"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya," Dr.Marvin berujar, kekecewaan tercetak di muka keriputnya.
"Pembuluh darah arteri karotis terpotong, sehingga tidak ada pasokan darah ke dalam otak. Aku sangat menyesal Tuan Stinly."
Tom Stinly tidak berkedip, semalam, ketika dia asik memenuhi nafsu biologisnya disebuah tempat mewah bersama gundik kesayangan, seorang inspector menghubungi pagi-pagi buta selama dua puluh kali, menjelaskan dengan terputus-putus mengenai tindakan bunuh diri putrinya, Maria Stinly. Gadis pengidap gangguan jiwa itu sangat merepotkan, namun agar terlihat seperti sosok ayah yang perhatian dan penuh cinta, dia harus datang sebagai wali dan menyetujui proses operasi. Padahal jika pun mati, dia tidak peduli.
"Aku_" Tom menutupi wajahnya yang meringis sedih, seolah sangat terpukul sekali.
Dr. Marvin menepuk pundak Tom, bukan sebagai rakyat pria itu, tetapi menghibur bak seorang dokter pada umumnya. Dia pernah menjadi ayah, mengerti bagaimana rasanya ditinggal anak sendiri. ditengah adegan memilukan itu, Tom tertawa senang. Kenapa tidak dari dulu saja? Ucapnya dalam hati.
Sedangkan Tom berakting dihadapan orang-orang dan media, Rachel Monroe melamun sambil menenun benang warna-warni. Tadinya dia akan membuat syal untuk menghangatkan tubuh Maria Stinly, dan rasanya itu semua tidak ada artinya lagi. Hatinya terguncang, jiwanya melayang, tetapi tidak ada air mata yang mengambang. Dia memandang jendela, langit terang benderang, sementara jiwanya kacau dan terbang. Bingung dengan perasaannya, tak sadar jika kalbunya menjerit-jerit karena kehilangan.
Pada ruang tengah, televise berbicara sendiri, menampilkan berita terkini, tentang kasus pembunuhan yang terjadi pada pengusahawan berbakat, "_Mark Amberilla mengalami delapan belas tusukan serta benturan keras dikepala, diduga pelaku memukulnya dengan botol alcohol sebelum menikam. Saat ini tersangka, yang merupakan putrinya sendiri, telah ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian_" ucap pembawa berita.
Dilain tempat, Alina memperhatikan dibalik kaca luar ruang interogasi, bagaimana mudahnya Firsa mengakui kejahatannya. Penyesalan tidak tampak disana, malah bisa dikatakan gadis itu lega telah mengakui semuanya. Kepalan tangan Alina mengeras, berbulan-bulan mencari akhirnya ketemu, tetapi dia tidak merasa puas sama sekali. hanya Tuhan yang mengetahui seberapa besar kebenciannya pada gadis laknat itu.
"Apa alasanmu merencanakan pembunuhan pada Nyonya Whitson?" diseberang meja, Luke bertanya pada Firsa yang memperlihatkan senyum sederhana, dia bukan lagi si pengecut yang orang-orang kenali.
"Kau salah memberikan pertanyaan Tuan," Firsa melihat ke samping, dimana dia yakin akan keberadaan orang lain dibalik kaca hitam itu.
"Seharusnya kau bertanya, 'apa alasanmu membunuh Nyonya Whitson?' hei, aku sudah membunuhnya beberapa bulan yang lalu bukan?" dia tertawa girang.
Alina tertegun, dia kaku untuk sementara waktu. Apakah artinya Firsa mengetahui siapa dia sebenarnya?
Luke mengeluarkan karbondioksida dengan pasrah, "Well, kau lebih cerdas dari dugaanku."
Polisi lain yang juga ikut menonton keduanya menoleh pada Alina, mereka seperti menyadari sesuatu namun juga kebingungan dengan semuanya. Tetapi, mereka tidak memiliki keberanian untuk bertanya lebih lanjut.
"Seperti yang sudah kukatakan, Aku memang membunuhnya. Kecelakaan berturut-turut itu akulah penyebabnya, merusak mesin mobil adalah keahlianku. Mendorongnya ke laut adalah rencanaku, dan aku juga lah yang membakar gedung itu, namun atas dorongan dari Maria Stinly. Kau sudah tahukan? Dia adalah majikanku, aku tidak bisa membantah." Firsa cecmberut lalu tersenyum senang, "Untuk alasan? Entah, aku hanya membenci Fania, dia wanita jahat."
"Kematian Mike Angello, apakah ada hubungannya denganmu?"
Lensa Firsa membesar, "Ah! Pria tampan itu. Maria Stinly yang menyuruhku mendorongnya. Dia gadis kejam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
Любовные романыAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...