32

651 53 6
                                    

"Lo beneran ngajak gue ke sini?"

"Iya,"

"Yakin lo?" tanya Aldian sekali lagi sedikit tidak percaya.

"Kenapa? Lo takut?"

Aldian mencubit hidung Lubi. "Lebih takut amukan lo daripada tempat ini."

Lubi mempercepat langkahnya. Sementara Aldian ia menatap sekeliling, banyak sekali orang-orang yang menurutnya aneh. Hingga berhenti tepat di pintu yang beda dari yang lain.

Lubi membuka knop pintu itu dan mulai memasukinya.

Di ruangan tersebut sangat indah, di hiasi dinding cerah berwarna biru serta kartun princes yang familiar.

Tidak hanya itu, Aldian melihat seorang wanita yang tengah menyisir rambut barby yang kalau tidak salah namanya Elsa.

Lubi berjalan ke arah wanita itu. "Hai."

Wanita itu mendongak bibirnya terangkat menjadi senyuman. "Ana!" girangnya.

"Ana?" beo Aldian semakin tidak mengerti dengan situasi ini.

"Elsa apa kabar?"

"Aku baik-baik aja, kangen sama Ana."

Lubi tersenyum ia mendekati Aldian. Dia mengerti apa yang ada di pikiran
cowok itu. "Lo pasti bingung kan?"

"Gue punya ibu ada dua. Yang ngebesarin gue namanya Mama Sarah, dan yang ngelahirin gue Bunda Sinta. Dan yang ada di hadapan lo namanya Sinta. Ibu kandung gue," terang Lubi. Aldian masih terlihat tidak mengerti.

"Lo pasti bingung juga kenapa Bunda Sinta itu sedikit ke ganggu otaknya? Lo boleh bilang kalau dia gila. Dia kayak gitu karena dulu ayah gue kecelakaan dan semenjak kecelakaan itu Bunda ke ganggu."

Lubi menghela napas panjang menahan isak tangis agar tak keluar. "I-itu sebabnya gue gak pernah ngenalin secara langsung kalau gue anaknya. Karena itu bakalan buat Bunda hilang kendali."

"Gue udah coba segala cara buat balikin Bunda tapi tetep gak bisa." Air matanya melolos tak mampu ia bendung lebih lama. "Dan itu sebabnya gue selalu ngenalin diri gue sebagai Ana dan Bunda sebagai Elsa. Karena Bunda suka sama tokoh frozen Al," lirih Lubi.

"Cuma itu caranya." Aldian memeluk Lubi menumpukan kepalanya di kepala Lubi.

"Lalu yang di rumah lo?" tanya Aldian.

"Itu Mama Sarah ibu tiri gue."

"Abang lo berarti?"

"Kita seayah namun beda ibu."

Lubi kembali menghampiri Sinta. Mengambil foto yang selalu ia tunjukkan, tau yang Lubi maksud Sinta meletakan bonekanya dan mengambil foto itu.

"Coba inget-inget," titah Lubi lirih.

"Gak inget Ana!" jawab Sinta lagi-lagi Lubi menundukan kepalanya.

Foto yang di tunjukkan Lubi selama ini berisi Sinta dan Ganesha sedang menggendong bayi kecil. Itu Lubi.

Lubi berfikir jika Sinta mengingat sesuatu mungkin harapan kecil untuk sembuh seperti semula itu bisa. Namun, seberapa keras Lubi mencoba ia tak pernah berhasil. Sinta tidak mengingatnya.

"Bunda, ini Lubi. Anak Bunda." Lubi geram, ia mengambil foto itu kasar dan menunjuk-nunjuk foto di dalamnya. "Ini suami Ibu, Ganesha. Ini, Sinta yaitu Bunda sendiri. Dan yang ibu gendong itu aku. Aku Lubi bu, aku Lubi!" teriak Lubi.

Seketika Sinta menjauh dari Lubi. "A-aku ibu kamu? Maksud kamu? Aku Elsa dan kamu Ana," ujar Elsa dengan mata menyorot yakin.

Lubi menggeleng ia memeluk Sinta. "Kamu bukan Elsa! Kamu Sinta, Bunda aku. Dan aku bukan Ana! Aku Lubi. Stop semua ini Bun, dan ayo Bunda cepet sembuh."

"Pergi!"

Lubi memundurkan tubuhnya saat Sinta mulai memberontak.

"Jangan kaya gini Bunda."

"Aku bilang pergi dari sini! Aku gak mau ketemu kamu! Pergi kamu!" usir Sinta. Hampir melemparkan barang mengenai Lubi.

Aldian sadar, ia menarik Lubi kemudian mengajaknya untuk keluar. Sedangkan Lubi? Ia menangis mengalir deras.

_____

"Berhenti nangis." Lubi mengusap matanya.

Aldian menyodorkan dua es krim di hadapan Lubi. Lubi mengambil salah satunya.

"Ambil semuanya," suruh Aldian lewat matanya.

"Satu juga cukup," ujar Lubi.

"Ambil semua. Biar hati lo tenang."

Lubi menggeleng ia membukakan es krim lalu msnyuapi Aldian. "Gini kan bagus," kata Lubi seraya tersenyum manis.

"Kalau senyum kan indah,"  Aldian menambah.

"Di rumah lo kayak gimana?" tanya Aldian.

"Baik."

"Beneran?"

Lubi mengangguk ragu. "Kenapa emang?"

"Nggak. Takutnya lo selalu di siksa sama ibu tiri lo."

Lubi tersedak. Aldian sedikit berjongkok untuk melihat wajah gadis itu.

"Kenapa?" tanya Aldian khawatir.

"Gue gapapa. Pertanyaan lo bikin gue kesedek tau."

"Mama itu baik sama gue. Meskipun dia ibu tiri gue dia baik sama gue." Lubi berbohong, Sarah baginya jauh dari kata baik.

"Ohh baguslah." Aldian mengangguk-angguk. "Mau ikut gue?"

"Kemana?"

"Ke pantai liat senja."

"Tapi gue gak suka senja,"

Aldian menyatukan alisnya heran. "Lho kenapa?"

"Gak tau, tapi karena lo pengen liat ayok kesana."

Aldian memasuki mobilnya di tutur Lubi. Ia kemudian mengegas mobilnya ke pantai. Tujuanya hanya satu, untuk menenangkan pikiran gadis itu.

Tidak lama. Karena kebetulan jarak dari rumah sakit sangat dekat. Lubi keluar langsung berlari sambil merentangkan tangannya.

"Harus kayak gini," ujar Aldian. Membalikan tubuh Lubi untuk menatap dirinya. "Gue sayang lo."

"Gue lebih sayang,"

"Apapun masalah yang lo hadapi gue akan selalu ada di samping lo. Lo tinggal merem terus lo bayangin kalau gue ada di sisi lo."

Lubi mencubit perut Aldian gemas. "Gak pantes lo ngomong kayak gini, pantesnya lo itu dingin, irit ngomong dan kaku kaya kanebo kering." Lubi tertawa puas.

Lubi memegangi dagunya sedikit berfikir. "Dan oh ya, kenapa dulu lo benci gue? Sedangkan gue kan cewek cantik."

"Karena dulu lo ngeselin." jawab Aldian. "Dan kenapa lo langsung suka sama gue waktu itu?"

"Karena lo itu ganteng. Sesimpel itu sih prinsip gue, gue mah cari yang good looking." Lubi berlari berhasil membuat Aldian kesal.

Aldian mengejar Lubi dan berhasil menangkap gadis itu. Menggendongnya dan membawa Lubi seraya berlari.

Kebahagiaan yang pernah hilang kini kembali lagi. Dan ini adalah yang terbaik. Karena Lubi lah Aldian menjadi berubah.

Rintiknya kesedihan itu akan terhapus bersama dengan ombak yang menjulang tinggi.

"Aldian," panggil Lubi. "Terus-terus gini."

.
.
.
.
.

Hii jan lupa vote yaaa.
Yang puasa semangat!
Yang belum follow ayok follow akunku.
Jangan lupa share cerita ini ketemen kalian✌

Babay!

Aku pergi (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang