Dua ribu lima belas adalah tahun paling berdosa bagiku, Dria. Tahun paling banyak menguras air mata sampai badanku terasa ringan dan kosong. Kalau saja jatuh cinta bisa dicegah, kalau saja hatiku tidak payah, tidak ada satu pun di antara kita yang akan pecah. Dan aku tidak bakal menyesali segala sesuatunya hingga bertahun-tahun kemudian.
Di tepi laut yang setengah pasang, disaksikan matahari sepenuh terbenam; kau duduk bersama kekasihku di kejauhan. Dan aku hari itu adalah manusia paling brengsek sepanjang masa. Sebab, sudah lancang jatuh cinta dengan keduanya--kedua sahabat yang sebentar lagi menemui tamat.
Mungkin setengah jam kemudian, saat kau terlihat mengusap mata, aku memutuskan untuk mendekat. Melihat lebih jelas betapa hebat luka yang sudah kutanam pada dua orang sekaligus. Utamanya, pada kekasihku yang kujanjikan seluruh sayang.
Hari itu dia memakai flanel merah paling baru dan senyum paling lusuh yang siap robek kapan saja. Kalian berdiri, menyudahi percakapan paling menyakitkan--yang belum aku tahu isinya. Kekasihku masih tersenyum. Barangkali itu adalah senyum paling menyakitkan yang pernah kulihat sepanjang usia.
"Jaga temanku. Jaga dia dengan cara yang tidak pernah mampu kamu tempuh saat menjadi milikku."
Ketimbang mempertahankanku dan mengamuk di depanmu, dia--kekasihku--justru memilih jalan paling mengerikan. Jalan yang membuatku merasa kalah meski dialah satu-satunya yang berdarah. Rasanya seperti mau mati, menyaksikan dia setengah sekarat oleh pedangku sendiri.
"Kenapa?" Mestinya dia yang bertanya demikian padaku. Mengapa, mengapa, mengapa. Dan mengapa bisa kau berada di antara kami, Dria. Harusnya dia bertanya semacam itu kepadaku. Harusnya dia memakiku karena telah membukakan pintu.
"Karena dia tidak pernah terlihat sebahagia ini. Tidak sampai kamu masuk ke hidupnya."
Dan Dria, bahkan temanmu--kekasihku--mau menempuh jalan paling lara cuma biar kamu bahagia. Dia rela terbunuh agar tawamu tetap utuh.Dia tokoh istimewa yang hampir tidak pernah aku sebut di mana-mana. Dia tersimpan begitu rapi di lemari ingatanku. Tidak pernah kukeluarkan. Biar jadi penghukum paling sesal. Paling kekal.
"Bajumu baru," kataku.
Kutarik salah satu ujung flanelnya dengan nyali tak seberapa. Tulang-tulangku terasa lunak. Aku ingin jatuh. Ingin roboh. Tapi sadar bahwa dia sudah sama remuknya. Sudah tak mampu menangkapku.Sebagai balasannya, dia tersenyum--senyum terakhir dari kekasih pertamaku.
"Kekasihmu juga."
Hari itu, resmilah Dria menjadi karmaku. Karma paling mengerikan yang tidak pernah selesai.
...
*Tulisan ini dibuat pada 12 Maret 2019, pukul 06:09. Setiap baca tulisan ini, rasanya seperti ditampar berkali-kali dan bikin merasa bahwa saya pantas dapat semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Baru Untuk Kekasih Lama
PoesíaTidak ada yang selamat setelah "selamat tinggal." Rank 1 #poems 27/7/2019