09. DI SEKAP GENG BRUNTAL

2.4K 285 58
                                    

"Aku tak sebaik yang kau ucapkan, namun aku juga tak seburuk apa yang terlintas di hatimu" - Gheadisti.

-G h e a . . .

Dokter itu berjalan mendekat ke arah Ghea "ananda Ghea sudah di perbolehkan untuk pulang," ujar dokter itu.

Ghea hanya mengaguk dan segera beranjak untuk turun dari ranjang rumah sakit itu di bantu oleh bibi. Benjamin hanya melihat dari sisi pintu, jujur ia masih cukup benci dengan Ghea.

"Bibi sama Benjamin pulang duluan aja, Ghea nanti bisa pulang sendiri kok," ujar Ghea.

"Lho non, non kan baru sembuh," bibi sedikit curiga, pasalnya tak biasanya Ghea seperti ini.

"Gapapa bi, nanti Ghea naik taksi aja," ujar Ghea sambil melirik Benjemin.

"Oalah, ya sudah kalau itu mau non. nanti pulang jangan terlalu malam yaa," ujar bibi sembari berpamitan untuk pulang.

"Siapp bibi sayang."

Setelah tak melihat tubuh Bibi dan Benjamin lagi di daerah rumah sakit ini. Ghea segera menebus semua obatnya dan berjalan menuju kuburan tepat di seberang jalan rumah sakit.

Tunggu! Di sana ada seorang lelaki paruh baya yang sedang terduduk di depan makam Marsha. Ghea bersembunyi di balik pohon sembari memperjelas Indra pendengarannya. Lelaki paruh baya itu, bergumam sendirian sembari mengelus nisan di hadapannya dan mulai menaburinya dengan bunga melati. Tak lama pria yang bernama Devan itu pergi dan meletakan satu buah surat kecil di bawah tumpukan tanah.

Ghea segera berlari kecik menuju makam Marsha dan membuka isi surat tersebut.

...

Dear kamu! yang selalu menjaga Marsha saat saya dan istri saya mengabaikannya dan memberikan kasih sayang lebih, layaknya seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. Saya cukup menyesali semua perbuatan saya, tetapi... semua itu sudah tak bisa terulangi lagi, saya sangat menyesal telah mengabaikan anak sebaik Marsha, ia tak pantas untuk menjadi seorang anak dari pemabuk seperti saya... saya harap kamu bisa mengerti dengan semua ini.

Devan-

Ghea sedikit tersentuh atas semua tulisan yang telah Devan tulis,

apa nanti ayahnya akan menyesal karena telah mengabaikanku? Batin Ghea.

Entahlah ini rumit. Ghea mengelus dan mengecup nisan tersebut dan ia mulai meninggalkan pemakaman ini.

Berjalan menyelusuri kota Jakarta sendirian, menunggu angkutan umum yang akan segera lewat. Namun, Ghea sudah berjalan sejauh mungkin tetap saja tak ada satupun kendaraan angkutan umum yang akan melintas. Jalanan ini cukup sepi, hanya ada tiga atau empat kendaraan saja yang melintas.

Ghea sedikit bergidik ngeri karena ini sudah hampir menjelang malam tiba, entahlah ia merasa seperti di ikuti oleh seseorang.

Dan semua itu benar! Pria itu membekap mulut Ghea dengan sapu tangan dan membawanya masuk ke dalam mobil yang tiba-tiba terparkir di depannya.

Mereka membawa Ghea ke sebuah gedung tua yang tak jauh dari wilayah tempatnya tadi. Ghea memberontak tetapi tangan dan kakinya sudah terikat oleh tali yang terikat ke sela-sela bangkunya, sekarang Ghea di dudukan di tengah-tengah gedung tersebut. Tak lama pria itu membuka topengnya dan berjalan menuju ke arah Ghea.

"Hay nona manis? Apa kabar?" Tanya pria itu.

"KAMU SIAPA?!" pekik Ghea, ia ingin memundurkan tubuhnya tetap itu semua nihil, pria itu terus mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah Ghea.

Ghea [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang