Part 10

61 52 0
                                    

“Malam di ambang lelah, saya mengitari rumah kediamannya sebanyak tujuh kali—ketika itu saya belum menyemayamkan diri dalam tubuh seekor gagak. Prasangka saya meyakini bahwa tidak ada seorang pun bisa melihat rupa wujud saya kecuali sekumpulan anjing yang kerjanya mendengus, menggonggong, melolong, dan sekumpulan kucing mengeong lirih. Saya tidak peduli pada binatang-binatang itu, atau berpikiran buruk. Semua saya sembunyikan rapat-rapat. Di ujung tugas yang baru dimulai ini, saya menyembunyikan akar-akar dan daun-daun yang telah kami ramukan di keempat sudut rumah.”  Kata gagak lainnya yang mengoceh padanya.

“Saya merapal mantra dengan tegas dan tanpa rasa takut, sebab di mata saya terbayang kemenangan, dan kekalahan bagi laki-laki uzur yang bermulut pisau itu. Jiwanya akan kami bawa mengitari kampung, pada tengah malam, sambil mencambuknya hingga lengking suaranya terdengar. Di dalam perjalanan itulah, kami akan membuat semacam perhentian, memanggil ‘orang-orang’ yang mengabdi diri pada kehendak kami, melahap bersama tubuh yang kami bawa itu. “

“Saya tertawa ketika diberi tahu oleh kawan bahwa lelaki yang kami hadapi bukan sembarang lelaki di kampung ini karena, konon katanya, ia terlahir dari seorang ibu yang ditahbiskan oleh warga pada masa itu sebagai tabib dan seorang ayah yang juga ditahbiskan sebagai cenayang terhebat. Lebih lanjut kawan saya itu berkata bahwa dalam diri lelaki itu ada tabib dan cenayang.”

“Saya katakan dengan enteng bahwa kematiannya adalah perkara mudah. Membunuhnya ibarat kita mencuil kotoran hidung. Bukankah memang dunia sekarang dipenuhi dengan pelaku-pelaku pembunuhan?”

“Pertanyaan saya tidak digubrisnya. Ia hanya katakan bahwa segalanya harus bersama agar jiwa kita murni. Agar kami sama-sama mencapai kemuliaan.”

“Maka keesokan harinya, saya berkelana—maksudnya jiwa saya—terbang di atas hamparan laut. Begitu saya melihat seekor gagak menukik tajam ke arah laut, saya mengejar. Saya merasa bahwa dirinya adalah sebuah pesawat tempur dan saya adalah rudal. Gagak itu memang diberkahi dengan penglihatan lebih, ia menyadari kehadiran saya. Ia menambah kecepatan, saya memacu hasrat. Saat mendekat permukaan laut yang tenang, ia menjungkir, terbang rendah di permukaan, saya tidak mau ketinggalan. Saya kejar. Kadang ia ngikik begitu menyadari bahwa saya tertinggal jauh di belakang. Dan, begitu kecepatan mencapai batas maksimun, tubuh kami melebur. Kami menjadi satu. Kami menyatu, melebur dalam cahaya putih yang gemilang.”

“Saya mulai mengepakkan sayap, terbang menuju rimba karena di sana, kawan saya, sedang memburu seekor gagak yang lain. Mungkin jiwa mereka telah lebur. Mungkin sekali mata gagak itu menyala, karena dalam dirinya bersemayam iblis jahanam yang diberkahi langit.”

“Jika kau telah membaca atau mendengar kisah tentang seorang wanita yang menetaskan anak-anaknya dari liang kesuburannya, maka saya ingin katakan lagi bahwa saya adalah salah satu anak yang tidak dituliskan riwayatnya. Dan, memang sejarah tidak berlaku adil atas kehidupan saya. Keturunanan terakhir biasanya dilupakan karena saripati kehidupan sesungguhnya berada di pundak yang awal.”

“Maka saya tetap membunuh demi menuntaskan lapar yang tiada pernah berkesudahan.”

“Terpujilah segala laknat yang menahbiskan dirinya sebagai nabi baru, membunuh tanpa berperikemanusiaan. Memberi seluruh jiwa agar Lilith dikenang kembali, sebagai manusia yang pernah dilahirkan di dunia yang fana ini. Maka, wahai Ibu Lilith yang kami kasihi, ibu yang dilupakan, datanglah bersama roh-roh angin, bersama mata angin-mata angin—dari selatan ke utara, dari timur ke barat—leburlah dalam jiwa ini. Jadikan jiwa ini sebagai laknat yang paling jahanam. Nyalakan api abadi dalam tubuh ini. Pakailah tubuh fana ini untuk kepentingan kita bersama. Segala pasrah tengadah padamu. Total, setotal-totalnya, sebab tiada pengabdian yang lebih purna selain kepadamu, Ibu. Ibu yang telanjur tersemat jahanam dan keras kepala. Ibu yang diam-diam menguntai air matanya menjadi manik-manik yang memancarkan cahaya bara. Ibu yang dari matanya menceritakan kisah pedih tentang lupa.”

“Wahai Ibu Lilith, bibir latah ini siap dipakai untuk segala firmanmu, untuk segala dahagamu yang belum tersampaikan, agar kau dan kami yang kerdil mampu mengguncang Semesta. Mendengar jeritan yang paling pedih, yang sakit, yang terluka, yang nestapa, erang yang bagai muncul dari binatang terluka, tentunya, setelah itu, kita merayakan kemenangan di atas tangis dan nestapa, mengikik seperti kuda-kuda liar di padang terbuka, bernyanyi dan berdendang ria, menari sambil menunggu berkah yang diturunkan ke kepala kita. Berkah dari surga, berkah dari kerak neraka. Kutuk dari surga, kutuk dari kerak neraka.”

“Kuasalah diri saya sebagai iblis yang paling jahanam, dengan taring-taring panjang dan tajam, setajam mata elang, nyalakan bara dalam liang mata ini. Rajamlah saya dengan kelaknatan, dan kutuklah saya agar semakin subur dan pandai membaca gelagat agar kesucian malaikat tidak dilahirkan dalam diri saya, tapi songsong saya dengan iblis-iblismu.”

“Saya senang bukan main karena pada akhirnya bisa melaksanakan tugas suci ini lagi. Seperti sebelum-sebelumnya, saya membayangkan sebuah kematian yang menyenangkan hati saya. Di alam tak kasatmata, kami akan mendatangi si korban tepat tengah hari, yang pada malamnya jiwanya telah kami gerogoti. Saya ditugaskan membelah perutnya, mengambil usus, lalu dengan usus itu saya lilitkan ke lehernya. Salah seorang akan menekan dadanya sehingga ia (si korban) terlihat bagai kesesakan napas, dan seorang di antara kami akan memegang kakinya sehingga ia tak punya kuasa untuk berontak.”

“Setiap saya mengencangkan simpul usus pada lehernya, lalu disertai tekanan kawan saya di dada, dan melihat si korban berontak tapi kakinya tak bisa bergerak, kami bertiga akan ngikik. Dan, saat mulutnya menganga seperti ingin mengatakan sesuatu, saya akan meludahi mulutnya dengan sepahan sirih pinang, kawan saya yang menekan perut si sakit berdiri lalu mengarahkan penisnya ke mulut yang terbuka itu lalu ia kencing, dan teman saya yang lain, yang kami percayakan dirinya sebagai Tuhan yang Mahamurka dan Mahaadil, mengarahkan pelirnya, mengocok lalu tersemburlah maninya yang putih kental berlengket itu. Dengan rasa gemas dan hasrat mencintai yang membabi buta, saya menyumbat hidungnya dan membisikkan kata-kata jahanam dan cinta, seperti, tidurlah dalam damai, Tuhan, Malaikat, dan Iblis menyertaimu. Dan, ketika ia berusaha menahan kematiannya agar lebih lama, ditandai dengan mata mendelik, kami akan tertawa terpingkal-pingkal. Melompat ke atas tubuhnya, berguling hingga ranjangnya bergetar. Kami senang memandang matanya yang melotot.”

“Tepat tindakan ini berlangsung, di bubungan, di langit-langit rumah, kami melihat Tuhan, Malaikat, dan Iblis semringah, lantas saling menyalami satu sama lain. Mereka tampak begitu bersahabat. Mereka terlihat seperti sekumpulan berandal yang tertawa lepas sambil meneguk tuak.”

“Setelah semua itu berakhir, seseorang yang mengenakan jubah hitam, kerudung, dengan wajah ditutup kain tipis, memberi sembah kepada Tuhan, Malaikat, dan Iblis yang telah duduk. Setelah itu, seseorang muncul dari belakang, membawa sebuah kitab tebal dan menyerahkan Kitab Kehidupan itu kepada orang yang mengenakan kerudung tadi.”

“Dibukalah kitab itu, dengan nada lirih penuh haru biru, ia mulai mengisahkah riwayat hidup orang yang sebentar lagi meregang nyawa di tangan kami.”

“Usai ia mengisahkan, semua orang yang berkumpul dalam ruangan tersebut melemparkan pandangan ke samping. Tergambarlah sesosok yang hendak kami bebaskan. Setelah menyaksikan gambar itu, mereka bertepuk tangan hingga gemuruhnya terdengar di bumi dalam wujud halilintar. “

“Sucilah iblis. Mulialah setan. Laknatlah malaikat. Jahanamlah malaikat.”

“Kali ini, dalam diri saya bersemayam seorang Iblis. Tugas saya adalah membunuh seorang yang telah kami tentukan bersama. Seperti telah dikatakan teman saya, tugas saya nantinya adalah menekan dada si korban agar ia kehabisan napas. Ini saya lakukan dengan senang hati karena saya akan membebaskan dan memuliakan hidupnya. Saya pun harus berhitung secara cermat setiap dengusan napasnya agar orang-orang, atau sanak kerabat, atau anak dan istrinya tidak mencurigai kematian si korban.”

“Cara saya seperti ini. Saya menyumbat mulut dan hidungnya dengan tangan kiri dan, dengan tangan yang lain saya tekan dadanya kuat-kuat. Dan, setiap tiga menit saya longgarkan sumbatan dan tekanan. Karena, seperti kami sepakati sebelumnya, bahwa dalam sebuah pembunuhan mesti ada sisi sensasi (yang kami maksudkan adalah sensasi seksual—bagaimana kelamin kami bisa ereksi—dan jika ada wanita, liang gabah purba itu harus berlendir), maka ketika sensasi itu tidak tercapai, pembunuhan kami dikatakan gagal.”

“Ini sebetulnya rahasia kami. Kedua kawan saya yang dungu itu malu menceritakan hal ini secara terus terang. Saya tidak puas kalau tidak menekankan nada suara pada kata bodoh amat, sebab mereka memang begitu. Memangnya dunia ini tidak tahu? Persetanlah dengan mereka. Bagaimana  juga mereka merahasiakan, serapat-rapat apa pun, sedalam samudera atau setinggi langit, bahkan sampai ke liang selangkangan yang paling gelap pun, tidak ada rahasia.”

“Begitu kami melihat si korban menjerit, atau ketakutan, atau tangannya ingin meraih sesuatu di sekitarnya, atau memuntahkan semua nama binatang untuk melaknatkan deritanya, kami tertawa hingga air mata jatuh. Itulah saat-saat kami akan mulai merasa sensasi purbawi itu, yang membuat dada kami lega dan melenakan. Sungguh!”

“Saya akan membisikkan kalimat yang paling saya senang ke telinganya. Penderitaan itu adalah doa, Kawan. Maka, menderitalah. Kami mendengarmu. Setelah saya membisikkan kalimat itu, matanya akan mendelik dan mulutnya membuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sebetulnya ia haus. Maka, kami akan memberinya air kencing dan air kehidupan¸ ke dalam mulutnya.”

“Begitulah cara kami memuliakan sesosok tubuh ketika ia di ambang maut. Untuk lelaki yang akan kami bebaskan ini, saya menemukan cinta yang membara dalam liang matanya. Cinta yang begitu tulus. Cinta yang meluas dari kebersahajaan. Cinta seorang kebapaan, kepada istri dan anak-anaknya.”

“Dan, oleh cinta yang melumer bagai tiada pernah berhenti itulah yang menjadi alasan kami membebaskan dan menyucikan jiwanya. “

“Setelah kawan saya terbang menuju samudera, kini giliran saya terbang ke hutan rimba, mencari seekor gagak bermata saga. Saya pun tidak terlalu kesulitan. Pada kedalaman rimba, saya menemukan seekor gagak dan jiwa saya langsung melebur bersamannya. Kami melebur di antara langit dan bumi. Ia menukik dan saya mengundara, dan kami saling menubruk.”

“Sebaiknya kau bersumpah terlebih dahalu. Jangan menghakimi kami (para gagak) sebagai pendongeng, sebab apa yang tertulis, memang benar-benar terjadi. Karena, sejak awal kami bukanlah pendongeng yang baik, atau penipu yang lihai. Dan, berterimakasihlah kepada ingatan karena ia masih menjaga wibawanya.”

“Kini, ia yang sebentar lagi berjalan menuju keabadian, di mata saya ia adalah permaisuri yang harus saya jamu dengan wangi dupa dan kemenyan. Saya memperlakukan dia dengan segala keistimewaan surgawi (karena ia senang dengan segala yang berhubungan dengan surga), tapi setiap perjamuan itu saya sisipkan kebodohan-kebodohan hingga otak mengajak tubuhnya membenci jiwanya.”

“Karena berdasarkan garis keturunan, ia dan saya masih sedarah—ia si sulung, maka dalam diri saya mengalir cinta dan benci, dendam dan kasih. Dua hal bertolak belakang ini seharusnya tidak  menunas dalam diri saya sebagai pembunuh. Saya tidak bisa menolak. Semua harus terjadi, demi penyucian dirinya, demi melaknatkan dirinya.”

“Setelah pikir punya pikir, dan pertimbangan bersama istri kelima, saya harus membagikan jiwa saya menjadi dua bagian. Pertama, jiwa saya menyusup ke dalam diri si istri dari sang korban guna memecahbelahkan keluarga utuh mereka. Tugas selanjutnya yang akan saya lakukan adalah mendatangi seorang tabib—menyusup ke dalam tidurnya hingga ia bermimpi—bahwa sang istri korban adalah alasan di balik kematian suaminya. Karena di dalam mimpi itu, saya mengubah wajah menjadi sang istri.  Kedua, jiwa saya yang lain menyusup ke dalam seekor gagak bermata bening. Pada kaki burung gagak akan dipakai sebuah cincin. Sehingga ketika burung gagak yang meregang nyawa terkapar, dan warga menemukan cincin itu melingkar di sana, mereka akan membayangkan sebuah hubungan kedekatan, keterikatan. Bukankah ini adalah rencana pembunuhan yang paling genius di dunia pertenungan? Karena saya adalah Tuhan, yang genius, yang merancang dengan kecermatan tinggi, dan tentu dengan segala pertimbangan. Dalam ilmu tenung, kami kenal dengan sebuah istilah  sakral yang, jika dilafalkan segala cara.”

“Begitu selesai mengitari kampung sebanyak tujuh kali, dan berkaok-kaok sebanyak 77 kali, kami menukik tajam menuju kampung ini. Kami bertiga hinggap di seng rumah si korban, berpekik dengan lengking yang paling menyayat, sendu, nelangsa. “

“Karena kami sudah tahu bahwa akan ada dua orang datang membidik kami dengan katapel, kami terbang rendah dan singgah ke rumah sebelah. Dua orang berkatapel berusaha mencari cela, tapi kami akan mengambil salah satu sudut agar tidak ada kemungkinan mereka membidik.”

“Lalu kami terbang lagi, ke rumah sebelah. Kedua kawan saya akan terbang jauh, dan membiarkan saya sendirian. Di saat itulah, saya akan mencari celah, tempat terbuka, sambil berpura-pura seperti tidak melihat si penembak. Tepat saat itu, ia akan memanfaatkan keadaan itu untuk membunuh saya. Ketika mati, saya membebaskan jiwa dari bangkai itu, lalu kembali ke tubuh asli.”

Seekor gagak lainnya terbang di sekitar Hiro sambil meneriakkan kata-kata yang membuat Hiro merinding.


“Sucilah iblis! Mulialah setan! Laknatlah malaikat! Jahanamlah malaikat! Kami adalah pembunuh suci!” Teriak gagak itu. Seketika itu, Hiro langsung berlari pulang ke rumahnya.

Beberapa menit pun berlalu, tak terasa malam pun sudah tiba. Kini, Ia sudah masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Setelah itu, Ia mendengar suara langkah kaki seseorang yang berasal dari lantai atas kamarnya. Hiro pun menelan salivanya, Ia merasa ada seuatu yang tidak beres.

“Apa yang kau lakukan di kamarku? Tunjukkan dirimu Kenzo? Apakah itu kau?” Tanya Hiro sambil mendongak ke atas.

Suara langkah kaki itu berhenti, dan tak lama kemudian muncullah sosok wanita dengan wajah berwarna putih tak bermata jelas, tak memiliki hidung dan mulut yang jelas. Namun, disertai mulut dengan seringai menyeramkan. Sosok wanita bergaun putih dengan beberapa rumbai di sekitarnya menunduk dan menatap ke arah Hiro dari lantai atas.

Wanita itu seperti salah satu sosok yang Ia lihat di lukisan sekolahnya yang menyeramkan tadi. Hiro pun langsung berlari menuju koridor sempit tempat kamar ibu dan ayahnya berada. Namun, di hadapannya malah ada sosok wanita berkulit pucat kotor, berambut pendek dengan leher yang penuh darah, kedua matanya berlubang, mulutnya terbuka seakan-akan telah memuntahkan darah. Sosok itu memakai short jeans, dan bra putih kotor dengan beberapa perban putih yang masih ada pada perut beserta telapak kaki kirinya. Dan di kedua kakinya yang kotor dari atas sampai bawah terdapat beberapa luka yang cukup serius.

Melihat sosok yang menakutkan itu, Ia langsung berlari ke koridor lain, dan masuk ke kamar tamu. Lalu dengan cepat menguncinya. Saat Ia menoleh ke belakang yang tak lain adalah tempat ranjang tidur bermata putih berada. Dari atas langit-langit atap ruangan tersebut, muncullah sosok mayat dengan kulit pucat kurus, tak memiliki hidung, dan tak bermata hanya titik merah yang menjadi matanya serta senyum seringai lebar yang menyeramkan ke arah Hiro.

Dengan cepat, Hiro langsung membuka kunci kamarnya dan membuka salah satu jendela di rumahnya. Setelah itu, dia melompat dari jendela tersebut dan berlari ke halaman belakang rumah dan terus berlari sekencang-kencangnya melewati padang rumput kering untuk menuju hutan.

Tiba-tiba langkahnya langsung terhenti, ketika Ia melihat lebih dari delapan tubuh sosok mayat yang kakinya tak menyentuh tanah sedang melayang di sekitar hutan dan masing-masing dari mereka perlahan mendekat ke arah Hiro.


Tepat pada saat itu juga Hiro langsung  berbalik dan berlari kembali untuk pulang. Dan tak lama kemudian, Ia pun akhirnya sampai di perumahan tempat rumahnya berada dengan jalanan yang sepi tak ada seorang pun yang berjalan di sekitar sana ataupun kendaraan yang lewat dengan suasana yang sepi, angin yang menusuk dingin, dan langit malam yang masih mendung, membuat tempat itu makin gelap dan menakutkan.

Karena Ia tak tahu harus pergi kemana lagi, Ia pun akhirnya kembali meneruskan langkahnya pulang menuju rumahnya. Tapi, Ia melihat lampu kamarnya menyala dari luar jendela. Ia pun langsung memanjat pohon besar dan melompat ke arah kamarnya, lalu membuka jendela kamar tersebut. Dan, Ia menemukan Kenzo yang baru saja tertidur dan kini terbangun karena kedatangannya sedang berbaring di salah satu tempat tidurnya.

“Kenapa kau berada di kamar tidurku?” Tanya Hiro sambil kembali menutup jendela kamarnya.

“Pintu rumah di kunci, jadi aku  memanjat naik ke jendela kamarmu yang selalu tidak dikunci ini. Namun, pintu kamarmu juga dikunci jadi aku tak bisa kemana-mana selain terjebak di kamarmu. Karena itu, aku berbaring di ranjangmu dan beristirahat sebentar. Tapi, dari mana saja, kau? Apakah kau baru saja pulang dari sekolah? Kenapa larut sekali?” Tanya Kenzo yang masih berbaring.

“Iya, aku baru saja pulang dari sekolah, setelah itu aku berlari di sekitar kota ini.” Kata Hiro sambil meletakkan tasnya yang seharian Ia sandang di bahunya. Lalu, Ia langsung membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Kenzo keluar dari kamar. Setelah Kenzo pergi dari kamarnya, Ia langsung mengunci pintu kamarnya, dan menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya tersebut untuk membersihkan diri, lalu beristirahat dari hari yang melelahkan ini. Setelah  hari itu berlalu, kesehariannya di sekolah hanya disertai oleh pembullyan yangg Ia dapat dari Caesar bersama teman-temannya. Dia hanya bisa untuk menahan amarahnya dan bersabar meskipun setiap kali, Ia makan Ia kadang harus disiram oleh susu ataupun air.

***

Travis Chamberlain dan Han Liang Zheng menghabiskan sebagian besar liburan musim panas mereka berkeliaran di sekitar kota, mencari hal-hal untuk dilakukan.

Suatu malam yang panas di bulan Agustus, anak-anak lelaki itu menyengat pagar di jalan utama. Ada ladang jagung tepat di seberang jalan. Tiba-tiba, Travis melihat sesuatu di lapangan. Dalam kegelapan, sulit untuk dilihat, tapi dia pikir itu terlihat seperti hewan yang aneh. Dia menyenggol temannya dan menunjuk ke arah sosok yang tampak aneh itu. Han bilang dia bisa melihatnya juga. Dia tidak yakin, tetapi hal misterius tampak samar-samar seperti manusia.

Hal berikutnya yang mereka tahu, benda itu telah hilang. Anak laki-laki itu menjulurkan leher mereka dan mengamati lapangan dengan mata mereka. Dari kegelapan, muncullah makhluk itu. Dia perlahan berjalan ke tepi lapangan sebelum menghilang lagi. Travis dan Han saling memandang dengan bingung.

"Apa itu tadi?" Tanya Han

"Aku tidak tahu." Travis menjawab

Tidak lama setelah dia mengatakan itu, Travis merasakan tangan berkeringat di bahunya. Dia berbalik dan mendapati dirinya menatap langsung ke wajah mengerikan makhluk itu. Dia berteriak ketakutan dan terkejut.

Kulit yang membusuk di wajah makhluk itu terlepas di beberapa tempat, memperlihatkan tulang di bawahnya. Sesaat Ia hanya menatap Travis dengan diam dengan matanya yang cekung. Kemudian, tiba-tiba makhluk itu mencengkeram lengannya. Travis merasa kukunya menggali ke dalam dagingnya saat dia menggeliat keluar dari cengkeramannya. Travis dan Han langsung menendang kepala makhluk itu dan kedua anak laki-laki itu melompat dari pagar dan berlari ke jalan, berteriak ngeri. Mereka tidak berhenti berlari sampai tiba di rumah mereka. Mereka mencoba memberi tahu orang tua dan teman mereka tentang hal yang mereka lihat malam itu, tetapi tidak ada yang mempercayai mereka. Ketika Travis bangun keesokan paginya, bekas luka di lengannya hilang digantikan dengan gigitan laba-laba, dan Han berfikir bahwa yang dilihat mereka hanyalah halusinasi dari gigitan laba-laba.

Setelah beberapa hari, keadaan menjadi semakin buruk. Orang tuanya memutuskan untuk membawanya ke dokter. Tetapi dokter tidak dapat melihat bocah itu sampai keesokan harinya. Malam itu dia memutuskan untuk mandi dengan santai. Saat dia berbaring berendam di air hangat, bisul itu tiba-tiba pecah. Segerombolan laba-laba kecil keluar dari telur yang telah diletakkan ibu mereka. Travis kaget dan berteriak memanggil ayahnya. Ayahnya melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk mengusir dan membunuh laba-laba itu.

