Maha Takut

815 118 21
                                    


Malam ini kita terjebak. Di emper-emper bangunan tua menunggu hujan reda. Tidak ada obrolan. Tidak ada teh panas. Tidak ada jaket. Tidak ada kita di antara kita. Kehilangan telah memenangi pertikaian yang sebrisik guruh tadi.

Kemudian sunyi bergilir datang. Di dasar dada,  tangisan kita barangkali persis hujan lebat  yang bikin tubuh menggigil hebat; ia jatuh dari sela daun-daun pohon beringin, menetes dari atap-atap atas kita--bikin basah rumput-rumput, keramik-keramik, serta merah pipi-pipi.

Kamu memeluk lutut. Udara malam ini barangkali terlalu jahat buat kita yang sedang melakukan upacara perpisahan, di mana peluk-peluk yang sedekat rusuk sudah ditanggalkan dan dibubarkan dari barisan--sama sekali tidak bisa disusun ulang.

"Bagaimana kalau tak mau reda?"--badai sedihnya.

"Kita terjang saja," jawabmu.

Kita atau aku dan kamu?

Berdua atau masing-masing?

Beriringan atau membelakangi?

Kenapa kamu memilih kuyup badai di luar daripada kering dan teduh di sini--dekatku?

Kenapa kamu, seenaknya memberi perpisahan?

"Aku tidak berani," jawabku asal.

"Hujan-hujanan?"

"Bukan. Berpisah denganmu."

...

Sebenernya takut ngepub ini soalnya merasa engga jelas dan absurd '-'
Tapi yaudala, tangannya gatel.

Buku Baru Untuk Kekasih LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang