-../..-/.-/./--/.--./.-/-

712 98 33
                                    

Keesokan pagi nya Lubi di kejutkan dengan kedatangan dua orang pria. Yang satu menggunakan motor dan yang satunya lagi menggunakan mobil. Lubi menyerngit tak paham, mengapa mereka datang ke rumahnya.

Mereka berdua menghampiri Lubi. Seraya berkata kompak, "Mau sekolah?"

Aldian menoleh pada Ian, begitupun sebaliknya. "Lo ngapain sih datang ke sini?"

"Emang lo punya hak?"

"Gue yang pertama datang ke sini. Lo siapanya Lubi?"

Ian terkekeh. "Posesif banget sih lo, Gue teman sebangku Lubi."

Teman sebangku? Jadi, mereka dekat?
Pikir Aldian.

"Mending kalian pulang deh, jangan bikin gue benci sama kalian," usir Lubi.

"Gue mau jemput lo," ucap Aldian.

"Gue bisa sendiri Al, elo .... " Lubi memegangi keningnya. "Lo tuh dari semalam ganggu gue. Bisa nggak sehari lo nggak nampakin muka di depan gue?! Bisa nggak sehari lo gak ngejar-ngejar gue?! Gue risih!" Sentak Lubi. Aldian melangkah mundur sembari tersenyum teduh.

"Lo marah sama gue karena apa sih Bi? Karena gue nuduh lo tunangan sama Catur, gue gak tahu waktu itu. Yang harusnya lo benci itu abang lo sendiri."

Lubi terdiam. Aldian berucap lagi, "Bukankah lo sendiri yang bilang kalo kita bisa temenan? Kalau lo gak nganggep gue, paling nggak anggap gue temen lo."

"Inget ucapan gue Bi, jangan halangin gue buat dapetin lo lagi. Terserah lo mau bilang gue posesif ke gue, terserah," lanjutnya.

"Gue gak mau tahu berangkat ke sekolah lo bareng gue." Aldian menarik Lubi paksa.

Lubi menepis kasar. "Al, gue bilang nggak mau ya nggak mau!!!" bentak Lubi.

"Aldian lepas!!"

"Lo denger dia? Dia bilang nggak mau. Jangan paksa cewek," ucap Ian mendorong Aldian untuk menyingkir.

Aldian tak menggubris, ia malah menarik Lubi masuk ke mobil. Dan jika di pikir-pikir, kini dunia memang sudah terbalik. Yang mungkin dulu Lubi lah yang mengejar Aldian, namun sekarang Aldian lah yang kini mengejarnya.

Lubi masih terkejut untuk mengikuti Aldian dari belakang. Gadis itu terus berusaha menepis cekalan Aldian namun, tenaganya tak sebanding dengan Aldian miliki.

"Lepas Al!!"

"Masuk!" titah Aldian menggunakan dagu. Tak mendengarkan ucapan Lubi.

"Gue gak mau."

Aldian memejamkan matanya menahan emosi. Satu tangannya memegangi keningnya. "Alana gue minta lo ikut gue, jangan bikin gue emosi yang nantinya gue kasar sama lo," tekan Aldian.

Tak ingin memperpanjang keadaan, Lubi akhirnya menurut.

Sepeninggal Aldian pergi, diam-diam Ian mengepalkan tangannya. Setelahnya Catur datang kemudian memandang Ian dengan tatapan bertanya. "Adik gue mana?"

Ian menyeringai. "Adik lo cantik, kadang ngeselin juga."

"Maksudnya?" tanya Catur bingung.

"Adik lo di bawa sama Aldian."

Tangan Catur terkepal keras, dadanya kembang kempis. Kebencian Catur pada Aldian memang masih belum di lupakan. Padahal, ia sendiri juga sadar kalau sikapnya lah yang membuat Lubi kini lebih menjadi pendiam. Kerap sekali Catur mendapatkan Lubi menangis dalam diam, Entah itu tekanan batin keluarga atau dari luar. Sungguh, Catur tak menginkan itu akan tetapi ini untuk kebaikan Lubi juga.

"Lo kakaknya tapi sikap lo kayak pacarnya." Seketika Catur menoleh pada ucapan konyol yang Ian lontarkan.

Ian mengecek jam tanganya. "Gue duluan, udah telat. Lucu bukan kalau ketua osis kesiangan?" ucap Ian sedikit songong.

***

Hening, sunyi, jika suara kentut terdengar mungkin akan terdengar jelas di dalam mobil yang Lubi tumpangi.

Tak ada yang membuka suara sedari tadi. Keduanya nampak mendengarkan lagu India yang berjudul muskurane yang Aldian putar.

Aldian menghela napas panjang sembari mencengkram setirnya kuat.
"Gue minta maaf udah kasar sama lo."

"Lo pemaksa Al," lirih Lubi masih menghadap ke luar jendela.

Aldian tertawa miris. "Lo bener, gue emang pemaksa. Gue gak tahu Bi, sikap gue emang gini. Habis ini lo pasti bakalan nambah benci sama gue 'kan?" satu tetesan mata mendarat di pipi Aldian. Sangat sulit untuk mengatakan ini pada Lubi, Aldian menggigit bibirnya untuk tak bergetar. "Sebentar lagi gue mau pindah Bi."

Lubi menoleh cepat. "P-pindah?" Aldian mengangguk.

"Tapi kemana?" Suara Lubi sedikit bergetar.

"Inggris."

"Untuk?"

"Untuk nerusin perusahaan papah."

"Tapi lo masih sekolah! Buat apa pindah?" Dengan lantang Lubi berucap seperti itu. Aldian tersenyum tipis mendengarnya.

"Gue nerusin sekolahnya di situ sampai kulian nanti."

"Lo gak bakalan balik ke Indonesia?" Pertanyaan terus saja di lontarkan oleh Lubi. Jujur, hati Lubi tak ingin Aldian pergi meninggalkannya.

Aldian menggeleng. Mengapa mendengar pernyataan itu dada Lubi merasa sesak? Air matanya memang sudah lolos sedari tadi namun detik itu pula Lubi segera menyekanya. Ia tak mau Aldian berpikir bahwa dirinya masih mempunyai rasa cinta.

"Meskipun kita udah gak ada hubungan apa-apa. Gue cuma minta lo jangan benci sama gue," tutur Aldian.

"Lo bener Bi, gue emang harus cari kebahgiaan gue sendiri. Ya, walaupun kebahagiaan gue itu elo, tapi gue harus belajar lupain fakta itu." Aldian berujar lagi, "Mungkin ini cara terbaik buat lupain elo. Setelah ini lo gak bakal ketemu gue, lo gak bakalan liat muka gue, dan risih sama sikap gue yang posesif sama lo."

Lubi meremas roknya semakin kuat. Ia menunduk dalam menyembunyikan air mata yang kian melolos. Tenggorakannya pun kering untuk berucap lagi.

Mungkinkah ia akan ikhlas jika pria itu pergi? Sebuah pertemuan yang tak sengaja kini harus berpisah?

"Tinggal beberapa hari lagi gue di sini. Untuk itu maafin gue ya, Bi. Lo hebat bisa ngubah hati gue yang sekeras batu menjadi cair," ucap Aldian.

Aldian memarkirkan mobilnya seraya menghela napas berat. "Sudah sampai,"

Lubi masih tak bergeming.

"Bi," panggil Aldian. Bibir pinkish cowok itu tersenyum menatap Lubi.

Lubi segera keluar dari mobil tak mengeluarkan sepatah kata apapun pada Aldian. Aldian memandangi punggung Lubi yang kian menghilang hingga senyuman teduh itu kian  memudar di wajahnya.
"Gue sayang sama lo Alana."

Lubi terus saja berlari menubruk siapapun yang ada di depannya.

Begitu sampai di toilet Lubi segera menguncinya kemudian merosot detik itu pula. Ia membekap mulutnya menahan isakan.

"Kenapa gue gak ihklas?!!" tanyanya pada diri sendiri. "Pliss jangan buat hati gue bimbang hiks."

Lubi memukul dadanya yang semakin sesak.

Di posisi lain seorang pria memandang pintu toilet sangat sendu.
"Gue tahu lo bakalan nangis," gumam Aldian.

Ya, pria itu adalah Aldian. Ia sengaja menuturi Lubi dari belakang. kedua insan itu sama-sama merasakan kesedihan.

"Takdir tuhan itu memang kejam," lirih Lubi dari dalam.

"Yang kejam itu waktu Bi, dengan cepat waktu bisa mempercepat keaadaan yang udah di takdirin oleh Tuhan," batin Aldian.

Hola?!
Yah babang Al mau pindah hiks🤧😭😭. Akh gak rela aku😭😭

Dah lah jangan lupa vote sama komen. Makasih yang ke 12k nya ya. Jangan lupa ajak temen-temen  kalian untuk baca ini.
#sandi morse#

Aku pergi (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang