34. BUKIT CINTA? BUCIN

1.4K 162 25
                                    

34. BUKIT CINTA? BUCIN

Demi membahagiakan orang lain, kita jadi sosok orang yang acuh kepada orang terdekat kita. Dan tanpa sadar orang terdekat kita itu adalah diri kita sendiri.

-Ghea Adisti-

Hujan turun dengan sangat deras, setiap rintikannya membasahi tubuh Ghea yang terduduk di kursi roda seraya melihat pemandangan dari atas bukit itu.

Glen berada di belakang Ghea dengan melindungi tubuh Ghea menggunakan jaket, tetapi Ghea menolaknya, ia ingin semua rintikan air hujan itu mengguyur seluruh tubuhnya.

Semua pengunjung berteduh di tempat-tempat terdekat di sana, namun Ghea memilih untuk di pinggiran bukit menikmati hujan itu.

"Ghe lo belum sembuh total! jangan kaya gini!" ujar Glen masih berusaha melindungi tubuh Ghea menggunakan jaketnya walaupun di tolak mentah-mentah.

"Tidak," balas Ghea.

"Ghea kalau lo nanti sakit gimana? ayolah Ghea--" Glen semakin khawatir melihat tingkah konyol Ghea.

"Gue mau di sini!" perintah Ghea.

"Kenapa sikap lo jadi gini? Ghe gue takut lo masuk rumah sakit lagi.." ujar Glen semakin ketakutan.

"Gue mau kaya dulu lagi, walaupun gue rapuh tetapi setidaknya tubuh gue kuat buat menopang seluruh rasa sakit ini--"

"Jangan gitu Ghea.." Glen menarik kursi roda Ghea agar mundur dan berteduh di pohon belakang mereka, namun dari depan Ghea menahannya.

"Gue mau di sini Glen.." ucapan Ghea kembali lembut.

"Ayolah Ghe.. demi lo!"

Ghea tidak membalas, ia masih fokus melihat kebawah bukit yang terdapat jalanan berliku yang di lintasi berbagai macam mobil, di seberangnya terdapat sekumpulan pohon jati yang menjulang tinggi. itu semua sangat indah kalau di pandang dari atas bukti, apa lagi kalau malah hari, banyak sekali cahaya dari kendaraan yang melintas di bawah sana.

"Ghea ayoo.." ajak Glen.

Ghea merasa aneh dengan tubuhnya, perutnya serasa di cabik-cabik dengan keras, perlahan rasa sakit itu menjalar ke kepala Ghea.

Syaraf Ghea seakan berhenti, rasa sakit itu nyata adanya. Ghea berusaha nahan supaya Glen tidak menyadarinya walaupun itu sangat susah.

"AKHH!!" ringis Ghea dengan memegang perutnya.

Glen tidak bisa mendengarnya, suara hujan itu lebih terdengar jelas dari pada suara ringisan Ghea.

Tubuhnya seakan lemas, suluruh organ tubuhnya serasa ingin copot. darah kental kembali lagi keluar melewati hidung Ghea. ia semakin panik melihat kondisinya seperti itu. Ghea berusaha mati-matian untuk memberhentikan mimisan itu.

"Ghea," panggil Glen.

"Iyaa?" Ghea panik dengan cepat ia mengelap darah yang bersimbah itu.

"Lo gapapa? hujannya semakin deres," ujar Glen seraya menggosok kedua tangannya yang terasa dingin.

"Gapapa, lo bisa tinggalin gue sebentar? gue mau sendiri!" mohon Ghea.

"Kenapa? gue, 'kan--"

"Kali ini aja, sebentar doang kok, gue mau sendiri dulu!" Ghea membuangkan wajahnya takut Glen menyadari bahwa wajah Ghea begitu sangat pucat.

"Gue gak akan pernah pergi!" ketus Glen.

"Tolong Glen.. gue mau sendiri.." Ghea menundukkan kepalanya, darah itu kembali mengalir.

Ghea [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang