Happy Reading!
Udara malam itu tidak bersahabat, dingin. Aarav duduk mematung di taman. Hal itu membuat Aaron menghela nafas berkali-kali, sudah, ia sudah cukup lelah untuk membujuk Aarav.
"Aar, ayo masuk. Udah malam, di sini dingin." Aaron menyentuh pundak Aarav pelan. Menyampirkan jaket yang ia bawa pada bahu ringkih Aarav. "Dingin lho! Nanti kamu sakit."
"Nggak! Aku mau sama Oma di sini!" Aarav menepis tangan Aaron. Tak peduli pada tubuhnya sendiri yang mulai sedikit menggigil.
Aaron kembali menghela nafas, "Tapi Aar, Oma udah ...."
Aarav menoleh cepat, melempari tatapan tajam pada Kakaknya, "Aku nggak suka Kakak bohong!"
"Kakak nggak bohong! Oma sudah meninggal! Itu cuma halusinasi kamu doang! Percaya sama Kakak!" Aaron tanpa sadar meninggikan suaranya.
Aarav terkejut, "Nggak, Kakak bohong! Oma masih ada ...."
Aaron menetralkan nafasnya, berusaha tidak tersulut emosi, "Nggak, Kakak nggak bohong Aarav."
Aarav menggeleng pelan, lantas tertawa kecil, "Kakak bercandanya nggak lucu!"
Aaron mengacak rambutnya, kesal, "Aar, Oma sudah meninggal. Yang kamu lihat itu cuma halusinasimu aja. Kamu itu sakit mental." ucap Aaron spontan, ia sudah sangat-sangat lelah menghadapi tingkah Aarav yang tidak ada habisnya.
Aarav mematung mendengar kalimat terakhir, tatapannya mendadak kosong, "Aku ..., nggak gila ...."
~
Aaron terbangun, kepalanya berdenyut. Ia mengambil air dari nakas, matanya melirik jam yang tergantung di dinding kamar, "Masih jam setengah empat ya?" Aaron merebahkan badannya kembali.
BRAK!
Suara benda yang terjatuh itu cukup keras, Aaron reflek bangun, dan berlari ke kamar Aarav, "Aarav!"
Aarav meringkuk gemetar di lantai, ia memegang kepalanya.
Aaron mendekat, "Aarav, kamu kenapa?" Aaron menyentuh bahu Aarav pelan.
Tidak ada jawaban, hanya suara rintihan yang terdengar.
"Aarav!" Aaron menggoyangkan tubuh Aarav, berusaha menyadarkan Aarav.
"Aaaaaa!" Aarav menjambak rambutnya keras, merasa kepalanya mendadak sakit. "Sakittt! Mamaa!"
"Aar? Aarav! Kamu kenapa?" Aaron panik melihat adiknya mulai menjambak rambutnya sendiri. Berusaha menghalangi.
"Sakitt!" Aarav memukul-mukul kepalanya keras. Aarav mengabaikan perkataan Aaron, seakan-akan ia tak mendengarnya.
"Iya Kakak tau, tenang dulu Aarav." Aaron masih berusaha menyadarkan Aarav yang mengamuk, "AARAV!"
Aarav terkejut, ia terdiam menatap Aaron takut.
Aaron menghela nafas, "Maaf, tapi tolong tenang dulu ya?" Ia menutup matanya sebentar, meredam emosi, "Bisa berdiri kan?" Aaron membantu Aarav bangkit, lantas mendudukkannya di kasur, "Kakak ambil obat dulu ya?"
Aarav menarik ujung baju Aaron, menggeleng.
"Nggak ada apa-apa kok!" Aaron melepas genggaman tangan Aarav, tersenyum tipis. Ia bangkit mengambil obat, "Ini minum dulu."
Aarav menurut, ia meminum obat tersebut.
Aaron menatap nanar adiknya, "Maaf, tadi Kakak nggak sengaja bentak," ucap Aaron lembut, "Gimana udah mendingan?"
Aarav hanya menatap mug yang masih ia genggam.
Aaron menghela nafas, "Mau tidur lagi?"
Lagi-lagi Aarav tidak membuka suaranya, ia hanya mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Por Trás Da Cena [END]
Dla nastolatkówApa yang ada di balik layar? Apakah sama seperti yang kebanyakan orang lihat di panggung pertunjukan? Atau sedikit, bahkan jauh berbeda? Apakah pahlawan yang dilihat semua orang itu benar-benar pahlawan? Ataukah, bukan? Atau bahkan ialah tokoh jahat...