13 - Present

14.4K 922 18
                                    

Anyelir mendengus. Ia duduk di kursi kafe yang sedikit lebih tinggi hingga membuat kakinya berayun. Matanya menatap ujung sepatunya dan sesekali mengerjap kemudian diakhiri dengan helaan nafasnya kembali.

Sebenarnya apa yang dilakukannya? Dari tempatnya duduk, ia dapat dengan jelas melihat gedung pencakar langit milik Hardin yang ada di seberang kafe itu. Sejak pagi tadi ia sudah menjadi penunggu kafe itu, membiarkan matanya menangkap para pegawai kantoran berlalu-lalang keluar masuk gedung itu. Beberapa kali matanya juga menatap model dan artis yang sepertinya memiliki urusan disana.

Anye melirik sekitarnya. Disana..., disudut bagian lain kafe ada banyak wartawan yang ikut menunggu sepertinya. Sepertinya mereka sedang mencari berita atau menunggu tokoh yang akan menjadi sasaran mereka untuk dijadikan berita terbaru.

Tepat di sebelah kursinya sebuah kado besar menempati satu kursi lainnya. Anye tertawa miris. Ia bahkan tidak diundang ke pernikahan Hardin. Tapi entah kenapa ia ingin memberi hadiah, padahal biasanya ia ingin sekali menghindari pria itu. Sampai sekarang saat mendengar atau melihat Hardin, respon tubuhnya pasti akan kaku. Jantungnya akan berdebar dan keringat dingin akan membasahi tubuhnya. Nyatanya ia masih setakut itu. Karena itulah sejak tadi ia masih menggantungkan kado itu untuk dikirimkan.

'Sebenarnya kau hanya ingin mengirim kado itu atau ingin bertemu dengan Hardin?' batinnya seolah tertawa mengejek. Anye menampik pikiran gila itu dan mengangguk tegas bahwa ia hanya ingin memberi kado agar terkesan ikut bahagia dan meyakinkan diri bahwa ia sudah terbebas dari pria itu.

'bukankah ia kecewa karena ternyata setelah Hardin menciumnya tempo hari ternyata sampai sekarang ia masih tidak lebih dari mainan seorang Hardin.'

Anye meremas dadanya. 'Cukup!'

Ia akui sejak kemarin ia selalu merasa sesak saat mengingat Hardin dan pertunangannya. Ia tidak perduli apakah ia masih menyukai pria itu atau tidak. Nyatanya pria itu selalu mempermainkannya. Ia juga heran kenapa ia berniat memberi kado pertunangan pada orang yang sudah mempermainkannya.

Anye melirik sinis pada kado itu dan berjalan keluar kafe. Anye tersenyum puas saat kesadarannya telah kembali. Hampir saja ia menjadi orang bodoh dengan pergi dan memberikan kado itu pada orang yang tidak pantas.

"Miss, maaf." Seorang pelayan kafe menghampirinya dan menahannya yang sudah berada di depan pintu kafe. "Barangmu tertinggal." Ujar pelayan kafe itu tersenyum tulus dan memberikan kado itu pada Anye kembali.

Anye termenung. Ia baru saja ingin membuang kado itu tapi kado itu sekarang kembali padanya.

Sambil menghela nafas akhirnya Anye putuskan memberanikan diri untuk memberi kado itu.

'Ini kado terakhir. Kado perpisahan.' tekadnya pada diri sendiri.

Anye menatap nanar pada kado itu. Lagi pula sayang kado yang sudah ia bungkus dengan rapi di buang percuma.

"Saya ingin manitipkan kado ini untuk Mr. Maxwell." Anye tersenyum canggung setelah mengatakan kaliamat yang sudah ia tata sesopan mungkin meski ia sendiri ragu karena ia sangat jarang bersosialisasi. Ia juga sengaja menyebut nama belakang Hardin.

Wanita dibalik meja itu tersenyum sopan. "Maaf Miss, apakah anda mengenal Mr. Maxwell. Karena kami tidak bisa memberikan sesuatu sebarang pada Mr. Maxwell."

Anye menunduk lesu. Seharusnya ia memang membuang kado itu. Oh, terkutuklah dirinya yang plin-plan ini.

"Tapi jika anda bersedia mengkonfirmasi data diri anda mungkin kami bisa mengkonfirmasi pada sekretaris Mr. Maxwell." Tawar wanita itu setelah melihat wajah lesu Anye.

Sebenarnya Anye ingin menarik kado itu kembali dan membawanya pulang. Tapi kepalang malu dan takut dianggap orang aneh akhirnya ia mengkonfirmasi data dirinya. Ia menyerahkan tanda pengenalnya dan wanita itu segera menghubungi seseorang.

-o-

Hardin mendengus. Sejak kemarin pekerjaannya semakin menumpuk seperti tidak ada habisnya. Ia tentu tidak akan sepusing ini seandainya CEO yang ia tunjuk sebagai orang kepercayaannya bukanlah seorang pengkhianat.

Dasar Fernando si budak wanita.

Seandainya Fernando, CEO yang telah lama menjabat itu tidak jatuh dan tunduk pada seorang wanita miskin. Ia pasti sampai sekarang masih setia padanya. Sebenarnya juga tidak akan masalah jika mereka menikah. Wanita itu tidak memberi pengaruh apapun.

Ya, seandainya. Sayangnya ternyata gadis miskin itu ternyata adalah pewaris tunggal dari perusahaan tambang yang lumayan besar. Siapa yang menyangka bukan?

Dan Fernando. CEO-nya yang dulunya sangat kompeten dan setia itu akhirnya mengkhianatinya dan berpaling membantu wanita pujaannya dalam mengurus bisnis itu.

Menyebalkan. Hardin selalu merasa dikhianati oleh orang kepercayaannya selama ini.

Lucky juga selalu sibuk setelah menikah.

Dan Hardin bersumpah akan menjauhi semua wanita yang merepotkannya jika seandainya itu terjadi padanya.

Hardin memutar kursinya sendiri hingga berputar ke belakang. Sekarang matanya tidak lagi melihat tumpukan kertas itu. Tapi memang pada dasarnya kepalanya sudah penuh dengan pekerjaan bahkan pemandangan langit biru pun tidak berkesan sama sekali untuknya.

Suara ketukan terdengar dibelakangnya.

"Masuk." Hardin sudah tahu bahwa itu adalah sekretarisnya. Sejak tadi sekretarisnya memang menghubunginya, hanya saja Hardin sedang malas menanggapinya. Ia memang lebih suka bicara langsung.

"Maaf mengganggu Mr. Maxwell. Tadi saya sudah mencoba menghubungi anda tapi tidak ada jawaban." Jelas pria dengan setelan rapi itu.

Hardin tidak menyahut, tapi ia mendengarkan.

"Seseorang ingin memberikan kado pertunangan untuk anda." Terdengar sepertinya sekretarisnya sedang membersihkan tenggorokannya sebelum melanjutkan ucapannya. "Seseorang itu bernama Miss Alodya Anyelir. Jika anda tidak berkenan maka saya akan mengkonfirmasi untuk menolaknya."

"Suruh ia memberikannya langsung padaku." Hardin dengan cepat memotong ucapan pria itu.

"Maaf?" Pria itu terlihat bingung dan merasa salah mendengar perintah atasannya barusan.

"Maksudku jemput dia dan antarkan padaku. Apakah kurang jelas?" Jelas Hardin kembali dengan seringai diwajahnya.

Anyelir memang penuh kejutan.

-o-

"Miss Alodya Anyelir." Panggil wanita tadi setelah menutup teleponnya.

"Anda boleh membawa kado itu dan memberikan langsung pada Mr. Maxwell." Ujarnya sopan.

Anyelir mengerjapkan matanya. Ia sedikit terkejut. Sebenarnya ia hanya ingin memberikan kado itu tanpa harus menemui Hardin. Anye merutuki dirinya sendiri. Sebenarnya apa yang merasukinya hari ini? Kenapa ia merasa seperti orang bodoh, sekarang.

"Ehmmm... Apakah aku tidak bisa menitipkannya saja. Sebenarnya aku dan Mr. Maxwell hanya teman lama. Aku ragu ia masih mengingatku." Terang Anye mencoba pergi secepat mungkin.

Wanita itu tersenyum ramah. "Sepertinya Mr. Maxwell sangat mengenal anda. Beliau juga sudah menyiapkan seseorang untuk mengantar anda ke ruangannya."

Oh, shit. Haruskah ia menyesali semuanya sekarang. Anye melirik pintu keluar gedung itu. Dalam hitungan ketiga ia akan menggunakan sisa tenaganya untuk meninggalkan tempat ini.

Satu...

Dua....

"Miss Anyelir. Silahkan lewat sini." Seorang pria dengan setelan jas rapi menghampirinya dan memberinya kode untuk mengikutinya.

Anye meneguk ludahnya pasrah.

Apalagi yang akan terjadi padanya setelah ini, tuhan.

-o-

Sebenernya Anye tuh kenapa?

Ada yang tahu?

Emotion LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang