Jam 7 pagi, Alina bangun dari tidur indahnya, bukan karena ada pengganggu yang menggedor-gedor pintu, tetapi terusik cahaya Mentari. Sinarnya yang mengandung vitamin D, tersusun dari gas, hydrogen, helium dan oksigen masuk melalui celah hordeng, mencetak garis keemasan diantara gelapnya ruang.
Semenjak pristiwa tragis ibunya, Alina tak pernah merasakan tidur nyenyak, selalu didekap oleh ketakutan. Tetapi, suara rendah Will menciptakan melodi ketenangan, meredakan pikiran dari segala kemarahan dan kegelisahan, sehingga kantuk menguasai. Terlelap tanpa bangun ditengah malam lagi.
Alina bersyukur, pria itu sudah pergi mencari nafkah Ketika dia bangun. Jadi tak perlu repot-repot menyembunyikan wajah atau berpura-pura tertidur agar menghindar darinya.
Bagaimana dia harus menyebutnya? Merasa terlindungi saat didekat pria itu? atau merasa tidak sendirian? Sulit dijelaskan, namun ini tidaklah buruk.
Alina bangkit dari ranjang, membuang selimut asal,mendekati jendela besar, lalu menarik gorden coklat berbahan tebal. Ketika kain terbuka, sinar ber-energi fusi menusuk retina, dia mengerjap dan menyipit untuk menyesuaikan pandangan, sudah terbiasa dengan kegelapan dan kehampaan.
Dalam bayangan dimanik-manik nya yang jernih, terpampang kebun hijau dengan burung-burung merpati berbulu putih berseri sebagai pelengkap. Hari ini musim semi, dimana daun muda mulai tumbuh, dan para hewan berkulit tebal terbangun dari hibernasi, memulai hari dari awal lagi. Melalui kamarnya, Alina dapat merasakan hawa hangat dan dingin menyumpal lubang-lubang tempat pembuangan keringatnya.
"Kupikir, sudah cukup pembunuh itu mempermainkanku," Alina bergumam, mengangkat kepala ke langit-langit kamar sambil terpejam, menikmati udara segar dipagi hari.
Alina benci memikirkan tentang bagaimana pembunuh itu mentertawakan dirinya dalam kegelapan. Mempermainkan hidup dan mati seseorang, bersikap seperti dia adalah Tuhan. Sudah cukup Alina berperan sebagai badut penghibur untuk manusia psikopat itu, waktunya mengambil alih peran. Karena untuk melawan orang jahat, kau harus menjadi lebih jahat dan kejam.
"Biarku balas pembunuh keji itu, apabila aku menemukannya" masih dengan posisi yang sama, Alina mengancam pelan.
berlarut-larut dalam ketakutan akan membuatnya kehilangan diri sendiri, mengabaikan kesehatan serta terkena penyakit mental. Sebagai mahluk yang mengerti obat-obatan, Alina termasuk orang yang jarang sekali sakit. Namun, gara-gara pembunuh berdarah dingin itu, dia tepar terkena demam dan terpaksa mendekam dikamar selama beberapa hari.
Sambil merutuki kejadian yang terus menimpanya, dia berjalan memasuki kamar mandi. Membersihkan tubuh dari keringat lengket yang telah terbentuk berhari-hari. menghasilkan rasa gatal di kulit, sebab bibi Nia hanya mengelap tubuhnya dengan kain lembab selama dia jatuh sakit.
Memulai kembali, pikir Alina.
Sehabis mandi, Alina berpakaian sederhana, hanya gaun selutut dengan serat stapel berwarna abu-abu gelap. Menata rambut, tidak memakai sebutir bedak pun, optimis pada wajah telanjangnya. Dia berniat turun ke lantai bawah, mengawali kesembuhan dengan sarapan bersama Nick.
dia berjalan anggun, mengendalikan ekspresinya, membuka pintu kamar dan dikejutkan oleh kehadiran kepala kecil setinggi pangkal pahanya. Nick dengan pandangan gugup berdiri didepan pintu kamar, seolah sedang menimbang-nimbang apakah akan mengetuk pintu atau berbalik kembali ke meja makan. Tetapi, sebelum memilih salah satu dari opsi tersebut, Alina telah menangkap basah anak itu terlebih dahulu.
"Nick? ada apa?" Alina membungkuk, mengelus pipi Nick seraya menatap lembut.
"Merindukanku ya," ini bukan hanya terkaan, sebab Alina melihat kerinduan dimata pria kecil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl in The Dark (END)
RomanceAlina Alexander menetap di Australia selama13 tahun. Rasa rindunya pada Fania Alexander yang merupakan saudari kembar identiknya membuat dia berencana pulang. Meski diliputi keraguan karena kejadian masalalu, dia tetap meyakinkan diri untuk berdamai...