37. Denial

789 60 3
                                    


"Lo kenapa bisa berantem sama si Tari sih? Sampai masuk BK segala."

"Tau ih. Jangan bilang gara-gara rebutan Sam lagi?"

"Siapa yang ngerebutin dia sih?" Nayra langsung menatap Risa sewot.

"Lagian dia yang cari masalah duluan. Males banget sebenernya gue ribut sama tuh orang. Udah kesekian kalinya dia dorong gue sampai jatuh sama jambak rambut gue. Ya jadinya gue bales lah, ya kali diem aja digituin. Mana pake ngatain gue bitch lagi, ga tau aja kalau dia tuh lebih bitch," lanjut Nayra bercerita dengan menggebu.

Mengingat kejadian di sekolah tadi siang, membuat emosinya kembali naik.

Dena menghela napas, lalu memutar bola matanya malas. Tangannya diam-diam mengambil satu tusuk sate dari piring Nayra, yang segera mendapat geplakan dari sang empunya.

"Bilangnya aja enggak suka, enggak mau. Tapi rela-rela aja berantem terus sama si Tari. Berhenti denial bisa enggak sih?"

Nayra buru-buru menghabiskan satu tusuk sate terakhirnya sebelum kembali di sambar oleh Dena.

"Ngomong apa sih kalian?"

"Ah kebiasaan lo mah. Kalau ngomongin perasaan suka pura-pura ga ngerti," cibir Risa.

Nayra menghela napas, lalu berdiri dari tempatnya.

"Bodo ah. Gue mau cari bakso dulu."

"Anjir Nay, itu perut ga penuh apa dari tadi makan terus?"

"Maklum aja, Ris. Perut karet emang gitu," sindir Dena membalas ucapan Risa.

Nayra memutar bola matanya malas, kemudian tanpa kata meninggalkan mereka berdua.

"Mentang-mentang lagi di street food, semua jajanan di embat. Belum aja tuh nanti berat badan naik gara-gara makan banyak malem-malem."

Dena hanya menatap Risa malas, "Dan lo pikir dia bakal peduli, gitu?"

"Ck, makanan doang dipikirin. Perasaan doi aja masih di gantungin," Risa mencibir temannya yang satu itu.

"Biarin aja, udah. Percuma juga dibilangin, entar juga sadar sendiri tuh orang," Dena tak mau ambil pusing.

"Padahal dari sekian banyak cowok yang naksir dia, Samuel doang yang tahan sama mulut pedesnya. Mana pas awal ketemu udah langsung ditolak mentah-mentah lagi."

Jadilah selama Nayra pergi membeli bakso, mereka ber-ghibah tentangnya.

•°•°•°•°•

Hari sudah berganti, dan rasanya demam Samuel belum juga berkurang. Malah, suaranya semakin serak, di tambah flu yang menyerangnya.

Jadi, hari ini ia kembali tidak bersekolah. Padahal ia sudah bersemangat ingin berangkat dan bertemu dengan Nayra.

Rindu katanya.

Cih, bucin. Padahal status saja masih belum jelas.

"Lain kali lupa lagi aja, biar sakit lagi."

Oh ya, ngomong-ngomong orang tuanya sudah tiba sekitar pukul 8 tadi pagi.

"Ya maap, namanya manusia, mom. Pasti pernah salah," Samuel membela diri dari omelan si mommy.

"Kamu mah bukan 'pernah' lagi, tapi sering," giliran ayahnya yang mencibir.

Samuel menatap sebal ayahnya, "Iya, dad. Iya! Daddy doang emang yang paling bener."

"Kemusuhan banget kamu kayaknya sama Daddy. Lama sembuhnya entar baru tau rasa."

"Ya abis, Daddy kerjaannya bikin anaknya darah tinggi mulu."

SAM & NAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang