16 - Kenyataan Sebenarnya

1.8K 163 3
                                    

Retno memang terlihat tenang dan tegas saat di gudang bersama dengan Bimo, tapi sesungguhnya perasan Retno sangat tidak karuan. Jantungnya berdebar-debar gelisah, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Bimo dan sesungguhnya Retno penasaran kenapa gudang yang menjadi tempat mereka untuk bicara?.

Berbanding terbalik dengan Retno, raut wajah Bimo
lebih cemas dan gelisah. Bahkan Bimo beberapa kali menarik nafas panjang. Tangannya pun tampak tidak bisa tenang. Retno baru melihat lagi setelah sekian lama Bimo yang gugup seperti sekarang. Di kantor, saat persentasi atau memberikan arahan Bimo terlihat begitu percaya diri.

"Ngomong aja langsung mas. Gak perlu sungkan, aku bisa terima semua omongan yang buruk kok. Gak usah ragu."

Bimo menunduk lalu akhirnya mengatakan hal yang membuat Retno bingung. "Saya masih punya perasaan yang sama." Terdengar pelan memang, namun masih bisa terdengar.

Jantung Retno berdetak sangat cepat setelah mendengarkan jawaban dari Bimo. "Hah?. Gimana maksudnya?." Retno tidak mau menduga hal yang akan menyakitkan pada akhirnya.

"Saya kira, saya udah gak punya perasaan sama kamu, tapi setelah kemarin..." Bimo menarik nafasnya berat. "Ternyata saya malah terus kepikiran kamu. Saya bahkan masih peduli sama kamu. Mata saya juga berkhianat setiap ada kamu di dekat saya." Bimo menarik nafas lagi untuk kesekian kalinya. "Saya ngerasa bersalah sekali, apalagi ketika saya melihat istri saya dirumah. Dia istri yang baik." Pengakuan yang keluar dari mulut Bimo membuat Retno terkejut. Ditambah wajah Bimo yang terlihat sangat sedih dan menyesal. Tidak pernah Retno melihat Bimo seperti ini. Bahkan ketika dia menolaknya dulu. "Saya gak suka, sangat gak suka saat ada orang yang kasar sama kamu. Pikiran saya jadi terus cemas sama kamu." Bimo mengusap wajahnya sendiri dengan kesal. "Saya sudah coba sangkal, tapi tetap saja pikiran saya itu ke kamu. Sampai saya berpikir, mungkin supaya hati tenang saya bakal coba jaga kamu sebisa saya dari jauh."

Kalau dikira Retno akan terenyuh dan terharu, itu salah. Yang dirasakan Retno justru kesal dan sedih. "Kenapa sih harus bilang sama saya?. Saya udah berhasil ngejauh, punya hubungan serius sama Mas Pandu. Jadi apa sih maksud Mas Bimo bilang semua ini sekarang?. Dari awal kan udah bohong kalau mas udah ilang rasa sama saya, bahkan minta saya ngejauh. Lalu buat apa sekarang jujur?. Lebih baik kan Mas Bimo bohong terus." Nafas Retno tersengal-sengal saat mengatakannya tanpa jeda. Retno tidak tau harus bagaimana bersikap dan menyikapinya. Hatinya terlalu kaget mendapatkan pengakuan segamblang itu dari Bimo.

"Saya juga gak minta hubungan apa-apa sama kamu. Saya hanya menjelaskan alasan sikap-sikap saya selama ini sama kamu. Saya juga masih punya istri dan masih punya iman." Balas Bimo tegas.

Retno kesal. Dirinya merasa direndahkan. "Dan saya juga punya Mas Pandu." Retno menunjuk dada Bimo dengan satu telunjuknya kemudian berbalik pergi.

"Retno. Please jangan bicara tentang ini ke siapapun termasuk Pandu. Saya mengajak kamu ke sini karena saya tidak ingin ada yang melihat kita."

Retno mendengus. "Tenang aja mas. Saya juga malu kok mau bilang tentang ini." Retno jadi tau kenapa Bimo mengajaknya bicara di gudang. Bimo benar-benar punya perasaan padanya dan dia takut kalau sampai ada satu orang pun yang lihat ataupun mendengar apa yang akan dikatakannya.
**

Kedua tangan Retno mencengkeram pinggiran wastafel dengan kuat. Beberapa kali Retno bahkan mengambil nafasnya kuat-kuat. Tidak mengerti sedikitpun dengan jalan pikiran Bimo. Retno jadi menyesal menanyakannya tadi. Awalnya Retno ingin berbicara dengan Bimo itu untuk mengatakan kalau dia sudah memilih masa depannya bersama Pandu, jadi Bimo tidak perlu khawatir lagi akan keberadaannya.

Retno sudah berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia tidak akan terpengaruh oleh Bimo sedikitpun. Pandu sudah benar-benar dipilihnya. "Oke, Retno kamu gak terpengaruh sedikitpun sama pengakuan Bimo tadi. Huh." Retno menegakkan kepala dan tubuhnya sambil memandang dirinya di cermin. Membenahi pakaiannya dan menata ulang make up nya. Retno terus menatap matanya di cermin kemudian berbicara dalam hati untuk tetap pada pilihannya.

"Retno, kemana aja?. Acaranya udah mau mulai." Pandu menyambutnya saat dia akan duduk kembali di tempatnya.

Mencari alasan yang tepat untuk beberapa detik. "Maaf mas, tadi aku di toilet. Betulin make up. Biasalah cewek."

