12 - His fiancee

18.3K 1K 17
                                        

Senyum terus terukir di wajah cantik Amanda. Matanya terus memandang jarinya yang dilingkari cincin manis dengan berlian membentuk mahkota sebagai hiasan. Ia tidak menyangka ia dan Hardin bertunangan.

Setelah ini, apa ia akan menikah dengan pria itu?

Memikirkan itu wajahnya memerah malu. Amanda tahu ia tidak sempurna, ia adalah gadis dengan banyak kekurangan. Hardin adalah mimpinya. Menikahi Hardin seperti anugerah untuknya. Oh, ia masih tidak menyangka hidupnya seberuntung itu.

"Kau senang?"

Amanda menoleh dan menemukan Hardin disana dengan wajah dinginnya. Melihat itu senyumnya lenyap.

"Kau tidak bahagia?" Ujar Amanda sendu.

Hardin menghela nafasnya. "Setidaknya kau bahagia." Ujarnya yang membuat Amanda bahagia sekaligus sedih. Ia seperti memaksa pria itu, meski sebagian kecilnya benar.

"Apa kau keberatan bertunangan denganku?" Tanya Amanda pelan. Takut kalau-kalau ada ucapannya yang menyinggung Hardin.

"Tidak. ..... Ibuku menyukaimu." Jawab Hardin singkat.

Amanda menghela nafasnya. Selintas dipikirannya tentang gadis yang sempat ia lihat bersama Hardin di mall terakhir kali. Dengan ragu ia memberanikan diri bertanya.

"Hardin....gadis di mall?" Amanda ragu melanjutkan ucapannya saat melihat rahang Hardin yang sedikit mengeras. "Kenapa kau tidak mengundangnya?" Amanda memejamkan matanya sejenak dan menunduk takut.

"Tidak penting."

Amanda mendongak mendengar jawaban Hardin namun yang dilihatnya Hardin sudah berjalan meninggalkannya. Amanda tersenyum miris. Ia selalu melihat punggung Hardin. Hardin dekat tapi terasa jauh. Sebenarnya apa yang dimaksud pria itu tidak penting?

Gadis itu atau pertunangan mereka?

"Kau disini sayang?"

Rebecca menghampiri Amanda dan merangkul calon menantunya. "Kemana Hardin pergi?" Tanya Rebecca padanya.

Amanda tersenyum canggung. "Katanya ada urusan."

Rebecca tersenyum lembut. Dari semua wanita yang ia ketahui dekat dengan Hardin hanya Amanda yang paling ia sukai. Gadis itu lembut, mandiri dan tidak banyak menuntut. Mengingat sifat putranya yang temperamental tentu saja Amanda sangat cocok dipasangkan dengan putranya.

"Kau tidak bahagia?" Rebecca bingung karena sejak tadi Amanda seperti menanggung beban. Apa ia terlalu memaksa gadis itu?

Amanda menggeleng pelan. "Aku bahagia." Ujarnya kalem.

Rebecca tersenyum. "Ah, seandainya kalian menikah lebih cepat. Aku pasti bisa menimang cucu." Ujarnya berandai. "Apa aku terlalu cepat memikirkan itu?" Tanya Rebecca sadar saat melihat wajah Amanda yang memerah.

"Tidak." Amanda sedikit menunduk. "Aku juga ingin menikah secepatnya." Jujurnya. Tapi ia yakin Hardin menginginkan sebaliknya.

"Tenang saja. Aku akan memaksanya menikahimu secepatnya. Anak itu tidak boleh terlalu lama menyia-nyiakan dirimu." Tegas Rebecca penuh tekad.

Amanda tersenyum. Inilah dirinya. Ia tidak bisa mendapatkan hati pria yang ia cintai. Tapi ia mendapatkan restu ibunya.

Amanda menatap miris cincin pertunangannya.

Akan jadi seperti apa pernikahannya?

-o-

"Congratulation!"

Hardin memutar bola matanya. Jengah dengan sikap berlebihan sahabatnya Lucky.

"Kau mengucapkan selamat untuk pertunanganku?" Tanya Hardin karena yang dilihatnya Lucky menyiapkan kado dan kue bukan untuknya tapi untuk pria itu sendiri.

"Kenapa aku harus repot." Cemooh Lucky menjawab pertanyaan Hardin. "Tentu saja aku mengucapkan selamat untuk diriku sendiri." Jawabnya tersenyum bangga.

"Bukankah aku keren. Aku berhasil menjodohkanmu dengan Amanda. Ah, dari awal aku selalu tahu tipemu yang seperti Amanda." Lucky memakan kue yang sudah ia siapkan untuk dirinya.

"Jadi sekarang kau sudah melupakan Anye? Tentu saja kau sudah melupakan gadis itu. Kalau tidak, tidak mungkin kau mau bertunangan, aku benar kan?" Tanya Lucky.

Hardin tidak menjawab ia memilih bungkam dan membuang wajahnya.

"Tunggu! Kau belum melupakan gadis itu?" Tanya Lucky penuh selidik.

"Tidak mungkin aku melupakannya. Kau pun masih mengingatnya?" Jawab Hardin acuh.

"Baiklah aku ganti pertanyaanku. Kau masih menyukainya?" Lucky menggeser kue yang baru ia makan sedikit ke pinggir meja. Terlihat pria itu mulai serius dengan perbincangan mereka.

"Apa aku menyukainya?" Tanya Hardin lebih ke dirinya sendiri.

Lucky terkekeh. "Tidak ada yang lebih tahu selain dirimu." Lucky berganti posisi duduknya. Ia menyandarkan bahunya di sofa. "Jujurlah Hardin. Apa kau ingin memilikinya? Apa kau ingin Anyelir hanya untuk dirimu sendiri?"

Hardin tidak menjawab. Ia sudah menjawab di kepalanya. Bahkan bukan hanya kepalanya bahkan seluruh tubuhnya seolah berteriak 'YA!'

"Tidak." Jawab Hardin angkuh. "Tidak jika bukan gadis itu sendiri yang merengek untuk diriku."

Lucky menepuk dahinya kesal. "Gadis itu sudah melakukan itu jika kau lupa. Kau yang menolaknya. Aku bahkan turut andil dibagian meyakinkan Anye."

"Anyelir tidak ingin diriku. Dia hanya ingin tahu apa aku juga merasakan hal yang sama sepertinya. Dia hanya ingin merasa imbang dan membunuh rasa penasarannya." Emosi Hardin mulai berontak mengingat kejadian dulu.

"Jangan mengambil kesimpulan sendiri, apa ia mengatakan itu-"

"Itu yang dikatakannya." Hardin menghela nafasnya.

"Wah...! Gila! Sejak dulu kalian memang pasangan gila." Lucky tersenyum mengejek.

"Amanda... Apa arti gadis itu untukmu? Dia terlalu baik jika hanya kau jadikan pelampiasan."

Hardin mengerjapkan matanya sebentar. Sesaat ia bimbang dan sedikit terguncang dengan pertanyaan itu. "Aku menyukainya. Aku membutuhkannya. Amanda itu.... Seperti obat untukku." Hardin tidak berbohong ia menjawab seperti apa yang ia rasakan.

"Oh, kau menyukainya. Baiklah aku senang mendengarnya. Semoga kau tidak membayangkan wajah Anyelir saat sedang bersamanya." Lucky berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke arah pintu.

"Jam istirahatku sudah selesai. Aku harus kembali bekerja. Kau ingat aku bukan owner bebas sepertimu. Aku harus mencari nafkah untuk istriku." Lucky tersenyum sembari menunjuk pintu ruangannya yang sudah ia buka lebar untuk Hardin.

"Kau menyebalkan." Hardin beranjak dari sofa itu dengan terpaksa. Ia melirik sinis ke arah Lucky yang membenarkan kaca matanya.

"Aku berjanji akan mendengan cerita cinta picisan itu setelah aku tidak sibuk." Jawabnya yang membuat Hardin memutar bola matanya. Sejak kapan pria beristri itu tidak sibuk.

"Oh, mau kuberi saran?" Tawaran Lucky membuat Hardin yang belum melewati pintu terhenti. Ia melirik Lucky seolah bertanya.

"Kau bilang Anyelir tidak menyukai hubungan dalam bentuk apa pun. Kau bisa lebih dekat dengannya tanpa hubungan bukan? Seperti pemikiran gadis itu. Buat dia dekat denganmu tanpa harus melepaskan Amanda." Lucky kembali membenarkan letak kacamatanya.

"Sebenarnya situasi ini menguntungkanmu. Kau bisa mengajari Anye bahwa jika ia tidak menginginkan hubungan maka ia sendiri yang akan rugi dan kehilangan. Kau sendiri juga bisa tahu siapa yang paling kau inginkan." Lucky mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya ia menutup pintu ruang kerjanya.

Hardin terkekeh. Sahabatnya itu memang menyebalkan, tapi kenapa ia tidak pernah memikirkan itu.

Mungkin ibunya benar. Ia pria yang baik. Hanya Anyelir yang menganggapnya brengsek.

Tidak. Bukan hanya dirinya.

Anyelir selalu menganggap semua pria di dunia ini brengsek.

Jadi....

Kapan ia harus menemui Anyelir?

-o-

I'm back!

Akhirnya ketemu juga ide yang pas untuk lanjutannya!

Emotion LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang