Di sudut kamar paling biru, dengan bantal lusuh yang menemaniku lebih lama dari kamu, aku sedang terluka. Darahnya tidak berserakan, tapi sanggup membuatku ingin tiada saja. Darahnya tidak kemana-mana Dria, ia tetap di sana--di jantungku yang bergetar sebelum gentar juga di bawah selaput kulitku yang pernah menyentuhmu sebelum luput. Sebelum cemburu mengetuk senyum kita dengan kalut.
Barangkali kamu seperti bebek yang menyeberangi sungaiku; kamu injak parit-parit mataku, kamu pecah ombak-ombak senyumku, lalu bernyanyi sepanjang menyebrang dadaku yang keruh. Bagiku tidak apa, asal kamu kubasahi seluruh badan. Asal air-air rasaku mampu sampai.
Nanti, bersama tenggelamnya matahari, bersama pulangnya para pekerja, bersama hebohnya bedak di pipi bocah usia lima, pulanglah. Pemilikmu butuh kamu untuk mengisi separuh kandang hidupnya. Meski tak seluas milikku, tetaplah tabah. Sebab kamu tetap istimewa meski dicintai dengan cara paling payah.
Istirahatlah lelap, bangunlah lebih pagi, dan seberangilah sungaiku sampai kita tak punya matahari.
00:00
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Baru Untuk Kekasih Lama
PoesiaTidak ada yang selamat setelah "selamat tinggal." Rank 1 #poems 27/7/2019