5 tahun kemudian.
"Aku berangkat, mom." Hardin menghampiri ibunya, memeluk wanita cantik itu dan tak lupa mengecup puncak kepala ibunya.
"Kau tidak sarapan, son." Sanggah ibunya, Rebecca.
"No mom, I'm late." Jawabnya bergegas pergi.
"Tidak mungkin kau terlambat hanya untuk beberapa gigitan roti bukan." Kekeh ibunya.
"Fine!" Hardin menyerah ia mengambil satu potong roti dan menggigitnya, membiarkan sebagian roti itu melayang di wajahnya. "Bye, mom!" Ujarnya sedikit tidak jelas.
"Kau pulang malam hari ini?!" Tanya Rebeca sedikit berteriak yang dijawab lambaian tangan anaknya. Dasar bocah nakal. Tentu saja Rebecca tahu anaknya itu tidak akan pulang. Anaknya itu hanya pulang di akhir pekan. Itu pun sesekali bahkan terkadang ia harus menelpon dan merajuk dulu, baru Hardin akan pulang dan menemaninya. Oh, rumahnya terasa sepi sejak kematian suaminya sementara anak satu-satunya, Hardin. Memilih tempat yang lebih dekat dengan kantornya.
Yah, ia bisa apa.
Rebeca tertawa. Oh, putranya sudah dewasa. Betapa matangnya anaknya itu. Rebecca mengeluarkan bukunya, buku itu dipenuhi beberapa foto wanita cantik yang ia coret pada beberapa foto. Oh, ayolah semua foto itu merujuk pada gadis-gadis yang pernah atau sampai sekarang dekat dengan putranya. Ia sedang memilih menantu idealnya.
Semoga saja Hardin tidak tahu tingkahnya yang lucu ini.
-o-
Hardin adalah seorang model sekaligus pengusaha muda perusahaan agensi. Mengawali kariernya sebagai seorang model hingga bisa membuat perusahaan agensi sendiri bukanlah hal yang mudah dan ia bangga pada semua usahanya itu. Yah meskipun itu sungguh melenceng dari impiannya yang ingin menjadi penyanyi atau vokalis band.
Entahlah suaranya terasa hilang sejak kepergian gadis itu. Bahkan isi kepalanya penuh dan tidak dapat ia pakai untuk menulis lagu lagi.
Oh, ayolah. Lima tahun ia rasa sudah cukup untuk melupakan gadis itu. Ia bahkan sudah memiliki seorang kekasih yang cantik. Tidak, gadis itu bukan berasal dari model agensinya. Melainkan hanya seorang pemilik toko bunga. Gadis polos periang yang cantik dengan lesung pipi di pipi kanan dan kirinya.
Amanda, namanya.
Dan disinilah ia sekarang. Berdiri di depan sebuah toko bunga sederhana sebelum akhirnya masuk ke dalam toko bunga itu.
"Hai!" Sapanya menatap gadis lugu yang tersenyum malu-malu kearahnya. "Aku tidak membawa bunga, karena ya.. kau tahu. Kau memiliki lebih banyak disini." Ringisnya.
Amanda terkekeh. "Aku tidak memintanya, kau tahu."
Keduanya berpelukan melepas rindu. "Aku merindukanmu." Bisik Amanda.
Hardin terkekeh. "I know." Jawabnya yang tanpa sadar membuat Amanda mengehela napasnya.
Bukan jawaban itu yang diinginkannya. Tapi apa boleh buat. Hardin adalah pria dingin.
Beruang dinginnya.
"Kau tidak bekerja?" Tanya Amanda memecah setelah mereka melepas pelukan. See, bahkan pelukan mereka tidak sampai satu menit.
"Aku pemiliknya jika kau lupa." Jawab Hardin angkuh.
"Oh, ya aku lupa." Ujarnya berpura-pura kesal.
"Oh, kau sungguh lucu." Jujur Hardin menarik hidung mancung Amanda. Hardin menatap Amanda dalam. "Seharusnya lebih mungil." Lirihnya tanpa sadar.
"Apa?" Tanya Amanda yang menyadarkan Hardin.
"Oh, bukan apa-apa." Jawab Hardin tersenyum. Ia beranjak ke arah bunga-bunga yang tampaknya baru saja tiba di toko itu.
"Anyelir." Gumam Hardin tanpa sadar menyentuh bunga anyelir yang baru saja tiba disana.
"Ya, cantik bukan. Kau suka?" Ujar Amanda. Berusaha melupakan ucapan ambigu Hardin tentang 'mungil' tadi. Amanda cukup mengerti jika ia masih ingin menjadi kekasih Hardin, cukup diam dan menerima.
"Ya, aku suka." Tatapan Hardin melembut. Dibelainya kelopak bunga itu. "Tapi, tidak ada anyelir biru disini." Gumamnya.
"Tentu saja. Itu memang tidak ada." Jawab Amanda terkekeh. Selama ini yang ia tahu memang tidak ada anyelir yang berwarna biru.
Hardin menatap Amanda dingin. "Itu ada Amanda."
Entah ia yang sensitif atau memang Hardin tadi sempat menatapnya dengan tatapan permusuhan. Dan ada apa dengan suara yang tertahan itu, membuat tubuhnya terasa dingin.
"Ya.. ya ... Itu ada." Gumamnya gugup.
Hardin tersenyum. "Amanda."
"Ya." Jawab Amanda.
Hardin mendekat, membuat keduanya saling menempel. Jemarinya menyusuri lengan atas hingga bawah milik Amanda. Dan semua tindakan Hardin sukses membuat Amanda gugup.
Amanda bukan seorang perawan. Dan hardin bukan yang pertama untuknya. Tapi semua tindakan Hardin selalu membuatnya gugup sekaligus melayang.
"Aku menginginkanmu." Bisik Hardin pelan tepat disamping telinga Amanda.
Mereka berciuman lembut. Dengan hati-hati Hardin melepas tali tipis yang terikat di bahu Amanda. Tali tipis yang menahan agar dress putih milik Amanda tidak jatuh, namun begitu mudah jatuh jika Hardin yang melepasnya.
Hardin menikmati keintiman mereka. Sungguh disayangkan gadis selugu dan sepolos Amanda nyatanya tidak sepolos kelihatanya. Hardin pun tidak akan percaya jika saja ia tidak pernah meniduri Amanda dan mendengar sendiri kejujuran Amanda mengenai gadis itu yang sudah tidak perawan.
Orang mungkin berpikir itu normal. Yah, ini Chicago. Tapi, entah kenapa ada rasa kecewa mendiami benak Hardin. Ia hanya kecewa sekaligus mengerti kenapa gadis itu begitu mudah ia bawa ke ranjang. Meski gadis itu bilang ia yang kedua dan tidak pernah ada lagi Hardin tetap kecewa.
Bagaimana bisa gadis selugu itu begitu mudah dirusak.
Apakah Anye juga?
Hardin menghentikan kegiatan mereka. Amanda masih terengah, sementara Hardin tidak bisa mengendalikan tatapan berangnya. Ia tidak kesal pada Amanda, ia hanya kesal pada dirinya sendiri.
"Hardin?" Panggil Amanda bingung.
"Cukup disini Amanda." Hardin merapikan kembali pakaian amanda, sebelum akhirnya ia berjalan meninggalkan Amanda dan toko bunga sederhana itu.
Amanda menangis. Hardin begitu lembut padanya namun ia selalu merasa laki-laki itu menolaknya. Hardin tidak pernah menidurinya lagi setelah tahu ia bukan seorang perawan. Apakah itu membuat Hardin kecewa? Ia selalu ingin menanyakan itu. Tapi ia tidak seberani itu.
Yang bisa ia lakukan hanya menangis.
Kenapa begitu sulit menggapai Hardin.
-o-
Hardin mengepalkan tangannya dan memukul setirnya kesal. Amanda begitu cantik dan rapuh begitu mirip dengan Anye. Wajah bulatnya yang polos, tatapnnya bahkan caranya bicara. Tapi, Amanda tidak terlalu periang seperti Anye.
Mereka mirip dari beberapa sisi.
Tapi Amanda bukan Anye. Tidak seperti Anye yang sulit ia dekati, Amanda begitu mudah dan menerimanya dengan terbuka. Sementara Anye.
Gadis itu dengan jujur berkata mencintainya tapi ia meresa tidak bisa mendapatkan gadis itu. Mencintainya namun tertutup untuknya. Itulah Anye.
Pikirannya kembali melayang.
Amanda sama polosnya dengan Anye. Bagaimana jika Anye juga tertipu laki-laki buaya seperti Amanda.
Oh, ia benci memikirkan itu. Berpikir jika Anye harus menyerahkan dirinya pada lelaki yang salah....
Atau lebih tepatnya pada lelaki yang bukan dirinya.
Ia bersumpah tidak akan rela.
-o-
Jika rasa suka kepada seseorang bertahan hingga bertahun-tahun dan tahun demi tahun semakin mengaguminya. ~ Apa kau pernah merasakannya?
—Anyelir
KAMU SEDANG MEMBACA
Emotion Love
Romance"Apa yang kau lakukan Anye?" Tanya orang itu dengan angkuhnya. Anye. Gadis itu tidak bergeming di tempatnya. Pandangannya buram. Bukan ini yang ia pikirkan. Apa begini cara memperlakukannya setelah ia mengatakan mencintai laki-laki itu. Bukankah ini...