajak si Nino gituan bertiga waktu kita ketemu di cafe."

"What?!." Mata Retno melotot sempurna. Ide Lina memang selalu gila dan out of the box, tapi sayangnya selalu berhasil juga. "Gila..."

Fera makin tertawa keras. "Ya kan?. Itu gila banget emang. Gue aja kaget. Nah oke next, si Nino itu udah disuruh booking hotel dan segala macemnya lah. Si Lina minta yang paling mahal lagi kamarnya dan minat di Bandung. Tau klimaksnya?." Cerita Fera makin membuat Retno tertarik. "Pas perjalan ke Bandung kita berdua turunin si Nino di pinggir tol, tengah malem setelah sebelumnya si Lina nyiram dia pake air mineral dan meringatin dia buat jangan macem-macem sama lo."

"Emang si Nino gak curiga dari awal kalau kalian temen gue?."

"Dia tau, tapi tau lah si Lina banyak akalnya. Bilang kalau kita udah gak temanan lah. Gue juga kagum sama si Lina, jago banget akting sama ngomongnya. Eh tapi tenang, gue juga berperan kok No. Gue yang ngeludahin mukanya."

"Gila kalian..." Retno tidak habis pikir dengan kedua sahabatnya itu, tapi mungkin kalau diantara Lina dan Fera juga di perlakukan seperti itu Retno akan melakukan hal yang sama. "Thanks ya. Gila sih cara kalian berdua balas dendamnya, tapi gue terharu banget."

"Ah apa sih, kan kita sahabat. Gue gak terima lo di perlakukan kayak gitu sama dia." Fera tertawa lagi. "Lo harusnya liat waktu si Nino teriak-teriak di pinggir tol pas kita tinggalin. Padahal ya dia gak perlu teriak-teriak loh, kan dia bawa handphone sama dompet. Ah dasar manja aja tuh cowok, gayanya aja sok ngelecehin cewek eh baru dikerjain gitu aja nangis." Fera berapi-api. Fera memang paling tidak suka dan mentolerir pria yang melecehkan wanita.

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang