"Jika tau akan seperti ini, aku ingin menjadi mahluk terdekat Tuhan. Agar mengetahui apa rencanaNya,"
"Jika tau kehadirannya hanya tinggal menghitung menit, kupastikan selalu memeluknya. Mengatakan betapa aku menyayanginya."
Alina memperhatikan seluruh sudut dalam mobil. Memberikan ekspresi kagum sekaligus tak menyangka. Kendaraan yang terlihat bagus dari luar ternyata memiliki kualitas lebih tinggi ketika masuk kedalamnya. Jika tau saudarinya sekaya ini, sudah lama dia bolak-balik dari Australia ke Amerika.
Fania hanya tersenyum sombong melihat raut terpesona Alina pada mobil kesayangannya. Tidak dapat dipungkiri, setiap orang pasti akan merasa hebat saat menaiki kendaraan ini. Termasuk dirinya sendiri.
"Hapus ekspresi idiot itu. Kau seperti tak pernah menaiki kendaraan mewah," suara Fania membuyarkan Alina.
"Tentu saja, aku selalu naik kendaraan umum. Menjadi dokter rumah sakit besar tidak membuat gajiku cukup membeli benda-benda mewah," Alina mengerucutkan bibirnya, tak lupa memasang seat-belt untuk keselamatan.
"Maka dari itu, menikahlah dengan pria kaya. Usiamu sudah cukup matang," Fania menyarankan seraya mengendalikan kemudi. Sesekali dia melirik Alina.
"Kau pikir semudah itu," Alina membuang nafas kasar. Memandang keluar jendela, mengingat butiran-butiran kenangan.
Dia sudah beberapa kali melakukan pendekatan pada lawan jenis, seperti teman-teman kampusnya lakukan. Namun, tidak merubah apapun. Usianya sudah 23 tahun, ada puluhan pria tampan dan kaya yang pernah dikencani. Tetapi apa? Kejadian masalalu tetap menghantui. Menghancurkan romansa masa muda.
Akan selalu terngiang dalam memorinya. Hari dimana ayah dan ibu bertengkar karena pihak ketiga. Permasalahan yang familiar dalam rumah tangga nyatanya mampu membuat ibu pergi meninggalkan dunia. Mungkin saat itu, dia tidak memahami problematika yang mereka hadapi. Tetapi sekarang, dia sudah dewasa. Tentu memahami semuanya dengan baik.
Traumatis itu tak akan hilang. Dia menyadarinya saat beberapa kali melakukan terapi pada beberapa psikolog dari tingkat biasa hingga berkualitas tinggi. Dia menceritakan segala hal termasuk masa kecilnya. Tidak berubah, pendapat para ahli tetap sama. Dia mengidap Anxiety tingkat tinggi dan depresi. Mendengar diagnosa itu, hatinya merasa geli sendiri. Seorang dokter ternyata mengidap gangguan jiwa?
Tidak ada satupun yang tau tentang penyakitnya. Selain para psikolog dan Tuhan. Karena hal itu tentu akan mempengaruhi karirnya sebagai dokter. Jalan satu-satunya untuk sembuh adalah dengan melakukan aktifitas yang mampu mengalihkan pikiran. Dan dia memilih merokok sebagai pelampiasan. Entah bagaimana, setiap kali kecemasan menghampiri. Benda nikotin itu selalu menjadi obat. Melihat asap yang mengebul memberikan ketenangan tersendiri untuk jiwanya.
"Aku memiliki banyak koleksi pria tampan dan kaya. Apa kau tertarik?"
Suara Fania membuat Alina menoleh kesamping. Menatap balas saudarinya.
"Akan kupikirkan," jawab Alina sekenanya.
Keheningan mendominasi keduanya. Alina membenarkan posisi kepala pada kursi mobil. Mencari kenyamanan, berniat memejamkan mata. Namun terganggu dengan kalimat Fania.
"Sudah 13 tahun, kita tidak bertemu. Aku tidak tahu apa yang telah kau lewati sendirian dinegara lain. Tapi, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Aku ingin menceritakan segala hal padamu,"
Fania memandang Alina yang hanya menggumam sebagai jawaban. Tidak peduli responnya, dia tetap melanjutkan.
"Aku melewati banyak hal, sampai aku lupa menghitungnya. Tak ada satupun yang menjadi tempatku mengadu setelah kau pergi ke Australia untuk melanjutkan sekolah menengah pertamamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
RomanceAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...