Happy Reading!
Di rumah keluarga Emilio, Keenan memeluk bantalnya, dengan jari-jari tangannya yang lincah bergerak di layar ponselnya. Entah apa yang sedang ia perhatikan.
"Keenan! Cepat minum obat!" perintah Bunda sambil membuka pintu kamar Keenan.
"Hmm." Keenan berdehem, tak peduli. Manik gelapnya masih asyik menatap layar ponsel. Tak ada tanda-tanda akan beralih darinya.
Bunda berkacak pinggang, menatap Keenan yang masih memainkan ponselnya, "Keenan!"
"Iya Bun, iya ..." Keenan bangun, ia duduk di kasurnya malas.
"Jangan cuma iya iya aja! Cepet diminum obatnya! Nanti kambuh lagi!"
"Kok Bunda malah doain sih?" protes Keenan.
"Bunda nggak doain! Cuma ngingetin aja, buruan diminum obatnya!" Bunda menatap Keenan tajam.
Keenan meringis, "Iya iya." Ia bangkit mengambil obat di laci mejanya. Masih dengan ogah-ogahan.
"Gitu dong! Habis minum obat, langsung turun, makan!"
Keenan mengangguk, setelah Bunda menutup pintu kamar, Keenan menaruh botol obatnya kembali. Ia merebahkan badannya kembali, "Bosen ih minum obat terus ...."
Keenan mengambil ponselnya kembali, "Aarav berarti juga minum obat setiap hari kayak Aku? Hhh ... Aku kangen dia yang dulu." Keenan menerawang, mencoba mengingat saat dirinya dan Aarav masih SMA. Mengingatnya membuat Keenan tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri. Mengingat bagaimana Aarav yang super polos. Berbanding terbalik dengan Aaron, kembarannya. Meski sama-sama lembut.
"Keenan! Buruan turun!" teriakan Bunda yang lumayan keras berhasil menyadarkan Keenan dari lamunannya. Bahkan sampai Keenan tersentak kecil dibuatnya.
"Iya Bunda!" Keenan bangkit, berjalan menuju ruang makan yang berada di lantai bawah, "Ini udah turun."
Bunda menatap Keenan curiga, "Udah minum obat kan?"
"Hmm." Keenan membuang muka, netranya mencari keberadaan Kakak laki-lakinya, "Kakak mana?"
"Apa nyariin? Kangen?" Aziel-Kakak laki-laki Keenan-mengacak rambut Keenan, gemas.
"Lepasin ihh! Berantakan lagi nih!" Keenan menepis tangan Kakaknya yang masih mengacak-ngacak rambutnya.
Aziel terkekeh pelan, "Iya iya, ngapain nyariin?"
Keenan membuang muka, ngambek.
"Elahh ngambek, Kakak peluk nih!" ancam Aziel.
Keenan yang mendengarnya refleks melotot tajam, "Apaan sih!"
"Ya situ jangan ngambekan dong ...."
Keenan menarik kursi, "Ya nggak usah gitu juga kali!"
"Idihh! Pas kecil juga biasanya situ minta dipeluk dulu." ejek Aziel.
"Kan pas kecil! Sekarang Aku udah besar!" Keenan mendelik kesal.
Aziel memutar bola matanya malas, "Ya nggak usah ngegas dong!"
"Situ duluan yang mulai!"
Bunda menggelengkan kepalanya, "Ya ampun ..., kalian! Bisa nggak sehari nggak berantem?"
"Noh dengerin!" Keenan menatap Aziel tajam.
"Keenan jangan mulai!" Bunda melirik Keenan, menyuruhnya diam. Tak habis pikir dengan dua bersaudara yang tak pernah akur itu.
Aziel menahan tawanya, Keenan mendelik kesal. Ia menendang kaki Aziel kuat.
"Aduh!" Aziel meringis, "Sakit elah! Jangan kasar napa jadi cewek!" Aziel mengusap kakinya, ia mendelik tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Por Trás Da Cena [END]
Roman pour AdolescentsApa yang ada di balik layar? Apakah sama seperti yang kebanyakan orang lihat di panggung pertunjukan? Atau sedikit, bahkan jauh berbeda? Apakah pahlawan yang dilihat semua orang itu benar-benar pahlawan? Ataukah, bukan? Atau bahkan ialah tokoh jahat...