Tiga bulan berlalu, dan Mira baru sadar kalau Chika itu ternyata cemburuan banget.
Tiga bulan berlalu, dan Chika baru sadar kalau Mira itu ternyata posesif banget.
Sequel of Untitled | Chika-Mira
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chika langsung melemparkan tasnya ke sofa kemudian menghempaskan tubuhnya yang masih terbalut seragam ke atas kasur. Tangannya terangkat meraih bantal dan dia gunakan untuk meredam teriakannya.
Rasanya Chika ingin teriak sekeras-kerasnya sekarang, tapi untungnya dia masih sadar kalau rumahnya berada di tengah perumahan yang penghuninya tidak sedikit.
Setelah puas berteriak, Chika kembali mengangkat bantal itu dan menaruhnya ke samping. Engap juga lama-lama teriak ditutupin bantal.
Tangan Chika beralih menyentuh dada kirinya, merasakan jantungnya yang masih berdetak sangat kencang.
"Gila emang Kak Mira!" umpatnya dengan tersenyum malu-malu sembari menatap ke arah langit-langit kamar.
Memang bukan yang pertama kali, tapi tetap saja jantung Chika rasanya ingin copot.
Setelah Mira menghentikan mobilnya di depan rumah, Chika langsung pergi begitu saja meninggalkan Mira tanpa sepatah kata pun. Bukan, Chika meninggalkan Mira begitu saja bukan karena dia marah pada gadis itu. Tapi Chika tidak mau Mira tau kalau dia sedang salah tingkah karena ciuman tadi.
Drtt
Drtt
Drtt
Getaran ponsel itu membuat Chika terpaksa mengakhiri sesi salah tingkahnya, dia lalu berdiri dan berjalan menuju ponselnya yang berada di atas meja belajar.
Nama Muthe terpampang di sana, dan tanpa basa-basi Chika langsung mengangkat panggilan itu.
"Hallo, kenapa?"
"Chikaa, gue kangen banget sama lo."
Chika tertawa kecil sembari duduk di sofa. "Iya, gue emang ngangenin."
"Dih, baru juga digituin udah kepedean aja lo."
"Terserah gue lah, lo kenapa telpon?"
"Enggak, gue cuman mau ngasih kabar baik buat lo."
Ucapan Muthe membuat Chika mengeryit heran. "Apa?"
"Jadiii, gue besok sekolah, yeay!!"
Hening
Sunyi
Sepi
Chika hanya diam dengan salah satu alis terangkat. Tidak mengerti di mana letak kabar baik yang Muthe maksud.
"Terus? Kabar baiknya apa?"
"Ya itu kabar baiknya, gue besok sekolah."
Seketika senyum masam terpatri di wajah gadis itu. "Ya elah, gue kira apaan."
"Itu kabar baik, Chika. Emang lo gak seneng apa kalo gue sekolah?"
"Biasa aja sih."
Muthe terdengar berdecak kesal. Padahal sebelum menelpon Chika, dia sudah berekspektasi kalau Chika pasti akan merengek dan menyuruhnya untuk cepat-cepat pulang karena gadis itu pasti tidak punya teman. Dan Muthe pikir, kalau dia memberi kabar kepulangannya, Chika akan merasa bahagia. Tapi nyatanya Chika malah terdengar sangat amat biasa saja dengan ucapannya tadi.