Pagi ini Robi tidak ingin pergi. Biasanya minggu pagi ia sudah siap-siap untuk sekedar berolahraga ringan disekitar perumahannya. Tapi kali ini, ia hanya ingin bicara dengan Rara.
"Sudah bangun?"
"Sudah, tapi masih di tempat tidur,"
"Gadis itu harus rajin jangan malas,"
"Sesekali malas tidak masalah,"
Percakapan ringan gaya anak muda menjadi pemanis pada minggu pagi ini. Beberapa kali terdengar tawa dari percakapan cara daring ini. Tidak bertatap muka. Tapi satu sama lain bisa memberikan kebahagian bersama.
"Dua hari lagi kita ke Jogja!" kata Robi dengan yakin.
Padahal sejak kepulangannya dari rumah Rara dua hari yang lalu. Sampai pagi ini Rara tidak juga bicara apapun tentang ajakan tersebut."Jangan kau bilang tidak bisa." kata Robi dengan nada sedikit naik.
"Mama sudah mengizinkan. Tinggal Eyang." jawab Rara dari seberang.
"Tidak ada masalahkan?" tanya Robi memastikan
"Tidak tahu juga. Soalnya aku belum ada cerita," jawab Rara.
Belum sempat Robi bertanya lanjut. Terdengar ketukan dari arah pintu depan. Dan ia pun pamit dengan Rara untuk melihat siapa yang menganggu perbincangannya dengan Rara pagi ini.
Selama hampir satu tahun ia tinggal di Solo, tidak banyak yang menjadi tamunya. Yang paling sering adalah Pak RT yang mengutip iuran kebersihan dan keamanan. Termasuk juga Abang ojol juga sering mengetuk pintunya.
Tapi pagi ini, Robi yakin bukan mereka berdua. Karena iuran RT sudah dibayar lunas tiga bulan ke depan. Dan pasti juga bukan Abang ojol, karena ia sedang tidak memesan apapun dari luar. Dengan merapikan diri, mengganti celana pendek dengan jeans panjang biar lebih sopan. Robi pun melangkah menuju pintu depan.
"Kenapa telepon dan pesanku tak pernah kau balas?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar 60 tahunan dengan suara bataknya yang khas.
Dengan rambut dan kumis yang sudah putih. Berdiri gagah di depan pintu rumah. Tapi kali ini ia tidak sendiri seperti biasanya. Di sampingnya ada perempuan berusia awal 50an dengan dandan yang lengkap. Baju rapi dengan tas senada serta warna warni menyala di wajah yang sudah mulai mengerut. Sangat kontras dengan laki-laki yang berada disebelahnya.
Laki-laki tua ini, tidak pernah bisa ditolak Robi kehadirannya. Beliaulah pengganti Bapak setelah bapak angkatnya meninggal dunia. Theo David Cristian Sihombing, begitu nama lengkapnya. Robi terbiasa memanggilnya dengan Amang.
Perempuan yang menemani Amang Theo kali ini rasanya bukan orang baru bagi Robi. Ia sangat familiar, perempuan ini tidak asing dalam hidupnya. Tapi siapa? Robi betul-betul tidak mengingatnya lagi.
"Apa kabarmu, Robi? tanya Amang Theo.
Setelah Robi mempersilahkan mereka masuk. Rumah sederhana dengan kursi rotan yang juga sederhana menjadi tempat perbincangan mereka.
"Aku baik-baik saja, Amang." jawabnya sambil meletakkan secangkir kopi hitam dan jus jeruk untuk perempuan itu.
"Aku minta maaf. Telepon dan pesan Amang tidak ku balas,"
"Tidak ada masalah. Amang paham."
Kedatangan Amang pasti ada sesuatu. Amang tidak akan datang menjumpainya kalau tidak karena sesuatu yang penting, sesuatu yang tidak bisa dibahas via telepon. Kehadirannya kali ini pasti membawa kabar penting tersebut.
Robi tidak mendesak Amang untuk mengatakan tujuannya datang ke Solo. Robi membiarkan Amang menikmati kopi hitam kesukaannya.
"Kenalkan ini, Tantemu" kata Amang Theo sambil melirik wanita yang duduk disebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomancePertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...