"Syukur, aku takut kamu kenapa-kenapa. Mau telepon, handphone ku tadi kan dititip sama kamu."

Retno tersenyum atas perhatian Pandu. "Iya handphone mas kan ada di tas aku. Mau diambil?."

"Pandu, acaranya mulai aja sekarang." Bimo datang ketika Retno baru saja mengajukan pertanyaan pada Pandu. Saat itu juga Retno memilih melihat objek lain, daripada harus melihat Bimo. Apalagi sampai harus bertatap-tatapan mata.

Sebelum sempat menjawab pertanyaan Retno tadi Pandu pergi ke panggung dengan pamit terlebih dulu pada Retno dengan tergesa-gesa. Bimo melirik Retno yang sama sekali tidak ingin mendekat atau melihatnya. "Yudha tau tentang perasaan saya saat ini." Ucap Bimo pelan.

Retno menoleh cepat. "Apaan sih mas harus bilang sama Bang Yudha segala?."

Jawaban Retno yang kaget dan culas tidak menggentarkan tatapan Bimo yang terus melihat lurus ke depan seolah memperhatikan Pandu. "Yudha sangat protektif kalau menyangkut urusan kamu. Jadi saya pikir Yudha harus tau, supaya dia bisa mengingatkan kalau-kalau saya salah melangkah. Kita gak pernah tau sedetik kemudian kita akan berani melakukan hal apa."

"Tapi apa harus bilang sama Bang Yudha?." Retno masih bisa tidak terima dengan hal yang Bimo lakukan. Dia tidak mau membuat Yudha khawatir karena memikirkannya.

Bimo masih tidak terganggu oleh Retno yang emosinya sudah naik. "Yudha sangat sayang sama kamu. Dia pernah bilang walaupun kamu dan Yudha tidak memiliki ikatan darah, tapi Yudha sangat menyanyangi kamu."

Rasanya seperti ditusuk oleh belati setiap Retno mendengar kan kenyataan kalau Yudha dan dirinya tidak satu darah. Retno lebih berharap kalau Poppy lah yang tidak sedarahnya dengannya.

Yudha diangkat ketika masih bayi berumur dua bulan oleh kedua orang tua Retno dengan niat untuk memancing kehadiran bayi setelah tiga tahun menikah, tapi belum diberi keturunan. Dan terbukti setelah satu tahun mengadopsi Yudha akhirnya mamah Retno hamil. Mamah Retno sangat menyanyangi Yudha dan Retno, tapi papahnya tidak begitu. Apalagi setelah kedua orang tua Yudha yang datang dan meminta bantuan uang. Alasan itulah yang membuat papahnya tidak pernah menginginkan Yudha untuk menggantikannya di perusahaan. Papahnya lebih menunjuk Retno atau Poppy. Jadi itulah kenapa Retno selalu merasa sedih jika ada yang mengungkit kalau Yudha bukan kakak kandungnya. Perlakuan tidak adil yang diberikan papahnya pada Yudha membuat Retno geram. Padahal selama ini yang tulus sayang kepadanya dan mamahnya adalah Yudha. Bahkan Yudha lah yang selalu menjaganya, tidak seperti Poppy yang malah menusuknya dari belakang.

Air mata Retno tidak tersadar jatuh dengan cepatnya kemudian bertepuk tangan dengan poker face-nya saat bertepatan dengan Pandu yang memulai acara. "Karena Bang Yudha sayang sama aku jadi aku pengen mas gak menceritakan hal yang akan membuat dia khawatir." Bisik Retno.
**

Perjalanan pulang dari cafe ke rumah dilalui Retno dengan diam. Pandu khawatir akan perubahan Retno karena pasalnya ketika perjalanan ke cafe tadi Retno banyak bicara. Pandu sempat menanyakannya sekali, tapi jawaban Retno hanya sedang capek saja, tapi tentu saja Pandu tau perubahan mood Retno itu bukan karena capek. Retno terlihat gelisah dalam diamnya. Jadi Pandu yakin ada sesuatu yang dipikirkan oleh Retno.

"Mas Pandu, boleh aku minta sesuatu?." Tanya Retno dengan wajah penuh harap, Pandu yang dasarnya sangat mencintai Retno langsung menyambut pertanyaan Retno dengan, "boleh. Kamu ingin apa?."

Retno membasahi bibirnya sebelum berbicara. "Sebelum ke ibu sabtu besok gimana kalau kita ke Bandung dulu. Aku mau kita ke rumah Bang Yudha. Setiap laki-laki yang mau serius sama aku harus ngomong dulu sama Bang Yudha. Mas Pandu ngerti kan maksud aku?."

Pandu langsung tersenyum. "Jelas ngerti lah, No. Aku kan dari awal emang udah niat serius sama kamu. Kalau kamu perlu lebih yakin lagi, aku juga siap ketemu mamah sama papah kamu."

Wajah Retno langsung berbinar. "Mereka nanti aja. Yang penting Bang Yudha dulu."

"Retno aku pikir kamu itu kenapa daritadi diem." Pandu mengacak rambut Retno dengan gemas.

Retno tersenyum sangat manis. "Ya aku takutnya mas belum mau bicara sama Bang Yudha."

"Kamu sendiri kan yang bilang buat jangan saling sungkan."

Aku bakal buat Bang Yudha yakin kalau dia gak perlu khawatirin aku sama Mas Bimo.
**

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang