Bab 8 : Perjalanan

4 0 0
                                    

Tepat pukul tujuh pagi, Robi sudah berada di ruang tamu rumah Eyang Misnadi. Berbincang sebentar dengan Eyang sambil menunggu Rara berbenah. Tepat pukul setengah delapan, Rara turun dari lantai atas dengan membawa travel bag berukuran sedang dan tas ransel berwarna biru yang sudah berada di punggungnya.

"Eyang kami pergi, ya!" Pamit Rara sambil mencium punggung tangan Eyang. Hal yang sama dilakukan oleh Robi. Terlihat kekakuan di sana. Maklum adab seperti ini tidak pernah diajarkan dalam keluarganya dulu.

"Hati-hati di jalan. Untukmu anakmu anakmuda tetap harus tahu batasan!" Pesan Eyang khusus kepada Robi.

"Siap Eyang. Aku paham!"

Setelah pamit dengan Eyang, Rara dan Robi berangkat menuju Tridadi Sleman. Perjalanan yang diperkirakan memakan waktu dua jam lebih tidak membuat mereka jenuh, bosan ataupun letih.

Robi yang berada di belakang kemudi terlihat sangat ahli dan sangat menguasai kondisi dan rintangan yang ada dijalan. Rara yang duduk disampingnya menemaninya dengan berdendang riang atau bercerita hal yang ringan-ringan.

"Capek?" tanya Robi pada Rara yang duduk di sebelahnya.

"Tidak. Kau capek? Mau gantian nyetirya?" Rara kembali bertanya, sambil melirik pada laki-laki yang dengan fokusnya duduk dibelakang kemudi mobil.

"Tidak usah. Pantang kata amangku membiarkan wanita menyetir." Robi tertawa ringan dan kembali berkonsentrasi.

Ia ingin perjalanan kali ini, menjadi perjalanan yang bermakna buat Rara. Perjalanan yang akan dijadikan Rara sebagai kenangan ketika gadis ini nanti pulang kembali ke rumahnya atau ketika tidak bersamanya.

"Apakah aku bisa jauh darinya?" Batin Robi bertanya ketika sebuah pemikiran muncul. Secepat kilat Robi menghapus kemungkinan itu. Saat ini yang pasti Rara sangat berarti buatnya. Apakah takdir Tuhan nanti akan menuliskannya secara baik ataupun tidak. Yang jelas hari ini ia ingin memberikan yang terbaik buat dirinya dan juga Rara.

Hari ini  bagi Rara juga terasa beda. Sejak kepergiannya dari rumah, baru kali ini ia pergi secara khusus dengan seseorang. Jika dirujuk pada lamanya mereka berkenalan, ada sedikit keraguan ketika meminta izin dengan Mama dan Eyang.

"Rara yakin pergi dengan Robi?" Itu pertanyaan Mama ketika ia meminta izin melalui sambungan telepon.

Sejenak Rara diam.

"Mama, tidak kenal dengan laki-laki itu. Rara yang mengenalnya dengan baik. Jadi kalau hati Rara nyaman dan tenang, izin akan Mama berikan." Begitu penjelasan Mama waktu itu.

Akhirnya Rara mengikuti kata hatinya. Ia merasa bahwa selama ini, ia merasakan ketenangan dan keamanan jika bersama Robi. Meskipun usia perkenalan mereka belum lama, tapi bagi Rara laki-laki ini seperti seorang sahabat lama baginya.

"Pergilah! Dia laki-laki baik dan bertanggung jawab." Eyang mengizinkannya setelah Rara bercerita alasan Robi mengajaknya pergi ke Yogja.

Entah karena takdir Tuhan yang mengizinkan perjalanan ini atau karena belas kasihan Eyang melihat cucu kesayangan bersedih. Pada akhirnya izin itu Rara dapat. Padahal dulu Eyang terkenal sangat over protective pada Rara. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebuah kemudahan. Eyang hanya berpesan pada Robi untuk menjaga Rara baik-baik.

"Kita makan dulu ya!" Sebuah tawaran menghentikan pemikiran Rara. Terlihat mobil diarahkan Robi memasuki halaman warung nasi sederhana tapi terlihat banyak dikunjungi.

Setelah memarkirkan mobil dengan baik, Robi dan Rara memasuki warung tersebut. Memilih sebuah tempat yang terletak dipojok ruangan. Sambil menunggu pesanan datang. Mereka berbincang-bincang.

"Baru pertama kali ke Yogya?" tanya Robi sambil meluruskan kaki, melepas kelelahan karena hampir 1 jam menginjak pedal kopling, rem dan gas.

Seporsi nasi dengan lele goreng serta segelas besar teh hangat menjadi teman makan siang mereka kali ini.

"Lewat darat dari Solo baru kali ini." jelas Rara

"Pengalaman baru buatmu," ucap Robi

"Iya. Terimakasih ya?" senyum Rara. Terlihat ketulusan dalam senyuman itu.

Perjalan kali ini terasa beda buat Rara. Baru kali ini ia pergi jauh dari rumah dengan orang yang baru dikenalnya. Biasanya Rara kalau traveling itu dengan keluarga. Kalau tidak lengkap, biasanya ia hanya pergi dengan Bagas. Kalau Bagas tidak bisa Mama pasti akan menemaninya. Tapi kali ini berbeda. Rara betul-betul sendiri diperjalanan ini. Tidak ada Papa, Mama dan Bagas. Kali ini ha ya ada ia dan Robi.

"Selesai dari urusanku, kita jalan-jalan dulu ya? Pulang ke Solo besok atau lusa." ajak Robi

"Nanti kita pikirkan. Yang jelas sekarang kita selesaikan dulu urusan utama." jawab Rara. Robi merasa tenang.

"Siapa yang mau kita temui di Sleman?" tanya Rara.

Wajar pertanyaan ini muncul. Robi tidak pernah menceritakan siapa yang akan dijumpainya di sini.

"Ada sebuah alamat yang ingin kudatangi di sana. Alamat yang mengarah pada keberadaan ibu dan ayah kandungku."

"Alamat yang kau dapat dari Paribanmu?" tanya Rara.

"Iya. Alamat itu sama dengan alamat yang ku dapat dari orang suruhanku. Apakah sama orangnya atau berbeda. Itu yang akan kucari tahu sekarang." jelas Robi

Sejenak mereka diam. Masing-masing sibuk dengan pemikiran sendiri. Sampai akhirnya Rara memecahkan kesunyian.

"Kenapa kau tak ajak paribanmu bersama kita?" tanya Rara

"Apa pentingnya dia ikut?" terlihat nada bicara Robi tidak suka.

"Setidaknya ia pasti mengetahui sesuatu yang akan membantumu." Rara mencoba menenangkan emosi Robi.

Sangat jelas tergambar bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan paribannya Robi tidak menghendaki untuk dibahas. Tapi Rara juga bukan gadis yang bisa terpuaskan hanya karena alasan yang tidak penting.

"Kau seharusnya bisa memanfaatkan situasi. Seharusnya timbul pertanyaan darimu. Bagaimana orang yang tidak pernah kau jumpai, tiba-tiba membantumu dan memberikan informasi yang berharga untukmu." kali ini Rara mendominasi pembicaraan, ia biarkan Robi menahan egonya untuk menyadari bahwa sikapnya kali ini salah.

Lalu Rara melanjutkan, "Paribanmu pasti mengetahui sesuatu yang tidak kau ketahui sama sekali."

"Entahlah!" jawaban yang memperlihatkan kejengkelan hati Robi.

"Ayo, kita berangkat," ajak Robi sambil buru-buru berdiri. Ia tinggalkan Rara yang masih ingin menghabiskan teh dinginnya. Namun, Robi sudah bergegas berjalan menuju meja kasir.

Rara yang menyadari sikap tidak nyaman Robi, hanya mampu mengikutinya dari belakang. Padahal alangkah baiknya jika mereka beristirahat sebentar sampai makan yang mereka makan aman di dalam lambung.

"Aku hanya mengutarakan kemungkinan yang akan menguntungkanmu nanti. Cobalah kau pikirkan." kata Rara ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

Robi tidak menyalahkan Rara. Justru yang salah sekarang ini adalah dirinya. Dugaan Rara sempat terpikirkan olehnya. Tapi ia tidak menempuh cara itu agar Karena ia tidak menghendaki Evita ada diantaranya dan Rara.

Situasi ini bagi sebagian pihak adalah sebuah situasi yang menguntungkan dan bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan sebuah tujuan.

Robi takut akan hal itu. Kalau bisa ia ingin lari sejauh mungkin dari Evita dan segala yang berhubungan dengannya. Ia tidak ingin berhubungan dengan mereka dan ia tidak ingin ada hubungan.

Biarlah ini menjadi urusan pribadinya, bukan urusan mereka. Kalaulah ia mengajak orang lain terlibat, kesempatan itu hanya diberikan kepada gadis yang duduk disebelahnya kini.

Gadis yang bukan kerabat, bukan orang lama yang tiba-tiba muncul. Gadis ini orang asing, tapi Robi percaya padanya. Robi mempercayai Rara sebagaimana Robi mempercayai bahwa setiap usaha yang dilakukannya akan berhasil. Tinggal waktu yang akan membuktikannya. 

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang