Saya mulai was-was pada relung sayang ini. Sebentar lalu Dria, saya merasa kering dan gersang. Seperti seluruh air rasa saya tsunami entah ke mana. Mereka habis. Tandas dan tuntas. Sisanya cuma gamang serta tanda tanya yang remang. Tidak ada apa-apa lagi di sini kecuali kening saya yang sibuk memburu kenang.
Kurang lebih tanda tanya yang terjadi di kepala saya seperti ini;
Cintaku yang maha deras dan lebat telah luap ke mana?
Dan saya mulai was-was. Tidakkah ini bencana segala bencana, Dria? Kalau saya selesai di sini, maka puisi ini mangkrak. Tidak ada lagi Dria yang ditulis. Tidak ada lagi Dria yang bisa dibaca oleh pembaca. Dan kita bakal menghadapi patah hati sama-sama. Saya terluka sebab perasaan ini tidaklah selamanya ternyata. Kamu terluka sebab aku banyak berbicara omong kosong soal tidak fana. Dan orang-orang yang mengunjungi tulisan ini terluka, sebab buku idaman mereka selesai. Tokohnya mati dibunuh kebosanan.
Yang terjadi ternyata saya tidak kuat menyangga perasaan maha hebat ini. Saya modar dihantam kehilangan lagi-lagi. Saya sadar akhirnya; mau berapa kali pun saya kehilangan kamu, sensasinya bakal sama mengerikannnya seperti saat pertama--kacau di mata serta dada. Sampai-sampai saya sempat berdoa buat mati saja. Biar laranya selesai. Biar tangis saya usai. Dan kamu sampai pada hidup paling damai.
Dria, kalau kamu tanya kenapa saya bisa sehebat ini kalau soal mencintaimu, saya juga tidak tahu. Hati saya seperti punya kekuatan super paling entah. Yang kalau kamu sakiti, tidak pernah lelah buat belajar tabah. Tidak pernah mundur walau hanya setengah langkah.
Tapi, kalau suatu hari saya mengundurkan diri, percayalah, saya cuma ingin belajar mencintai diri sendiri dengan tidak mencintaimu.
Semoga. Kalau bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Baru Untuk Kekasih Lama
PuisiTidak ada yang selamat setelah "selamat tinggal." Rank 1 #poems 27/7/2019