"Luka membuntuti setiap insan. Terkadang, beberapa orang berusaha melakukan segala cara untuk melupakan masa kelam. Bukan untuk menyembunyikan nelangsa, namun untuk menunjukkan pada dunia betapa kuat dirinya bertahan diantara celah retakan itu."
16 tahun kemudian
Canberra, Australia
Kepulan asap rokok mengelilingi salah satu toilet wanita di rumah sakit terbesar negara kanggoro. Dari atap, tampak terlihat seorang wanita dengan rambut kusut yang disanggul sedang asik menikmati isapannya. Tidak memperdulikan kepulan yang semakin lama semakin menyeruak dari setiap lubang toilet.
Tangan kirinya bergerak ke pelipis. Memijit secara perlahan, untuk mengurangi tingkat stress. Walau menyadari tindakan itu akan berakhir sia-sia. Sesekali dia batuk kecil, efek dari kecanduan pada benda nikotin.
Ketenangan dirasakan, gemericik air merasuki gendang telinganya. Menyadari ada orang lain yang memasuki toilet sebelahnya. Tetapi, siapa yang peduli?
Semua kedamaian terguncang tatkala mendengar gedoran pintu. Dia menggeram, tidak suka dengan tingkah orang yang mengacau ini. Dengan enggan, tangannya membuka pintu. Hanya untuk melihat seorang wanita berambut blonde sedang menatapnya tajam.
"Kau merokok lagi? Jessie! Ini adalah rumah sakit. Kau tidak boleh sembarangan!" bentaknya seraya menutupi lubang hidung dari asap yang mengepul keluar ketika pintu toilet terbuka.
"Oh ayolah! Hanya satu batang," Jessie menanggapi dengan ringan. Berjalan menuju wastafel, menyalakan keran dan sibuk mencuci tangan serta wajahnya.
"Satu batang? Satu batang mampu membuat seluruh toilet ini dikerubuti asap? Kau gila! Kau pasti menghabiskan dua bungkuskan!" Ujarnya penuh dengan kebencian.
Tidak peduli dengan tuduhan itu, Jessie memperbaiki penampilannya di cermin. Memoleskan lipstik merah bata. Menyatukan bibir atas dan bawah dengan gerakan sensual.
"Kali ini kenapa? Apa yang membuat pikiranmu kacau? Kau tidak perlu merokok lagi. Jika kau sedang frustasi, aku akan mendengarkan keluh kesahmu. Lalu apa gunanya aku untukmu?"
Pertanyaan itu membuat Jessie membuang nafas kasar. Merasakan tatapan sejuk dari temannya. Dia menghargai, dan membalas dengan senyuman dua jari.
"Miki, kehadiranmu malah membuatku tambah frustasi. Berhenti mengoceh!"
Jessie berjalan angkuh, melewati asap-asap ciptaannya. Sementara Miki, menarik punggungnya. Merangkul dengan kekanakan.
"Kau selalu seperti ini, kita kan teman. Aku selalu meminta pertolonganmu. Kenapa kau selalu mengabaikan kebaikanku, hm?"
Miki memberikan tatapan gemas. Mencoba mengecup pipi Jessie yang segera dihadang dengan telapak tangan. Berkomat-kamit dengan segala tindakan menjijikannya. Dari kejauhan, keakraban mereka sangat melengkapi. Yang satu ceroboh dan banyak tingkah, yang lain dingin dan terkendali.
"Kau sangat menjengkelkan. Berhenti menggelayutiku seperti kera! Aku ada jadwal operasi hari ini," Jessie mendorong tubuh Miki dengan sebal. Merapihkan pakaiannya yang lecak karena perbuatan gadis konyol itu.
"Baiklah. Tapi kau harus janji, setelah berganti sift. Kau harus menemaniku makan malam!"
"Kau single merepotkan yang pernah kutemui," jawab Jessie, malas dengannya.
"Sesama single tidak boleh saling menghina. Lagipula ini hari Valentine, banyak sepasang kekasih yang sedang mabuk kasmaran. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan dimata mereka."
"Kau memang menyedihkan," jessie menyetujui kalimatnya.
"Kau sangat menyebalkan!"
"Ya, semua orang mengatakan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
RomanceAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...