11. Sisi terdalam Nayra

1.6K 134 2
                                    


Nayra keluar dari taksi tersebut ketika sudah sampai didepan rumahnya. Setelah membayar, ia segera membuka pagar rumahnya dan masuk.

Kakinya berhenti melangkah ketika melihat seorang bocah laki-laki yang sedang berada di teras rumah. Dari raut wajahnya, tampak Nayra merasa terkejut.

"Dennis, kamu kenapa ada disini?"

Bocah laki-laki yang kira-kira berusia 10 tahun itu menoleh dan tersenyum lebar, kemudian menghampiri Nayra dan langsung memeluknya erat.

"Kangen Kak Nay."

Nayra tersenyum tipis, membalas pelukan bocah laki-laki itu yang tak lain adalah adiknya. Sesaat setelah itu, Nayra melepaskan pelukannya.

"Kamu kenapa disini? Bukannya kakak udah bilang kamu harus di rumah Tante Devi aja? Disini ga baik buat kamu." Ia mengelus rambut Dennis.

"Dennis kangen Mama." Jawab bocah laki-laki itu sendu.

Senyuman Nayra memudar. Ia tahu bagaimana perasaan adiknya itu. Mereka merasakan hal yang sama. Gadis itu kembali memeluk adiknya.

"Kamu kesini bareng Tante Devi? Atau sama Om Rafi?" Dennis menggeleng.

Nayra mengerutkan keningnya, "Jangan bilang kalau---"

"Papa yang jemput Dennis." Sahut seorang pria paruh baya yang muncul dibalik pintu.

Tatapan Nayra berubah dingin. Menatap datar pada Papanya.

"Nayra udah pernah bilang, kan, jangan pernah bawa Dennis kesini tanpa sepengetahuan Nayra."

Erwin menghela nafas, "Kenapa? Ini rumahnya juga, kan? Kenapa Dennis ga boleh Dateng kerumahnya sendiri?"

Sebelum menjawab pertanyaan Papanya, Nayra terlebih dulu menyuruh Dennis untuk masuk kedalam rumah. Bocah laki-laki mengangguk, lalu menurut untuk masuk kedalam rumah.

"Dengan melihat bitch yang datang kerumah ini, apakah itu baik untuk Dennis? Nayra ga mau, Dennis tau kalau Papa udah mengkhianati Mama, dan dia mengikuti jejak Papa saat besar nanti."

"Itu semua ga seperti yang kamu pikirkan selama ini, Nayra! Papa tidak pernah mengkhianati Mama kalian!"

Senyum sinis tercetak di wajah gadis itu, "Lalu apa yang terjadi selama ini? Apakah itu ga pantes buat disebut sebagai pengkhianatan?"

"Nay... Papa---"

"Mama sakit selama bertahun-tahun, bahkan ga sadarkan diri, apa Papa peduli selama ini?"

"Setiap orang mempunyai cara yang berbeda dalam menunjukkan kepedulian mereka terhadap orang yang mereka cintai, nak."

"Cinta? Hahaha. Omong kosong! Nayra ga pernah percaya sama cinta. Karena cinta, Mama jadi seperti ini, kan? Cinta yang udah bikin Mama celaka!" Nayra tertawa hambar.

Namun perlahan, tawa itu menghilang. Digantikan dengan raut sendunya.

Benarkah ia tidak percaya dengan apa yang namanya cinta? Jika iya, lalu bagaimana dengan yang ia rasakan selama ini? Bagaimana dengan rasa yang telah ia simpan selama bertahun-tahun itu?

"Sayang... Itu semua bukan---"

"Terserah Papa. Nanti malam, Nayra bakal anterin Dennis ke rumah Tante Devi lagi. Dia lebih baik ada disana."

Setelah mengatakan itu, Nayra segera masuk kedalam rumah. Meninggalkan Erwin yang kini tengah terdiam. Menatap punggung yang perlahan menghilang dibalik pintu itu dengan tatapan tak terbaca nya.

Ceklek

Nayra membuka pintu kamar berwarna coklat tersebut. Tidak, itu bukan kamar miliknya.

Kakinya perlahan melangkah masuk kedalam kamar yang berukuran besar tersebut. Mendekati Dennis yang duduk dipinggir ranjang, dengan seorang wanita yang tengah terbaring menutup matanya.

"Kak, Mama kapan bangun?"

Gadis itu menghela nafas, menatap sendu pada adik laki-lakinya yang sedang menggenggam tangan wanita yang tengah menutup matanya itu, kemudian tersenyum tipis.

"Kita berdoa aja."

Nayra mencoba untuk tersenyum. Berusaha memberi kekuatan pada adiknya, meskipun rasanya dia sendiripun hampir kehilangan kekuatan untuk terus baik-baik saja. Melihat wanita itu dengan banyak alat medis yang terpasang, membuat nya merasa benar-benar tidak sanggup untuk menahan semuanya. Rasanya benar-benar menyakitkan.

Bolehkah ia menangis saja sekarang?

"Kak Nay nangis?"

Mendengar ucapan Dennis, Nayra segera mengusap sudut matanya yang mulai berair, kemudian menggeleng pelan sambil tersenyum mengelus pucuk kepala adiknya.

"Ngga, Kakak ga nangis kok."

Mata bulat itu masih menatap mata milik kakaknya yang tampak memerah dan berkaca-kaca.

"Kak Nay ga boleh nangis, nanti Mama sedih." Jarinya bergerak mengusap sisa-sisa air mata di pipi kakak perempuannya.

Nayra tersenyum, hatinya menghangat karena diperlakukan seperti itu oleh adiknya. Sedetik kemudian, ia langsung menarik Dennis kedalam pelukannya.

"Iya, Kakak janji ga akan nangis."

•°•°•°•°•

Cahaya lampu tampak berkilau, menggantikan terangnya sinar matahari yang telah tenggelam digantikan malam. Dengan bintang yang bertaburan di langit, malam ini tampak indah.

Suara tawa terdengar, yang berasal dari beberapa remaja SMA yang tengah berkumpul di kafe bertema out door tersebut.

"Anjir lah. Jadi lo kesini cuma karena Aldi bilang kangen sama lo? Hahaha! Ga nyangka gue, Aldi sebucin itu ternyata."

Tawa itu masih terus terdengar. Dengan Aldi yang sejak tadi terus menjadi bahan ledekan teman-temannya.

"Udah elah, seneng banget lo pada nistain gue."

"Lagian, lo. Kalo kangen mah lo aja yang samperin, ini malah Keysha nya yang ke sini."

"Kan bulan lalu udah gue yang ke Semarang." Hampir saja Aldi menjitak Gavin jika saja tidak ditahan oleh Keysha, pacarnya.

"Udah, ga boleh emosi."

"Biarin sih, Gav. LDR mah emang berat, banyak rindunya, haha. Makanya, lo cari pacar sana. Biar jangan jomblo terus." Samuel tertawa kecil.

Gavin mendelik menatap Samuel yang kini mentertawakan dirinya. Terlebih lagi sekarang Aldi ikutan tersenyum mengejek kearahnya. Kenapa ia merasa malah menjadi yang ternistakan sekarang?

"Kayak lo sama Laura ya, Sam?" Arka tersenyum menggoda ke arah Samuel.

Dena mengangkat sebelah alisnya, "Laura siapa?"

"Itu si---"

"Eh, ngomong-ngomong kok Nayra ga ikutan?"

Samuel menyela ucapan Arka dengan mengalihkan topik bertanya tentang Nayra.

"Ga tau. Kita chat dari tadi cuma centang satu. Nomornya juga ga bisa dihubungi. Ga biasanya dia kayak gitu." Sahut Risa.

"Apa ada masalah ya?" Gumam gadis itu kemudian.

Samuel mengangkat sebelah alisnya ketika tak sengaja mendengar gumaman Risa, "Masalah?"

Gadis itu tersentak, "Eh? Nggak. Bukan apa-apa."

Samuel mengangguk saja, meskipun masih penasaran dengan maksud dari ucapan Risa tadi. Tak lama, ponselnya berdering, ada sebuah panggilan yang masuk. Samuel segera berdiri, meminta izin pada teman-teman untuk menjawab telepon tersebut dan segera menjauh.

"Hey, Bee. What's going on? Miss me, huh?" Sahutnya pada seseorang diseberang sana.

•°•°•°•°•

SAM & NAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang