33 - Tekad Besar

979 164 21
                                    

Sesuai janji, hari ini aku update lebih banyak.
Gimana?. Masih penasaran?
Jangan lupa vote sama komentarnya ya
Enjoy..

Tiga hari berlalu Retno selalu masuk ke unit Pandu. Berharap bisa bertemu dan melihat Pandu sudah pulang, tapi sia-sia Pandu tidak ada disana. Kabar dari Dela, Pandu sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. Tidak keluar dari ruangannya kalau bukan hanya untuk ke toilet atau kebutuhan mendesak. Retno jadi mulai khawatir kalau Pandu akan sakit. Pada akhirnya Retno mengambil keputusan untuk datang ke kantor Pandu saat sudah selesai jam kerja. Sayang, seperti sudah tau rencana Retno itu Pandu tidak ada di kantor. Menurut satpam disana Pandu sudah pulang. Retno merasa bahagia bukan main. Dengan perasan senang yang menyelimuti hatinya Retno segera mengemudikan mobilnya menuju apartemen.

"Mas..." seru Retno ketika masuk ke dalam unit Pandu. Benar saja, Pandu sedang duduk di depan komputer yang ada di kamar.

Pandu yang masih memasang wajah paling dingin itu hanya menatap Retno dalam beberapa detik saja kemudian matanya fokus lagi pada komputer yang ada di hadapannya. Sakit hati memang, tapi sekarang Retno tidak mempermasalahkan sikap dingin Pandu itu. Bisa melihat Pandu saja, Retno sudah bahagia. "Kalau mas gak mau pulang ke sini karena gak mau liat aku, Mas Pandu gak usah kayak gitu lagi ya biar aku aja yang nginep diluar. Aku bisa pindah atau tinggal di rumah mamah." Kata Retno karena kasihan pada Pandu.

"Gak perlu." Jawab Pandu singkat.

Retno menghela nafas. Dirinya ikut duduk di sofa yang ada didepan Pandu. "Mas, aku mau ngomong." Pandu yang sedari tadi seperti sedang sibuk pada layar komputer begitu mendengar hal itu berhenti kemudian menyender pada kursi kebesarannya dengan mata yang tertutup. Seperti sedang tidur.

Dari sofa, Retno bisa melihat yang dilakukan Pandu itu. Mungkin Pandu belum mau bicara padanya, tapi Retno tidak mau menyerah dan tetap akan mengeluarkan apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya. "Mas, tolong jangan kayak gini. Aku lebih baik denger mas marah-marah sama aku daripada kayak sekarang. Aku gak kuat kalau harus dihukum kayak gini. Mas boleh ngatain aku apa aja, tapi jangan kayak gini mas." Pinta Retno dengan suara mulai serak.

Mendengar Retno berkata dengan seperti itu Pandu tetap diam.

"Mas, ngomong. Jangan diem terus." Kata Retno lagi karena Pandu terus diam.

Ditengah keheningan itu, tidak disangka Pandu mulai bersuara. "Aku belum mau banyak ngomong. Aku takut bicara sesuatu yang bakal aku sesalin nantinya. Emosi kadang membawa kita ke jurang."

Lagi-lagi Retno merasa benar juga dengan apa yang dikatakan oleh Pandu. "Tapi seenggaknya gak apa-apa sesekali kalau kita harus berantem. Pasangan memang kayak gitu kan?. Daripada kayak gini, keadaan bakal berlarut-larut dan masalah gak akan selesai." Balas Retno mengemukakan pendapatnya.

Pandu membuka matanya kemudian duduk menatap Retno. "Mungkin masalah lain bisa selesai kalau dibicarain, tapi kalau masalah perasaan kamu yang masih gamang?. Yakin bisa?."

Masih dengan posisi duduk Retno menjawab. "Udah aku bilang kan?. Aku pilih kamu. Kenapa?. Karena Mas Pandu yang bisa bikin aku bahagia."

Wajah Pandu memerah. Segala emosi dan amarahnya tertahan hingga semua urat di keningnya terlihat menonjol. "Kalau gitu kenapa kamu masih ikut pergi sama Mas Bimo kemarin?. Padahal jelas kamu bisa nolak dan ikut aku masuk. Kamu jelas masih lebih milih dia."

Hati Retno hancur, dia memang salah mengenai hal itu. Benar kata Pandu, ini tidak bisa diselesaikan oleh siapapun. Hanya dirinya sendiri yang bisa.

"Kamu gak bisa harepin bahagia dari aku, Retno. Yang bisa buat bahagia kamu itu diri kamu sendiri. Kamu yang harus pilih sama siapa kamu mau bahagia. Aku cuma sebuah pilihan, yang mungkin kamu pilih atau kamu buang." Kata-kata menusuk yang diucapkan Pandu membuat Retno semakin merasa bingung. Apakah benar kalau hatinya masih lebih memilih Bimo dibanding Pandu?. Retno tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
**

Langkah KakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang