9 - Puncak Kekesalan

1.5K 154 7
                                    

"Mas, kok diem aja sih?." Tanya Retno karena Pandu diam saja melihatnya.

"Ah sorry..." Pandu langsung bergerak cepat dengan membawa handuk yang tersedia di kamar mandi kemudian menutup air yang keluar itu dengan handuk. "Biar saya hubungi orang yang bisa perbaiki kran air."

Retno bernafas lega. "Syukur... saya gak tau apa-apa soalnya."

Pandu membawa handuk lagi kemudian memberikannya pada Retno. "Kamu kebasahan." Katanya singkat kemudian keluar dari kamar mandi. Retno merasakan firasat tidak enak. Kepalanya langsung menunduk, matanya membulat saat melihat dalamannya terlihat jelas. Handuk yang tadi diberikan oleh Pandu langsung dia pakai untuk menutupinya. Saat sudah berpakaian ulang dan memperbaiki riasannya, Retno keluar dari kamarnya. Pandu sedang duduk menelpon seseorang.

"Barusan saya telepon orang yang biasa perbaiki kran bocor, dia bakal datang beberapa menit lagi."

"Oke, terima kasih mas. Tapi gimana ya?, kita kan mau pergi sebentar lagi terus gimana tukangnya?. siapa yang mengawasi di sini?." Tanya Retno bingung, dia tidak mungkin melepaskan kesempatan untuk acara keluarga Bima saat ini.

"Em... kalau ibu gimana?. Saya tadi sudah mau menawarkan tapi saya takut kamu..."

"Hah?. Gak apa-apa memang Tante Kinanti?." Potong Retno.

"Gak apa-apa, tadi saya udah telepon ibu dan beliau sendiri yang menawarkannya. Tapi saya takut kamu gak nyaman."

"Ya ampun, gak nyaman gimana sih?. Saya gak apa-apa kok. Malah saya seneng dan ngerasa kebantu banget."

"Oke kalau gitu saya telepon ibu dulu."
**

Retno menghirup napasnya berulang kali saat Pandu sudah mematikan mesin mobilnya. Perasaan Retno mulai tidak tenang saat tinggal beberapa detik lagi dia harus bertemu dengan Bimo dan juga keluarganya. Retno tidak tau seperti apa istri Bimo apalagi kehidupan keluarganya. "Kamu gak apa-apa No?." Pandu menyadarkan Retno dari pikirannya yang melayang-layang.

"Hah?.... ah ya, sorry. Saya gak apa-apa kok."

Pandu merasa tidak yakin dengan ucapan Retno, tapi Pandu simpan saja dan memilih tersenyum kecil. "Oke kalau gitu kita turun."

Retno dan Pandu turun dari mobil, keduanya langsung disambut oleh suasana meriah dari rumah megah milik Bima. Tampak Bimo dan seorang perempuan cantik berdiri didepan pintu sedang mengobrol dengan beberapa orang. Perempuan itu terlihat ramah dan anggun dengan dress panjang semata kaki berwarna pink pastel. Sementara Bimo yang selalu terlihat kaku dan formal hanya tersenyum sesekali saja.

"Mas Pandu..," panggilan dari istri Bimo membuat Retno bersiap menyiapkan dirinya untuk terlihat menawan dan cantik. Satu helaan nafas tegas cukup bagi Retno untuk meyakinkan dirinya kalau dia sudah siap. "Wah bawa gandengan nih sekarang. Boleh dikenalin mbak cantiknya?." Lanjut istri Bimo saat Pandu semakin mendekat dengannya.

"Ehm... "Pandu merasa tidak enak kalau harus mengakui Retno karena dia takut Retno tidak mau dan juga tidak suka.

"Kenalin mbak saya Retno. Pacar Mas Pandu." Retno mengambil alih Pandu. Mata Pandu langsung terkejut tapi beberapa saat kemudian satu sudut bibirnya tertarik dengan wajah yang menunduk malu.

Istri Bimo tersenyum sangat lebar. "Wah... saya seneng dengernya. Akhirnya Mas Pandu punya pacar juga. Kenalkan saya Winda. Istri Mas Bimo." Winda yang tersenyum lebar menggandeng suaminya yang berwajah datar bahkan kepala Windapun disandarkan dengan mesra di bahu Bimo.

"Selamat siang Pak Bimo. Terima kasih atas undangannya." Alih Retno berbicara pada Bimo dengan mata yang menatap Bimo lurus.

"Oh... Mas juga kenal sama Retno?." Istri Bimo terkejut.

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang