27. Henti nafas & henti jantung

1.6K 158 2
                                    

Ini adalah hari kedua mereka di Polinesia, Prancis. Jadi, Will dan Alina bersiap menjelajahi beberapa tempat untuk menghibur diri serta menghabiskan waktu berdua. Pertama kali dalam sejarah hidupnya, Will merasa tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Karena dengan gadis ini, dia malah kekurangan waktu untuk bersama.

Tempat awal yang mereka datangi adalah sebuah pasar tradisional yang menjual beberapa berang khas Negara ini. Yaitu Pasar Kota papeete, tempat yang dikenal sebagai surga mutiara Tahiti. Lokasi ini bagus untuk membeli makanan dan buah-buahan segar setempat. Tetapi, benda yang paling menarik minat Alina adalah pedagang kalung bunga atau bunga mahkota.

Dikerumunan, mereka tidak melonggarkan genggaman seinci pun. Bahkan meskipun keringat bersatu dalam tautan tangan keduanya, efek dari kelelahan berjalan-jalan disekitar pasar, tidak mengganggu mereka sama sekali. Malah semakin mengeratkan pegangan, Will menjaga Alina sekeras mungkin, takut-takut jika gadis itu menghilang tertelan keramaian manusia pribumi maupun para turis lainnya.

"Apa lagi yang ingin kau beli?" Tanya Will, sementara Alina melihat tangan kirinya dan pria itu. Sudah lebih dari sepuluh paperbag ditangan keduanya, tetapi Alina tidak pernah bisa puas dan ingin membeli lagi.

"Hehe, bagaimana dengan mahkota bunga?" Alina nyengir kuda.

"Kau tidak lapar?" Tanya Will, dia mampu melihat ketertarikan diroman Alina pada setiap penjual.

"Aku tidak lapar," Alina membalas tanpa memandang Will, karena titik fokusnya hanya pada pedagang aksesoris dan makanan unik tempat ini.

"Mari kita temukan restaurant. Kita belum makan apapun sejak pagi," Will berucap keras, kebisingan orang-orang menelan suaranya, namun Alina masih dapat menangkapnya.

Alina berpikir sebentar, lalu melihat wajah lelah Will. "Baik, kau pasti lapar ya," lanjutnya.

Akhirnya mereka berjalan mencari tempat untuk menghapus rasa lapar dan haus. Keadaan sangat menguntungkan, tanpa melangkah lebih jauh, mereka dapat menemukan tempat makan. Itu adalah salah satu restaurant terbaik untuk makan siang, karena tempatnya tesembunyi dari matahari yang sangat kuat. Saat ini jam satu siang, suasan terasa panas, tetapi begitu memasuki area ini, siapapun bisa merasakan kesejukan, bukan karena tedapat puluhan Air Conditioner, sebab ada begitu banyak penyemprot air yang menjaga suasana tetap segar.

Mereka memilih tempat duduk dengan tenang, lalu mengambil buku menu masing-masing. Alina tidak begitu lapar, jadi hanya memesan sedikit porsi. Berbeda dengan Will, dia butuh asupan lebih karena sudah tiga hari tidak makan karbohidrat.

"Kau hanya memesan ayam tagine?"

Alina mengangguk, "Aku tidak begitu lapar."

Will memperhatikan tulang selangka Alina, "Kau semakin kurus, jangan terlalu keras berdiet."

"Hei tuan, aku memang tidak lapar," Alina menampilkan raut masam, dan memalingkan wajah.

"Tetapi baik-baik saja, kau memang pantas kurus. Asal payudara dan bokongmu berisi itu tak masalah,"

Alina kesal,"Kenapa kau selalu membahas hal tidak sopan seperti ini sih. Kau tidak punya moralitas ya?"

Will hanya mengendikkan bahu tak peduli, dia menilik setelan Alina hari ini. Gadis itu menggunakan gaun berbahan jatuh dan lembut sebatas lutut berwarna coral. Busana itu mengekspos bahu alina dan punggunnya yang halus, serta tulang dadanya yang membentuk kerangka indah. Topi besar berpita dikepalanya menambah kesan kebebasan.

Tak dipungkiri, Will selalu terpesona dan terganggu dengan kacantikannya. Terlalu molek, sampai dia takut pria lain akan merasakan hal yang sama sepertinya.

Mereka saling bertatapan, Alina cukup terusik dengan pandangan Will padanya. Ada apa? Apa terdapat jerawat diwajahnya? Kenapa dia terus melihatnya seperti itu. Baiklah, alina akan meladeni perang mata ini. Namun mirisnya, dia bahkan tak kuat dan menyerah.
"Tuan, makananmu sudah sampai,"

Girl in The Dark (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang