GLENMORE : SEORANG IBLIS
Bulan mulai tenggelam, yang artinya akan digantikan oleh matahari yang bersinar terang. Ghea membuka mata perlahan, tanpa sadar ia tertidur didepan pintu kamarnya. Tubuh Ghea serasa remuk saat tidur dilantai yang begitu datar dan dingin.
Ghea bangkit, beranjak menuju kamar mandi sambil mengelap sisa air matanya. Ghea mengatur suhu air lalu merendam tubuhnya.
Seragam yang cukup membuat lekukan tubuh Ghea terlihat. Dia sangat cantik menggunakan seragam itu.
"Hari ini cukup dingin," Ucapnya.
Perempuan itu keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga yang bertepatan didepan kamarnya. Lima anak tangga telah Ghea lewati, menunjukkan keluarga harmonis.
Dibawah sana papah dan mamahnya saling menyuapi satu sama lain, belum lagi dengan putri kesayangan mereka.
Ghea menghampiri mereka, raut wajah mereka berubah.
Fina menyapa Ghea, "Selamat Pagi, Sarapan bareng kita, Ayo!" Ajak Fina, menyuruh Ghea untuk bergabung. Obrolan mereka dibantah sang papah.
"Tidak, tidak. Makan di dapur sana," Usir Hero. Ghea menatap Hero sekilas dan kembali menatap Fina, "Gue berangkat duluan deh, sarapan bikin mules."
Fina menghela nafasnya. "Terserah lo deh kak, jangan lupa makan." Menyodorkan bekalnya.
"Terimakasih, Sayang." Ghea berpamitan tetapi kedua paruh baya itu acuh.
Seperti biasa, menunggu angkutan umum yang lewat didepan gang ini, Tidak ada mobil mewah lagi seperti biasanya.
"Sudah sampai neng." Ghea menyodorkan uang. "Terimakasih pak."
Ghea segera memasuki kelasnya, berjalan kearah bangku yang terletak dipojok belakang. Ghea menaruh tasnya lalu duduk, Ghea terdiam sebentar. "Aneh, udah siang masih aja sepi."
Ghea menumpuk wajahnya diantara kedua tangan. Baru saja memejamkan matanya, suara gaduh itu muncul.
"ALL PIKET!!!" Pekik Siska teman kelas Ghea, Namun All tak membalas, ia berpura-pura tuli supaya bisa kabur dari aktivitas membosankan ini.
"FUCK!"
"Berisik anjing," Ucap Mona dengan nada lumayan tinggi.
Mona menghampiri Ghea, "Babu beliin gue air dong! Buruan deh." Ghea tersadar dari lamunannya.
"Tuli lo?"
"Duitnya?"
"Miskin banget lo, pake duit lo, lah."
"Lho, gak kebalik tuh yang miskin siapa?"
"Fuck bitch!"
Ghea menuruti perintah Mona. Didepan pintu kantin Ghea berpapasan dengan circle famous disekolah ini, gak ada yang berani macam-macam sama mereka! Karena, "Nyawa sama dengan nyawa."
Salah satu dari mereka mengedipkan mata genitnya. "Neng mau abang temenin?"
"Genit lo botak!" sambar temannya.
"Ih kamu teh buta ya? Nih rambut aku banyak, lho," ucapnya dengan nada manja.
"Amit-amit deh."
Ghea acuh. Toh, tujuan dia cuman pengen beli minum.
Ketua dari mereka bangkit, "Berhenti!"
"Lo mau apa?" Ucap Ghea sedikit menantang.
"Berani juga ya lo?"
"Lagian nih ya, apa sih yang harus gue takutin? Tujuan gue kesini kan cuman pengen beli minum, gak ada urusannya sama lo."
Cowok itu maju, hanya berjarak satu jengkal darinya. "Lo mau apa?" Ucap Ghea gelagapan.
Tatapan mereka bertemu, Ghea berusaha mundur namun dibelakangnya tembok. "Gue minta tolong sama lo, baik-baik. Mundur!" perintah Ghea.
"Siapa?"
"Siapa apanya sih?"
"Siapa lo, bisa perintah gue?"
"Kalo gitu, lo siapa biasa-biasanya ngurung gue kaya gini?"
"Siapa aja," balasnya acuh.
Ghea menghela nafasnya, "Trus mau lo, apa?"
"Mau..."
"GLEN!!! KAMU NGAPAIN DISANA!!!" Pekik pak Hasan, memotong pembicaraan mereka.
Guru itu meraih daun telinga Glen lalu menjewernya. "Mau berbuat mesum? Hah!"
"Pikiran bapak kotor!" Ucapnya sedikit merintih kesakitan.
"Trus kenapa disaat jam pelajaran saya kamu ada disini? Sama perempuan lagi, dan lebih parahnya..."
"Apa tuh pak?" Lanjut All.
"Ada perempuan disini!" Guru itu mengeraskan tangannya.
"Aduh, sakit pak."
"Murid bandel, ini belum seberapa ya Glen! Nama kamu terus yang bermasalah gak capek, hah?"
Tatapan pak Hasan beralih, "Kamu Ghea, cepat masuk!" Ghea menganggukan kepalanya.
***
"S-sakit--" Ringis Ghea.
"Sakit? Rasain." Ledeknya. Menarik rambut Ghea, seakan menyuruhnya untuk bangkit.
"Jangan ta-tarik rambut gue."
"Rambut palsu, ya? Takut keliatan jelek dimata cowo-cowo?" Mona menarik kembali rambut Ghea dengan kencang.
"Gue minta maaf..."
"Maaf? Cih."
"Disuruh gitu aja lo gak bisa, lo tau? Lo bisa ngebuat tenggorokan gue rusak!" Mona menarik sudut bibirnya, terlintas ide licik. "Lo mau gue maafin, kan?"
Ghea terdiam, lalu mengangguk. "Lo mau apa?"
Tatapan Mona menuju kearah kedua kakinya, "Sekarang lo sujud."
Ghea menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju, "Najis!" Tamparan keras melintas dipipi Ghea.
"Lo mau gue maafin atau gak?" Masih dengan tawaran liciknya.
"Gak akan sudi!"
"Belagu, Bitch!"
Ghea diam tak merespons, hanya menatap balik wajah Mona tanpa ekspresi.
"Gue jadi tau kenapa lo dibenci sama semua orang..." Mona tersenyum licik lalu kembali melanjutkan perkataannya.
"Selain pembunuh, lo juga nyebelin, ya!"
"Sok tau."
Mona mendecak dan terkekeh malas, "Fakta, bukan?" Ia menggelengkan kepalanya, "Pembunuh mana sih yang mau ngaku?"
"Lo gak tau apa-apa tentang gue!" Ghea menatapnya marah. Ia bangkit sambil meraih rambut Mona lalu menariknya.
"Gue diem bukan berarti gue takut!" Mereka saling menjambak satu sama lain.
"Lo apa-apa sih! Lepasin! Tangan lo kotor!" Ghea melepasnya.
Mona merapihkan kembali rambutnya sambil berdecak sebal, "Aduh, rambut mahal gue!"
Tatapannya menusuk, "Tangan murah lo itu gak pantes ada diatas kepala gue! Pembunuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghea [Tahap Revisi]
Novela Juvenil[TEEN FICTION] When broken home said "Hidup sendiri dengan beribu-ribu masalah itu gak enak."