"Aa_aku.." Jim tergagap, ini bukanlah bagian dari ekspetasinya saat berhadapan dengan gadis incarannya. Latihan berkali-kali tidak membuat optimismenya lahir begitu saja.
"Apa yang mau kau bicarakan?" Fania mulai jengah, dia memalingkan muka, malas sekali melihat pria ini, tentu raut kesal ini tak dikeluarkan.
Sudah 30 menit Fania menunggu Jim berbicara, tetapi orang ini malah menyia-nyiakan waktunya yang berharga. Jika bukan idola dosen, tak sudi Fania menemui Jim ketika teman seruangan dengannya memberitahu bahwa pria itu sedang menantinya di belakang kampus.
Terpaksa harus menemui, sebab dia masih membutuhkan otak cerdas Jim.
Dari adegan ini, kita mengetahui betapa munafik Fania. Gadis licik yang mempesona.
"Jim, Aku sedang pusing memikirkan penelitianku. Aku sangat-sangat sibuk, jadi bisakah kau mengatakan apa yang ingin kau bicarakan," walau hatinya dongkol, Fania tetap mengatakan dengan senyuman yang dapat membuat para pria kecantol.
Dan Jim adalah salah satu dari mereka.
Saking terpesonanya dengan senyuman Fania, dia hampir jatuh ke lantai. Betisnya lemas, jantungnya berdebar kencang, seperti ada ribuan rayap yang menggerayangi perutnya. Geli dan menyenangkan, sensasi paling aneh namun nyata.
'Kau pasti bisa Jim!' wajah ramah Fania membangkitkan semangat, dia menutup mata lalu mengerjap kembali. Iris matanya membidik seorang gadis berambut hitam berponi, dia cantik dan memiliki dua dimple ketika mengukir garis tipis.
Dia adalah alasan mengapa Jim selalu pulang terlambat, hanya untuk melihatnya menari ballet dengan lincah.
Serta penyebab Jim rajin ke lapangan basket, Cuma untuk melihatnya berdiri di sisi lapangan.
Walau Jim tidak nyaman saat gadis itu, meneriakkan sebuah nama. Ya! 'Will Whitson', seorang kapten basket yang tampan dan kaya raya, Idola gadis seantero kampus. Tetapi, melihat antusiasmenya, Jim ikut bahagia. karena tahu, jika Will Whitson tak akan melirik Fania.
Fania selalu menjadi alasan dalam kehidupan Jim, termasuk memulai pertemanan dengan gadis jurusan akuntansi, Firsa.
Katakanlah dia jahat, tetapi itu semua sebab ingin mengenal Fania lebih jauh, dengan cara mendekati Firsa.
Jim selalu jatuh cinta pada Fania setiap hari, Namanya seperti tinta permanen yang melekat dalam otak dan hatinya.
Fania selalu menjadi matahari dalam hidupnya, memberikan cahaya dan merupakan pusat dari segala rencananya.
"Maukah kau menjadi kekasihku?" usai mengutarakan, Jim menutup mata. entah takut menerima penolakan atau menguatkan hati untuk setiap jawaban yang didapatkan. Rasa cintanya begitu menggebu-gebu sampai tidak bisa menahannya lagi.
Senyum Fania perlahan menyusut, otot wajahnya kaku, pupil matanya tak berubah. Tetapi jika diperhatikan lebih jelas, terdapat pandangan merendahkan.
"Jim, kau adalah pria yang cerdas, dan jika sedikit dibenahi, kau juga lumayan tampan," setiap kata demi kata mengandung nada menyegarkan, membuat Jim lega dan berpikir positif.
"tetapi, kau bukan tipeku," fania menampilkan ekspresi lemah dan menyedihkan, seolah merasa bersalah "aku juga menyukai orang lain," lanjutnya.
"Kau mengenalnya_oh tidak, semua orang mengenal pria itu," setelah jujur, wajah Fania memerah seperti kepiting rebus dalam panci, "Dia, Will Whitson."
'Syukurlah,' batin Jim lega, sebab dia tahu jika Will Whitson merupakan pusat kebanyakan gadis. Will tidak akan tertarik pada gadis-gadis yang meneriaki namanya di sisi lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
RomantikAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...