Chapter 22.

64 33 16
                                    

-HAPPY READING-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-HAPPY READING-

-•••-

Hari-hari terus berlalu, memberikan kesan dan pesan kepada semua yang menjalani. Selalu memberikan suka dan duka setiap harinya. Semakin mendekatkan kita kepada tujuan utama hidup kita. Semakin kesini, semakin baik kita dalam menerima, memilah, kemudian menjalani. Itu semua tentang hari, yang terus berganti seiring jalannya waktu, yang hari demi hari selalu mengajak kita untuk semakin mengerti hidup. Itu hari demi hari.

Seseorang sedang berdiri di kooridor sekolah pagi ini. Menunggu kedatangan 'mereka' yang mau menimba ilmu, beramai-ramai berebut materi, peringkat, lalu pengakuan. Tanpa mau bermain dengan kenyataan, mereka terus menuntut ekspetasi untuk dijadikan realita yang berujung kebohongan di kemudian hari. Tapi satu yang pasti, mereka mempunyai prinsip dan harapan yang sama; maka dari itu ekspetasi mereka pun sama. Hanya saja hasil yang mereka dapat, berbeda.

Seseorang itu masih setia berdiri di tempat yang sama, dengan kedua tangan yang dimasukkan di saku celana, ia menyenderkan punggungnya di tembok. Masih merenungkan pikirannya. Ujian akan diadakan sebentar lagi, tapi dirinya masih sibuk dengan urusannya yang tidak penting dan selalu berekspetasi tinggi seperti 'mereka'. Entah hasil nilainya akan seperti apa kedepannya, yang bisa dilakukan olehnya adalah, hanya menerima.

"Bang!" Kenzo menengok ke arah suara panggilan, mendapati adik kembarnya sedang berlari menuju kearahnya.

Kenzo menegakkan badannya lagi, "Hm?" Kenzo berdehem ketika Liza sudah berhenti di hadapannya.

"Kenapa lo gak bangunin gue?"

"Ga sempet."

Liza menonyor kepala Kenzo, "Ga sempet lo bilang?! Ga sempet kenapa hah? Lo 'kan punya banyak waktu, sampe-sampe berangkat aja sekolah masih sepi! Ga sempet kenapa? Gue nanya kenapa?"

Kenzo hanya tersenyum tipis, selalu seperti itu respon yang ia berikan ketika Liza mengomelinya. Melihat Liza yang seperti ini, ia jadi merasa memiliki dua adik. Pertama, Liza yang berumur enam belas tahun. Kedua, Liza yang berumur delapan belas tahun. Tapi kini, Kenzo hanya memiliki satu adik saja. Yaitu, Liza yang berumur delapan belas tahun. Kalau disuruh memilih, Kenzo lebih menyayangi Liza yang berumur enam belas tahun, tapi sayang... Liza yang enam belas tahun sudah mati.

Liza yang kalem, baik hati, pendiam, ramah, dan periang sudah meninggal. Dan Kenzo rindu itu. Tapi apa yang Kenzo dapat? Liza yang berumur delapan belas tahun. Yang penuh dendam, amarah, kebencian, lalu obsesi. Kenzo tidak suka hal itu, tapi tetap menyayangi Liza, mengingat perempuan itu adalah adik kembarnya yang pernah satu rahim.

"Bang! Napa ngelamun sih?"

Nada suara Liza menyadarkan Kenzo, Kenzo mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana untuk memegang lengan Liza "Pelanin suara lo. Sekolah emang masih sepi, tapi telinga gue bosen denger nada suara lo yang gak pernah berubah volume-nya. Kita emang kembar, tapi gue masih lebih tua dari lo; sopan dikit. Masuk kelas gih." Kenzo mengusap lembut lengan kanan Liza sebelum ia berjalan meninggalkan Liza pergi.

Tentang yang Melepas, Dilepas, dan Ikhlas. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang