Manusia seperti apa yang paling menyedihkan di dunia?
Ialah mereka yang tak mampu mempertahankan orang yang mencintainya.
Ketika Alina memasuki rumah, pemandangan pertama yang dia lihat adalah kegelapan diseluruh ruang. Waktu saat ini menunjukkan angka jam empat sore lewat tiga puluh menit, mungkin karena matahari tidur lebih awal tidak seperti biasanya, membuat ruangan besar ini terisolasi dari cahaya luar. Ditambah lagi dengan semua lampu yang padam.
Alina tidak tahu dimana keberadaan para pelayan saat ini, namun karena kepalanya pusing memikirkan peringatan-peringatan Luke serta baru saja pulih dari demam, tidak membuat dia penasaran pada suasana dalam rumah.
Bersama puing-puing kecemasan dan kelelahan, dia menaiki tangga dengan linglung. Saat langkahnya sampai ke dalam kamar, kegelapan yang sama masih mengikuti. Untuk memperjelas penglihatan, dia mencari saklar di belakang pintu, lalu menekannya. Lampu menyala, ruangan yang tadinya tamaram, kini dapat dilihat jelas oleh mata meski sedikit terpejam.
Saat Alina berbalik, berniat menuju Kasur king size yang sudah tertata rapih, netranya menangkap siluet pria tinggi berbalut kemeja hitam dipadukan celana bahan berwarna setara sedang mematung memandang jendela besar. Saku celananya dipenuhi oleh kedua tangan, roman tanpa emosinya membangkitkan rasa takut bagi siapapun. Tidak ada yang bisa menebak jalan pikirnya.
Alina tak pernah merasa segugup ini Ketika berhadapan dengan Will Whitson. Aura gelap dan dingin yang memancar dari tubuh pria itu menciptakan perasaan tidak enak dihatinya. Dia merasa seperti telah melakukan kesalahan fatal yang tak bisa dimaapkan. Dibalik punggung kokoh Will, Alina meyakini bahwa 'suaminya' sedang menanti kedatangannya. Karena jika tidak, tak mungkin pria itu berada di ruangan ini.
"Kau menungguku?" Alina tak ingin berbasa-basi. Dia berjalan kearah Will dengan tenang setelah membuang tas tangan secara asal.
Will tidak bereaksi, begitu pula dengan raut mukanya. Tetapi tak ada yang tahu kalau di dalam kantung celananya, tangannya terkepal begitu kuat, menahan emosi yang bisa meledak kapan saja.
"Kau ingin membicarakan sesuatu?" lagi, Alina memancing Will.
Tidak mendapat jawaban secara lisan membuat Alina kesal, "apa kau tuli? Terserah, aku ingin tidur. Tutup pintu jika sudah bosan disini." Terusnya.
Begitu dia ingin berbalik menuju ranjang, tangan kekar Will yang terbiasa melakukan olahraga berat menariknya kuat hingga tubuhnya menempel dekat dengan pria itu. Alina tak menahan jeritan akibat terkejut dengan pergerakan tiba-tiba.
"Kau kenapa sih!" sudah muak karena kasus yang tak ada habisnya, sekarang sikap Will menambah kekesalannya.
"Darimana saja kau?" pandangan menuduh ditembakkan ke Alina.
"Aku tidak mengerti_" Alina merasakan genggaman Will semakin ketat, dia yakin jika dilepaskan pasti akan mencetak garis kemerahan.
"Kau bertemu dengan siapa hari ini?" tanya Will, ekspresinya masih sama.
Alina tidak paham kenapa pertanyaan aneh ini muncul dari bibir tebal Will, dia juga bingung dengan kemarahan yang tercetak di wajah pria itu. Apa dia melakukan kesalahan? Tiba-tiba ini mengingatkannya pada hari dimana dia tak sengaja menumpahkan segelas kopi pada dokumen penting milik perusahaan ayahnya Ketika dia berusia 10 tahun. Seperti hari ini, Alex juga memberikan tatapan yang sama seperti Will karena kecerobohannya.
Namun, aku tidak menumpahkan minuman di dokumen Will kan hari ini? Alina bergumam dalam hati.
"Kenapa kau ingin tahu! itu bukan urusanmu," Alina mengabaikan ketakutan dihatinya. dia berusaha mendorong tubuh Will, namun apalah daya. Kekuatan pria dua kali lipat dibanding wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
Roman d'amourAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...