ENIGMA 17 ~S.O.S~

12 4 0
                                    

Happy Reading!

Gelap. Seorang lelaki berpakaian serba hitam melangkahkan kakinya tenang, ia berhenti di depan pintu gudang. Diraih gagang pintu, membukanya pelan. Kakinya melangkah masuk, dan dengan cepat tangan kanannya kembali mengunci pintu. Menimbulkan suara berdecit.

Gudang itu tidak terlalu gelap, cahaya matahari yang dipantulkan bulan itu masuk melewati ventilasi. Lelaki itu menatap Aarav terikat di sudut ruangan, menyeringai tajam dari balik maskernya. Tangannya memainkan pisau yang tampak masih baru, menunggu Aarav sadar.

Manik kelam Aarav terbuka perlahan. Hal yang pertama kali ia sadari adalah kedua tangan dan kakinya yang terikat. Serta keberadaannya di tempat asing. "Hmmph!" Aarav memberontak, suaranya tertahan oleh lakban yang menempel di mulutnya.

Lelaki itu berjalan menghampiri Aarav, kemudian berjongkok di hadapan Aarav tenang.

SRET!

Lelaki itu menarik lakban yang menempel di mulut Aarav, kasar.

Aarav mengerjap, berusaha menangkap siapakah sosok yang berada di hadapannya. "Si-Siapa ...?"

Lelaki itu mengacuhkan pertanyaan Aarav, ia bangkit. Sedetik kemudian tangannya menarik kerah baju Aarav, lantas membantingnya keras ke dinding.

Aarav terbatuk pelan. "Ke-kenapa?" tanya Aarav takut.

Tapi, lelaki itu kembali mengacuhkan Aarav. Ia menendang dada serta perut Aarav, berkali-kali.

"Uhuk!" darah mengalir keluar dari mulut Aarav, badannya gemetar hebat menahan nyeri di dada dan perutnya. "S-sakit ...."

"Sakit?" Lelaki itu memberi jeda untuk Aarav bernafas. "Tenang, tidak akan sampai membuatmu mati." Ia menendang wajah Aarav kuat.

Aarav terbanting ke samping. Ia kembali terbatuk, kali ini lebih keras.

Lelaki itu melanjutkan aksinya, ia kembali menendang Aarav yang tergeletak di bawah kuat. Tak peduli erangan korbannya yang tak berdaya.

"Hah ... hah ...." nafas Aarav mulai tak teratur. "Ja-jangan ... sakit ...," mohon Aarav lirih. Meski sama sekali tak merubah kaadaan.

Kaki lelaki itu menginjak pipi Aarav, kuat. "Begitu kah?" Lelaki itu berjongkok di hadapan Aarav. "Apa rasanya sesakit itu?"

"Hentikan ... sa-kit ...." rintih Aarav, air matanya menetes membasahi lantai gudang yang dingin.

Lelaki itu menarik kerah pakaian Aarav, menyandarkan Aarav ke dinding kasar. Tangannya mengambil pisau dari balik jaketnya.

"Kalau begini? Sakit?" Lelaki itu menggoreskan pisaunya ke lengan Aarav yang terbuka.

Aarav tersentak saat sesuatu yang dingin tiba-tiba menyalurkan rasa perih ke seluruh tubuhnya cepat. "ARGHH! SAKITT!" Aarav mencoba berontak.

Lelaki itu menampar wajah Aarav kuat, membungkam mulutnya.

"Diamlah!" lelaki itu menancapkan pisaunya lebih dalam, menggoresnya sepanjang lima senti.

Aarav gemetar hebat, air matanya mengalir deras, mewakili rasa sakit yang mendera tubuh ringkihnya. Padahal lebam akibat pukulan lelaki itu saja sudah cukup menyakitinya.

Melihat kondisi Aarav yang sudah cukup mengenaskan, lelaki itu bangkit, ia berbalik menuju pintu. Menyudahi penderitaan Aarav untuk malam itu.

"To-tolong ...." rintih Aarav nyaris tak terdengar.

Lelaki itu mengunci pintu dari luar, menyisakan Aarav seorang diri di gudang.

"Ka-kakak ...," Aarav teringat ucapan kakak kembarnya.

Por Trás Da Cena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang