19. Maria Stinly

1.8K 159 5
                                    

Maria Stinly, menatap muak bangunan besar didepannya. Jika bukan karena merindukan Rachel Monroe, ibu kandungnya. Tak sudi kakinya melangkah kearah sini. Sebuah tempat yang menghasilkan kenangan buruk dalam hidupnya. Tak akan pernah dia melupakan bagaimana Tom Stinly memperlakukan mereka seperti sampah tidak berguna.

Dia selalu membenci ayahnya.

Kebenciannya meningkat tatkala Tom mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Cara halus untuk mengusirnya dari wanita yang pria itu cintai.

Jika semua orang mengatakan rumah adalah tempat terbaik untuk pulang dari rasa penat yang melukai, maka dia sebaliknya. Pulang ke rumah, adalah awal dari rasa lelahnya. Dia letih pada semua argumennya yang tak pernah berarti untuk Rachel, sebuah perasaan yang mengalirkan kemarahan.

Maria berjalan masuk, dengan santai mengabaikan para pelayan yang menyambut kedatangannya. Kegugupan terlihat jelas dimata mereka saat ini.

"No-na, kau kembali?"

Maria hanya mengangguk, dan melanjutkan langkah.

"Nona, lebih baik kau mandi dulu. Kami akan menyiapkan air panas," itu kalimat pelayannya yang lain.

Maria sangat tahu, bahwa tawaran itu adalah sebuah alasan untuknya agar menunda pertemuan dengan ibunya.

Setidaknya, jangan bertemu dalam kondisi dimana wanita tua itu sedang mencapai klimaksnya.

"Kali ini siapa lagi hm?" Maria hanya bisa menghela nafas panas. Sudah menebak pemandangan apa yang akan dilihatnya di ruang tengah.

"Nghhh, Bergeraklah lebih cepat nak," suara rintihan wanita terdengar dari arah ruang tamu. Meski begitu, Maria tak terkecoh, seolah terbiasa dengan suasana panas ini.

"Nghh, sepertinya ini pengalaman sex mu yang pertama-Ouhh, lebih dalam hhh," bersamaan dengan desahan nikmat itu. Maria sampai di sumber suara.

Semua tampak kontras, ditengah ruangan luas, diatas sofa panjang yang empuk. Rachel Monroe sedang terlentang dibawah pria muda yang kurus dan pucat. Melihat peluh yang berucucuran, Maria yakin ibunya sangat menikmati permainan itu. Sementara raut tertekan tercetak diwajah prianya. Seolah-olah dia tak kuat dengan birahi besar ibunya.

"Apakah dia seorang pelayan?" Maria bertanya pada salah satu pembantunya. Ketika pandangannya menangkap baju yang berceceran di lantai merupakan busana pelayan di rumahnya.

"Ya, dia pengurus kebun belakang," saut pelayan wanita lain.

"Sekarang bahkan levelnya telah turun ke pesuruh miskin," gumam Maria.

"Ibuku yang malang," lanjutnya.

Maria bisa terima jika ibunya menyewa pria gigolo yang berkualitas dan maskulin untuk memuaskan binatang buas dalam dirinya. Tetapi bagaimana bisa Rachel membiarkan tubuhnya yang dirawat dengan pengeluaran uang berlimpah-limpah, harus disentuh tangan kotor pengurus kebun dirumahnya sendiri.

Dimana martabatnya sebagai ibu negara?

Dia tak akan membiarkannya.

"Maaf, aku harus mengganggumu bu," Maria mengangkat tungkai, menghampiri kedua manusia tanpa rasa malu itu.

Maria membuka sepatu tingginya, melemparkannya sembarangan.

Ketika aksi pria itu semakin kasar saat mendorong kemaluannya. Maria dengan keji, menekan pantatnya dengan kaki tanpa alas.

Memaksa kemaluan pria itu berhenti tertanam dilubang kemaluan ibunya. Hingga keduanya menjerit sebab gertakan mengejutkan dari kaki Maria.

Maria tersenyum seram, lalu memandang kedua manusia yang kini sedang marah sebab terlambat mencapai puncak kenikmatan.

Girl in The Dark (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang