38 - Suatu Hubungan

1.1K 150 7
                                    

Hai...
Maaf Sabtu dan Minggu kemarin aku ada urusan dan kebetulan Senin kemarin yang harusnya udah up, internet di rumah lagi gangguan. Jadi saya mint maaf ya
Jangan lupa vote sama komentarnya.

"Ini ada Mbak Winda." Seru Wulan seperti pemberitahuan pada beberapa orang yang ada di halaman belakang. Yudha sekilas melirik pada Retno dan Pandu.

Seorang perempuan berkerudung dengan pakaian gamis panjang yang dipakainya berjalan bersebelahan dengan Wulan. Wajah senang tercetak jelas pada Winda mengetahui kalau suaminya memang benar ada disana. "Maaf ya mbak aku nyusulin kesini. Habis aku sendirian dirumah, bosen. Anak-anak lagi pada di neneknya. Jadi aku pilih nyusul aja deh ke sini. Untung dulu pernah ke sini diajak Mas Bimo. Kalau enggak, mungkin aku bisa nyasar." Jelas Winda yang sebenarnya merasa tidak enak.

"Udah gak apa-apa. Sekalian aja makan-makan disini." Balas Wulan tersenyum kaku. Bukan tidak suka istri dari teman suaminya itu datang, tapi takut kalau terjadi perkelahian dan keributan di rumahnya. Apalagi yang menjadi pihak ketiga adalah adik iparnya sendiri. Dirinya jelas berada di posisi yang sulit.

Wajah Winda tersenyum sumuringah. "Makasih banyak ya. Saya udah lama gak ketemu sama suami. Sibuk banget dia....." obrolan Winda terhenti saat melihat kedatangan suaminya dari arah dapur. "Eh.. Mas Bimo." Wajah Winda semkain berseri dan tersenyum bahagia melihat Bimo. Berbanding terbalik dengan Bimo yang hanya memberikan seulas senyuman.

Retno melihat dengan pandangan yang membingungkan dari tempat duduknya. Dirinya tidak tau jelas apa yang dirasakannya. Apakah takut?, cemas?, ataukah lega?. Semua itu terasa nyata bagi Retno. Namun, semua rasa yang berat itu perlahan meringan setelah tangan Pandu memegang sebelah tangan Retno. Kemudian memberikan senyuman yang ajaibnya selalu bisa membuat hati Retno tenang. Sedang dalam keadaan apapun dirinya. Entah itu kesulitan ataukah menghadapi satu beban yang berat, hati Retno menjadi tenang setelah melihat senyuman Pandu itu.

"Kamu..., kenapa bisa sampai kesini?." Tanya Bimo saat berjalan ke arah meja makan bersampingan dengan istrinya. Matanya melirik sesaat ke arah Retno. "Bukannya kamu mau ke rumah ibu bareng anak-anak?." Lanjut Bimo.

Sambil menarik kursinya untuk duduk di meja makan Winda tertawa. "Anak-anak udah ke rumah ibu, tapi aku bosen disana. Jadi aku putusin buat susul kamu kesini." Jawab Winda membuat alasan.

"Gak perlu ditanya kali Bim, Winda kangen tuh. Masa sih lo gak ngerti?. Lo sih udah kayak Bang Toyib aja." Timpal Yudha dengan nada santai padahal ingin menyindir Bimo dengan keras. Wulan yang menyadari hal itu melirik suaminya. Takut kalau Yudha akan mengatkan hal lebih panjang detail lagi yang akan berujung pada kenyataan dan berakhir pada pertengkaran.

"Kan yang penting sekarang disini jadi tambah rame. Udah, ayo Mbak Winda dimakan dulu. Pasti capek nyetir sendiri dari Jakarta ke sini, mana malem minggu lagi." Wulan yang kembali berusaha mengalihkan pembicaraan demi kenyamanan bersama. Lagipula bagi Wulan, masalah ini adalah masalah rumah tangga Bimo dan Winda. Tidak ada yang berhak untuk masuk, termasuk suaminya. Jadi Wulan hitung-hitung ingin mengingatkan Yudha akan batasannya.

Winda berterima kasih pada Wulan. "Aduh maaf ya semuanya, aku jadi ikutan begini." Saat sedang melihat pada semuanya, Winda baru menyadari kehadiran Retno. "Eh... ada Retno. Oh iya saya lupa, kamu kan adiknya Yudha. Abisnya sih pas pertama kali kenal kamu gak bilang. Jadi saya masih suka lupa." Kata Winda begitu ramah. "Hai Pandu... udah lama mbak gak liat kamu."

Pandu yang merasa tidak enak tersenyum kaku. "Iya mbak. Apa kabar?. Gimana kabarnya Mila sama Sierra?." Tanya Pandu penuh sopan santun.

Mila?. Sierra?. Retno mempertanyakan nama perempuan yang disebutkan oleh Pandu. Bahkan mata Retno melirik pada Pandu.

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang