Nggapapa jadi lemah sesekali. Jadi hancur dan remuk. Bisu atau meraung-raung sekalian. Pada akhirnya, kita memang cuma tanah yang sebentuk manusia; jangan paksa jadi baja, jadi beton, jadi rumput gajah yang kalau dihajar badai tetap baik dan enggak panik.
Nangis saja.
Masuk kamarmu.
Panggil semua sakit-sakitmu,
dan bercintalah kamu dengan mereka.
Bercintalah sampai klimaks;
Satu kali, dua kali, tiga kali,
atau beberapa kali sampai tubuhmu lemas dan jatuh tertidur.
Berbahagialah dalam mimpi.
Mimpi lah yang bahagia.
Sebab kenyataan, selalu sakit untuk dihuni.Pagi besok semuanya akan kering; bantalmu, pipimu, matamu. Basahnya bakal pindah di luar jendela, diambil daun yang tetes tangisnya dikatai embun--yang pelik tangisnya dikatai estetik.
Iya, kesedihan kita pun barangkali selalu terlihat mengagumkan di mata orang lain. Begitu menghibur seolah-olah ia adalah lelucon paling jujur. Mereka tertawa. Sedang nyawa kita, nyala redup di hadapan seluruh kesakitannya.
Mau mati.
Mau mati.
Mau mati.
Kapan mati?Pertanyaan itu memburu, menuntut sepanjang hari selama hidup kau putuskan masih. Nadi kau biarkan lari--terus menerus. Ia bergentayangan di ruang kepalamu dengan lantang.
Mau tuli.
Mau tuli.
Mau tuli.Kapan berani mati?
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Baru Untuk Kekasih Lama
PoésieTidak ada yang selamat setelah "selamat tinggal." Rank 1 #poems 27/7/2019