14 - Hug

15.8K 1K 24
                                    

Suara pintu tertutup terdengar di belakang Anye. Kepalanya masih menunduk. Ia ragu bahkan hanya untuk sekedar menaikkan kepalanya. Sebenarnya sejak tadi Anye menyesal ingin memberi kado, tapi kakinya malah mengikuti pria itu sampai kemari. Entah karena tidak enak menolak atau memang karena yang lain. Terserah yang mana pun. Yang jelas ia disini karena kakinya.

Sementara Hardin tersenyum tipis saat melihat Anye masih menunduk. Lima tahun yang lalu mungkin ia selalu leluasa menunjukkan senyumnya saat bertemu gadis di depannya. Berkedok sahabat, sedikit banyak Hardin sering memperlakukan gadis itu seperti kekasihnya sendiri. Tapi itu hanya rencananya, sebelum akhirnya ia menghancurkan hubungan itu dengan alasan balas dendam atas penolakan Anyelir yang mungkin tidak pernah diingat wanita itu.

Melihat Anye yang sepertinya enggan bergerak sedikit pun, bahkan Hardin ragu wanita itu akan mengangkat kepalanya. Ia berdiri dari kursi kerjanya dan berpindah duduk di sofa yang memang disediakan untuk menyambut tamu.

Lihatlah meski ia sudah bergerak kesana kemari, wanita itu masih setia menunduk.

"Kau tidak berniat memberikan kado itu?" Pertanyaan Hardin membuat Anye tersentak.

"Ah, maaf..." Anye berdiri gelagapan. Ia maju ke arah Hardin yang sudah duduk di sofa dan meletakkan kado itu diatas meja. "Selamat atas pertunanganmu." Ucapnya tulus.

"Sampai jumpa." Anye memaksakan senyumnya dan melambaikan tangan pada Hardin. Ia langsung berbalik dengan cepat dan berjalan cepat menuju pintu.

"Duduk Anye." Hardin tidak berteriak. Pria itu hanya sedikit menekan setiap katanya.

Anye menoleh. Ia memang sudah menghentikan langkahnya sejak mendengar perintah Hardin. Jelas itu terdengar seperti nada merintah. Tapi lucunya, seluruh tubuhnya seolah menurut. Tanpa paksaan akhirnya ia menundukkan tubuhnya di sofa di seberang Hardin.

Anye menghela nafasnya. Sebenarnya ia sudah sadar jika pria dihadapannya ini masih dominan pada tubuhnya sejak mereka bertemu di mall kemarin. Meski Anye menampiknya tetap saja ada rasa dimana ia merasa ingin di dekat pria itu. Ia rindu saat dimana dulu saat mereka bertemu ia akan memeluk pria itu dan mengadu.

Masa yang mereka lewati bukan masa yang sinkat dan penuh kenangan buruk. Meski Hardin sering melukainya, nyatanya yang ada diingatkannya adalah semua kejadian menyenangkan bersama pria itu.

Hardin yang menemaninya saat ia sendiri dan berkutat dengan masalah keluarganya, meskipun Anye tidak mengucapkan apa pun. Pria itu seolah tahu kapan ia membutuhkannya. Dan selalu menemaninya tanpa bertanya. Sesekali melempar lelucon yang sama sekali tidak lucu namun membuat Anye tertawa karena tidak lucu.

Entah memang Hardin yang selalu ada untuknya atau karena perasaannya. Yang jelas dulu ia memang merasa membutuhkan pria itu.

Anye menatap takut-takut pria di depannya. Hardin menyuruhnya duduk tapi tidak mengatakan apa pun. Tanpa sadar Anye melihat ke arah dada pria itu. Ia ingin memeluknya, entah kenapa ia merasa rindu. Sejak mendengar pertunangan Hardin. Anye merasa pria itu akan pergi selamanya. Selama ini ia berpikir takut pada pria itu, Hardin adalah sosok yang menyeramkan atau menilai dirinya hanya objek mainan pria itu.

Tapi sekarang ia merasa takut kehilangan.

Mungkin karena efek parno. Selama ini memang Anye merasa Hardin selalu mengawasinya dan tidak pernah jauh darinya.

"Aku minta maaf."

Anye mendongak. Ia tidak bertanya tapi raut wajahnya terlihat bingung.

"Untuk memecahkan kaca rumahmu waktu itu."

Anye masih menatap pria itu tanpa berkedip.

"Untuk kejadian di mall." Lanjutnya yang masih di dengarkan Anye.

"Dan untuk tidak mengundangmu ke acara pertunanganku."

Ok, kalimat terakhir itu sedikit mengusik Anye. Anye tersenyum miris. Ia merasa sesak.

"Kau memaafkanku?"

Dengan ragu Anye menganggukkan kepalanya.

Hardin tersenyum. Sebenarnya sejak melihat Anye, ia ingin tersenyum. Namun ia menahannya.

"Kau tidak ingin berkomentar tentang pertunanganku?" Tanya Hardin.

Anye berpikir keras tapi tetap saja. Tidak ada yang ingin ia katakan.

"Mungkin tingkahku kemarin sedikit kelewatan. Kau tahu sejak dulu aku sulit mengendalikan emosiku."

Anye masih mendengarkan tanpa berkomentar.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi kurasa kau juga merasakannya."

Anye mengernyit bingung. Bukankah ucapan Hardin seolah mengarah pada pernyataan cinta. Anye menggigit bibir bawahnya sebagai ganti karena tidak bisa menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran itu, ia hanya bisa mengutuk pemikirannya barusan.

"Melupakan soal semua kejadian buruk diantara kita. Bukankah kita sama-sama merindukan masa dimana saat kita dulu bersahabat."

Kali ini mata Anye terbuka sedikit lebih lebar. Ia tidak menyangka Hardin mengucapakan kalimat yang ada di pemikirannya selama ini.

"Mungkin juga. Apa yang kita rasakan dulu. Apa yang kau rasakan itu bukan perasaan kepada lawan jenis....." Hardin menghentikan ucapannya, memberi jeda sebelum menyimpulkan sesuatu.

"Mungkin kita hanya terbiasa." Lanjutnya.

Anye tersenyum miris. Ya, ia akui ia memang merindukan masa lalu. Tapi untuk perasaannya. Ia tidak bisa menampiknya. Ia benar-benar menyukai pria di hadapannya ini. Tubuhnya tidak pernah bereaksi aneh pada pria lain kecuali Hardin. Ia hanya berdebar dan gugup setengah mati hanya karena pria itu. Dan hal itu adalah hal yang anye sadari sampai kapan pun hanya akan membuatnya menderita.

Terlepas Hardin yang penuh emosi dan terkadang menekan atau menyakitinya. Berada disekitar Hardin juga bisa membuatnya hanya menderita karena perasaan tak terbalas.

'aku benar-benar menyukaimu, bodoh!' tentu saja Anye hanya bisa meluapkan kalimat itu dikepalanya. Ia masih waras untuk tidak terlalu dekat dengan pria itu.

Karena ia sadar pria itu berbahaya.

"Aku ingin hubungan kita kembali membaik. Melupakan masa lalu kita. Dan menjadi teman dekat seperti seharusnya." Kali ini Hardin berkata lancar masih dengan senyum tipis di bibirnya.

Anye tidak bergeming. Ia masih bingung dengan apa yang ia rasakan. Ini terlalu membingungkan.

Hardin terkekeh pelan. "Sejak tadi, kupikir hanya aku yang bicara. Kau tidak ingin menyampaikan sesuatu?"

Anye mengerjap. Masih tenggelam dengan perasaannya sendiri sebelum dengan ragu ia mengucapkan apa yang ada di dalam kepalanya.

"Hardin..." Panggilnya lirih.

Pria itu setia mendengarkan tanpa mau repot menebak apa yang ada di pikiran Anye.

"Boleh aku memelukmu?"

Anye terkejut dengan apa yang ia ucapkan. Itu adalah isi pikirannya. Dan ia sangat terkejut karena isi pikirannya dengan lancar keluar dari mulutnya. Mungkin karena Hardin yang ada dihadapannya ini mengingatkan Anye pada Hardinnya yang dulu.

Hardin tersenyum. Ia merentangkan tangannya dan berkata. "Kemarilah."

Melupakan Hardin yang berstatus sebagai tunangan orang lain. Anye berjalan dengan cepat dan masuk diantata dua tangan kokoh itu. Hidungnya mencium parfum yang selama ini tidak pernah ia lupakan. Anye menyandarkan kepalanya ke dada Hardin. Ia tidak memikirkan apa pun lagi. Ia hanya merasa nyaman. Seperti ini yang ia inginkan. Melupakan semua permasalahan mereka.

"Aku merindukanmu." Ucap Anye tulus.

-o-

Saat kau menjatuhkan hatimu. Percayalah semua akan terasa berat. Kau ingin menolak tapi tidak bisa. Menyangkal pun akan terasa percuma. Karena tubuhmu memiliki pemikiran sendiri. ~ Anyelir

Aku yang nulis... Tapi aku yang baper, tuhan!!!

Bangun tidur ku terus Update! Tidak lupa menjadi baper! 😆

Emotion LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang