Keadaan terasa menegangkan bagi Retno, apalagi disaat Pandu memberhentikan mobilnya ka tepi jalan dan berniat mencari handphone yang berdering tersebut. "Mas, kok berhenti?."
Pandu menoleh ke kanan dan ke kiri sambil terus memasang kupingnya dengan waspada. Mencari arah suara. "Itu hapenya bunyi terus, No. Kamu punya handphone dua?." Tanya Pandu santai. Tidak ada pertanyaan menuntut ataupun marah-marah. Bahkan pertanyaan itu terdengar santai, tapi sebenarnya Retno sadar kalau Pandu mulai cemas.
"Enggak..." jawab Retno bimbang. Kedua jawaban itu akan membawanya kedalam jurang.
Gerakan Pandu terhenti. "Terus ini handphone siapa?." Nada cemas semakin terdengar oleh Retno. "Apa kamu tadi pulang bareng orang lain?." Hening.... Retno tidak bisa menjawab. "Atau... ada orang lain yang masuk ke mobil ini?." Lanjut Pandu menebak-nebak, Retno semakin bingung untuk menjawabnya.
Kriiing...
Handphone itu berapa kali berhenti berdering, tapi berapa kali juga berbunyi kembali. Hati Retno semakin ketar-ketir ketakutan. Tidak tau harus bicara apa dan bagaimana lagi. Pandu terus saja mencari. "Ah... ketemu." Nada girang sangat terdengar jelas dari mulut Pandu.
Retno menutup rapat matanya. Kenyataan sebentar lagi akan datang menghampirinya. Kemarahan Pandu akan terdengar. Retno hanya tinggal menunggu. Pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Dirinya pernah menerima kemarahan besar dari seorang Aldi yang bahkan pernah beberapa kali memukulnya. Jadi Retno sudah siap saat harus menerima kemarahan Pandu yang Retno sendiri belum tau bagaimana jika Pandu sudah marah.
"Dikunci handphonenya. Gak ada fotonya juga." Kata Pandu.
Kaget. Retno membuka matanya. Perasaan lega muncul, tapi bercampur dengan rasa cemas juga. Lega karena itu artinya Pandu tidak akan tau mengenai dirinya yang pulang dengan Bimo. Tapi pertanyaannya harus sampai kapan Retno menutupi ini semuanya?. Hati Retno tidak tenang. Perasaannya selalu dihantui oleh perasaan bersalah, takut akan kehilangan dan juga ketahuan secara tiba-tiba. "Hah?."
Beberapa kali Pandu memutar-mutar handphone Bimo yang ada di tangannya. Berharap ada petunjuk mengenai siapa pemiliknya. "Pola angka passwordnya." Kata Pandu benar-benar penasaran.
"Mungkin... mungkin itu punya supir papahnya Kak Wulan. Kan, waktu itu mobilku sempet di pinjem sama Kak Wulan." Untuk kesekian kalinya Retno berbohong. Wulan padahal tidak sekalipun meminjam mobilnya. Ini lah sebabnya Retno merasa takut kalau kebohongan tidak jadi terbongkar, dirinya harus berbohong terus menerus. Namun, ketakutan lebih besar daripada itu adalah Retno harus kehilangan Pandu membuat Retno juga enggan untuk mengakuinya pada Pandu.
Kedua alis Pandu tertekuk hingga menyatu. Sekian detik diam memandangi handphone didepannya dengan pikiran penuh. "Mungkin tadi supirnya Kak Wulan itu telepon buat cari handphonenya. Ya udah kita tunggu aja dulu, nanti pasti ada telepon lagi." Handphone itu diletakkan Pandu di dashboard. Retno menghembuskan nafas lega. Melirik handphone Bimo yang membawa petaka itu. Ingin sekali handphone itu dibawa terus dibuang saja, tapi jika seperti itu akan keliatan sekali.
**Di rumah Lina yang hanya ditinggali oleh Lina sendiri, Retno datang dengan lemas. Lina yang sebenarnya tidak tau akan kedatangan Retno merasa kaget. "Retno..."
Tanpa menjawab salam Lina saat membuka pintu, Retno masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa ruang tamu milik Lina. "Gue mau curhat. Kepala gue udah mau pecah nih." Retno mengacak rambutnya sendiri hingga berantakan, Lina yang melihatnya sampai bingung sendiri.
"Kenapa lagi sih lo?. Masalah katering?." Lina ikut duduk di samping sahabatnya itu.
Retno menggeleng lemah sebagai jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Kaki
RomansaTertarik dengan seseorang yang pernah dia sia-siakan di masa lalu adalah hal yang berat sekaligus rumit bagi Retno. Apalagi kalau seseorang ini sudah memiliki keluarga. Bimo, laki-laki yang pernah dicampakkan olehnya perlahan telah membuatnya jatuh...