Suatu malam, ibu dan ayahnya pergi meninggalkan Travis sendirian di rumah. Dia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, jadi dia menghabiskan sepanjang malam duduk di meja di kamar tidurnya. Orangtuanya meninggalkan rumah sekitar jam 5 sore. Saat mengerjakan pekerjaan rumahnya, dia memakai headphone dan mendengarkan musik keras. Ada badai besar malam itu dan mejanya menghadap jendela, jadi dia bisa melihat hujan dan petir di luar. Orang tuanya kembali sekitar jam 12 siang. Ketika dia melihat mobil mereka melaju. Dia melepas headphone. Begitu ayahnya membuka pintu depan dan masuk ke dalam, Dia mendengar dia meneriakkan namanya.

"Apa yang terjadi di sini?" Dia melakukan dengan suara marah.

Travis bingung, dia lari ke bawah. Ayahnya berdiri di lorong dengan ekspresi marah di wajahnya. Dia menunjuk ke lantai dan berteriak, "Apakah ini kamu?"

Dia melihat ke bawah dan melihat bahwa karpet dipenuhi jejak kaki yang berlumuran air.

“Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa sampai di sana. Aku menghabiskan sepanjang malam di mejaku mengerjakan pekerjaan rumahku." Kata Travis

Dia melihat ekspresi wajahnya berubah dari marah menjadi kebingungan, dan kemudian menjadi ketakutan. Mereka berdua menyadarinya pada saat bersamaan. Orang lain pasti ada di dalam rumah.

Mereka mengikuti jejak jejak kaki, mencoba memahami keseluruhan situasi. Mereka mulai dari pintu belakang, yang biasanya dibiarkan tidak terkunci. Kemudian mereka melihat sesuatu yang lain. Jejak kaki dimulai dari pintu belakang, tapi tidak ada jejak kaki yang keluar melalui pintu belakang. Tiba-tiba, kami mendengar sesuatu yang keras, suara punding yang menggema di seluruh rumah. Kemudian, suara pintu depan dibuka dan dibanting lagi.

Bruak!

Mereka semua lari ke garasi dan mengunci pintu di belakang mereka. Ibunya mengeluarkan ponselnya dan menelepon polisi.

"Tolong cepat datang!" Dia berteriak

“Seseorang ada di rumah kita!”

Setelah berjam-jam, sebuah mobil patroli tiba dengan dua petugas polisi, seorang pria dan seorang wanita. Seorang petugas tinggal bersama mereka di garasi sementara rekannya masuk ke dalam rumah, menggeledah kamar demi kamar. Ketika dia kembali, petugas wanita memberi tahu mereka bahwa tidak ada orang di rumah dan aman untuk masuk kembali.

Saat itu, mereka semua menarik napas lega, dia bertanya.

“Kamar tidur siapa di sebelah kiri?”

Orang tuanya menatap puteranya.

"Milikku." Kata Travis.

Dia meminta mereka untuk mengikutinya. Saat mereka berjalan melewati rumah, mereka dapat melihat jejak jejak kaki berlumpur yang mengarah dari pintu belakang, melalui ruang tamu, melalui lorong, naik tangga, ke kamar tidur orang tuanya dan kemudian menuju kamar Travis. Mereka berhenti di depan pintu kamar Travis. Petugas wanita itu menunjuk ke pintu Travis, yang telah terbuka sepanjang malam. Tercetak di atasnya, dengan berbagai bekas cakaran dan ukiran, bertuliskan:

8:10 Saya melihat Anda
8:47 Anda lupa mengunci pintu belakang
8:56: Kau tampak fokus
9:22 Berbalik
9:49 Lihat saya sekali lagi
10:30 Lihat aku
10:49 Lihat saya
11:00 Lihat aku

Selama lebih dari dua jam, seseorang telah berdiri di depan pintunya, mengawasi Travis. Sampai hari ini, Dia masih ngeri memikirkan apa yang akan terjadi jika dia berbalik?

The Cursed ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang