Bab 39 : Tawaran

5 0 0
                                    

Perlahan cahaya matahari menembus celah jendela dan menerangi sebagian besar kamar dengan luas 5 x 6 meter persegi ini. Sipenghuni kamar yang masih bergulung dengan bad cover warna coklat tua itu seperti enggan untuk membuka mata dan menikmati sinar ultraviolet yang menyehatkan badan.

Sampai sebuah guncangan di badan membuat ia akhirnya membuka mata. Pada saat kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, Robi yang masih setia di atas tempat tidur besarnya mencoba mengenali sosok Amang Theo yang sedang duduk di samping ranjangnya.

"Bangunlah!" perintah Amang. Laki-laki tua itu menyibak gorden berwarna milo yang menutupi jendela besar di kamar itu. Matahari yang bersinar terik seketika memaksa Robi untuk bangkit dari tempat tidur, memakai jas kamarnya dan mengikuti Amang yang sudah terlebih dahulu keluar dari kamar dan menunggunya di meja makan.

"Ada apa lagi ini?" Sebuah tanya bermain di benak Robi. Tidak biasanya Amang datang kekamarnya khusus untuk membangunkan Robi dari tidur.

"Kenapa jam segini kau masih tidur?" protes Amang sambil menuangkan kopi hitam panas ke gelas yang ada dihadapannya.

Robi menatap heran laki-laki tua dihadapannya ini. Keanehan lain terjadi lagi, kalau tadi tidak pernah ia khusus membangunkan dan sekarang tidak biasa pula Amang terganggu dengan jam tidur Robi seperti saat ini.

"Ini pasti ada sesuatu," tebak batin Robi kembali.

Dengan tersenyum dan mencoba membuat tenang suasana, Robi menuangkan kopi yang sama ke gelasnya sendiri. Tidak terpancing akan emosi Amang yang sedang tinggi, Robi mencob untuk santai, walau ujung dari keadaan sekarang belum dapat ditebak seperti apa akhirnya.

"Apa yang mau Amang sampaikan?" tanya Robi berhati-hati. Aroma kopi yang kuat sedikit membuat syaraf otak yang tegang sedikit melonggar. Diteguknya kopi hangat itu dengan nikmat. Robi membiarkan hawa panas itu mengaliri kerongkongannya dan berakhir di lambung yang belum terisi apapun dari tadi malam.

Sejenak laki-laki tua itu mengikuti kegiatan Robi dengan menikmati kopi hitamnya dengan nikmat. Terlihat wajah tuanya penuh dengan beban yang tidak sanggup untuk dipikulnya seorang diri.

"Amang," tegur Robi ketika melihat laki-laki itu hanya diam.

"Aku bingung harus mulai dari mana untukmu," sahut laki-laki tua itu tidak yakin.

"Amang ingin menyampaikan sesuatu padaku? Sampaikanlah, jadi aku tahu apa permasalahan yang terjadi sebenarnya."

Terlihat laki-laki tua itu berpikir. Kerutan didahinya yang memang sudah ada, sekarang semakin terlihat jelas. Wajah tegas dengan kerutan yang nampak nyata sekarang terlihat kaku dan menegang. Ada sebuah keraguan untuk dibicarakan. Namun, jika didiamkan juga bukan perkara yang mudah untuk ia hadapi nantinya.

"Kau harus menikah dengan Evita," ucapnya tanpa berani memandang pemuda yang sangat disayanginya itu.

Sebuah perintah bagi Robi. Tidak meminta pendapat atau usulan dari yang punya badan. Sebuah titah yang sudah dituliskan dan harus segera dilaksanakan.

Melihat ini Robi tidak terima. Permintaan yang sudah didengarnya dari Namboru yang sedang sakit keras di rumah sakit tadi malam, bagi Robi saat itu hanya sebuah permintaan tanpa ada kekuatan. Robi tidak bisa mengiyakan apalagi mengikutinya. Dan sekarang di saat ia sedang tidak ingin memikirkannya sebuah ultimatum keras justru keluar dari mulut laki-laki yang sudah dianggap sebagai penggant bapak baginya.

"Kau pasti tidak menginginkan hal itukan?"

"Bagaimana aku melakukan hal itu, Amang? Menikah bukan perkara mudah. Sebuah janji dihadapan Tuhan yang akan aku pertanggung jawabkan seumur hidupku. Karena itu aku tidak ingin sembarangan memutuskan."

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang