[Kenapa secepat itu kau berubah?]
[Dulu, tak pernah kau mengatakan tidak bisa. Tidak pernah menolak apa yang kuinginkan dan tak pernah menghindar dengan alasan sibuk karena pekerjaan. Kenapa sekarang seakan mudah bagimu untuk menolak, lari lalu menghilang]
Tanpa membuka gawainya, Robi hapal di luar kepala apa yang ditulis Rara pada aplikasi WhatsApp miliknya. Tidak ada sedikitpun balasan dan pembelaan darinya untuk membenarkan atau menyalahkan apa yang sudah dikatakan Rara tentangnya.
Rara pantas marah, kecewa atau mencaci maki saat ini. Ketidakhadirannya memenuhi undangan Rara karena alasan pekerjaan adalah sebuah alasan yang dibuat-buat. Padahal sekarang waktunya sangat lapang, pekerjaan di perusahaan berjalan dengan lancar, tidak ada yang membuat Robi harus lembur atau melakukan perjalanan ke luar kota. Sekarang apapun waktu yang dimiliki Robi tetap tidak mampu membuat ia meringankan kaki untuk memenuhi undangan Rara.
Tapi luka itu sudah tergores, kecewa sudah tergambar bahkan kepahitan sudah ditelan dan tidak bisa dimuntahkan lagi. Semua yang dilakukan Robi untuk kebaikan Rara justru telah melukai Rara. Itu yang membuat Robi sekarang hanya mampu terbungkam diam dan tak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan.
Di saat ia tak mau diganggu oleh apapun, di saat itu pula gawainya berbunyi. Sebuah nama dengan foto profil yang sangat dikenalnya muncul dilayar gawainya dengan jelas. Kenapa harus dia yang menelpon pada saat seperti ini? tanya batin Robi.
Pada dering ke sepuluh kali, barulah Robi menjawab panggilan tersebut.
"Abang di mana?" pertanyaan yang selalu tanpa basa basi. Tidak seperti Rara yang kalau meneleponnya selalu menanyakan kabar, sudah makan apa belum dan apakah ia mengganggu apa tidak. Sangat berbeda dengan gadis yang sekarang meneleponnya. Tidak ada sapaan, tidak ada keramahan.
"Abang di mana sekarang?" ulang di seberang bertanya setelah tidak terlihat ada respon dari Robi.
"Aku sedang di rumah kawan, ada urusan," dusta Robi.
"Jam dua siang nanti aku dan Mama mau ke tempat Aban," ucapnya, tapi bagi Robi lebih seperti perintah.
"Untuk apa lagi kau dan mamamu ke tempatku?" kali ini Robi betul-betul jengkel. Selalu saja gadis ini menggunakan alasan orang tua untuk melunakkan hatinya. Robi benar-benar tidak suka.
"Mama mau mengajak Abang ke rumah Pak Tua kita di Ciputat."
"Evi, kaukan paham! Aku paling tidak suka berjumpa dengan sanak saudara. Kenapa sekarang kalian selalu sibuk mengenalkan aku dengan keluarga yang lain. Aku tidak butuh itu. Bagiku keluargaku hanya satu, yaitu Amang Theo. Paham kau!" bentak Robi.
Evita yang diseberang sana sangat paham akan konsekunsi yang di hadapinya. Laki-laki ini bukan laki-laki yang mudah untuk ditaklukkannya. Robi tidak seperti Arman yang sangat memujanya atau seperti Firman yang rela mati untuknya. Robi berbeda, ia kasar, tegas tapi punya karisma, aura yang terpancar pada diri Robi sudah mampu membuat Evita jatuh cinta ketika pertama kali berjumpa dengan Robi pada usia kecil mereka.
"Abang jumpai dulu. Setelah jumpa, Abang suka atau tidak, itu terserah Abang. Aku dan Mama hanya menjalankan amanah yang di titipkan pada kami untuk membawa Abang ke sana."
Penjelasan Evita membuat Robi semakin muak dengan keadaannya. Kalaulah ia bisa memilih, kepergiannya ke Jakarta adalah sebuah bencana. Selama di sini tidak sekalipun ia merasa tenang, bahkan untuk sekedar melepas rindu pada Rara, terpaksa harus dipendamnya dalam-dalam. Semua yang berada disekelilingnya seakan tidak memberikan ketenangan dan kedamaian saat ini. Kehadiran Evita yang dari Solo sampai Jakarta tetap membayanginya, tanpa bisa ia kesampingkan karena ia teringat akan pesan Amang kepadanya.
"Aku tidak pernah meminta banyak padamu. Tapi kali ini saja, aku mohon kepadamu untuk tidak menjauhi apalagi menyingkirkan Evita begitu saja dalam hidupmu. Terima dia, kenali dan pelajari," pesan Amang kepada Robi.
Semuanya teramat sulit untuk dilakukan Robi. Jangankan untuk menerima Evita, mengenal atau mempelajari siapa Evita, Robipun tidak mau, karena hati dan pikiran Robi sudah terlebih dahulu di isi dan di lengkapi oleh Rara, gadis yang sangat istimewa baginya.
Namun, lagi-lagi Robi harus tersudut oleh sebuah pilihan. Menjalani terasa berat, menghindari tidak memiliki alasan yang kuat. Ulah Evita, Namboru dan sekarang Amang membuat Robi tidak bisa lari menghindar. Dari mulai alasan berkenalan dengan para kerabat, sampai mendiskusikan masalah perusahaan yang baru diketahui Robi ternyata Ayah Evita adalah salah satu pemegang saham terbesar selain Bapak dan Amang. Semua itu membuang waktu Robi untuk mencari keberadaan Ibu kandungnya. Entah di sengaja atau tidak, yang pasti Evita yang waktu di Solo sangat antusias membantu sekarang seperti tidak mau tahu.
"Abang sabar dulu. Kita diam bukan berarti tidak bergerak. Pikiran yang kita susun dalam sebuah rencana juga sebuah usaha untuk menemukan keberadaan Bu Sri." Seperti itu penjelasan Evita ketika Robi mengingatkan kembali tentang pencarian ini.
Pada kondisi tersebut, Robi ingin berusaha sendiri. Teringat Rara akan membantu membuat laki-laki tersebut kembali bersemangat. Namun, kecewa yang diciptakan Robi untuk Rara membuat ia merasa tidak punya keberanian untuk menghubungi Rara.
"Kenapa aku sampai mengecewakan dia?" sesal Robi dalam hati.
Sebenarnya ia sudah berniat dan berencana datang ke pesta ulang tahun Papa Rara. Rencana yang disusun, pakaian yang dipilih sampai kado yang akan diberikan terpaksa batal dibawa, hanya karena pada waktu Robi mau berangkat, Namboru dan Evita tiba-tiba datang ke rumah Amang.
"Secepatnya kau kemari!" perintah Amang.
"Aku ada janji. Ada undangan teman yang mau ku hadiri, Amang," jelas Robi memberikan alasan.
Berharap akan dipahami dan dimaklumi, ternyata yang didapati Robi bukan seperti keinginannya. Justru Amang tetap memintanya untuk ke rumahnya terlebih dahulu.
"Kemari dulu. Setelah itu kau bisa memenuhi undangan temanmu itu," saran Amang cukup masuk akal.
Dari jam tiga sore sampai nanti jam tujuh malam waktu yang direncanakan Robi untuk berangkat ke tempat Rara adalah waktu yang cukup panjang untuk mengetahui ada keperluan apa anak beranak itu ke tempat Amang sehingga Amang meminta Robi harus datang.
Rencana hanya bisa milik manusia, tapi takdir itu kuasa Tuhan sepenuhnya. Ketika Robi berencana hanya sebentar di tempat Amang, ternyata berujung panjang sampai ia akhirnya harus mengubur rencananya. Kado yang dipersiapkan tetap berada di dalam mobil tanpa sempat diberikan.
Robi menyesal karena hal ini. Dan sekarang di saat Robi sedang memikirkan cara untuk berbaikan dengan Rara, pada waktu itu pula Evita kembali mengatasnamakan orang tua sebagai alasan untuk bertemu dengannya.
Kalau kemaren adalah sebuah rencana yang di luar kendalinya, namun sekarang Robi tidak ingin dikendalikan mereka. Robi akan menolak dan akan melaksanakan rencananya sendiri. Tidak ada lagi hormatnya kepada Amang. Biarlah, kalaupun nanti Amang marah ataupun kecewa, Robi akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya.
"Aku mau ke Bogor. Tak perlu kau dan Ibumu datang ke rumah." Hanya itu alasan yang mampu diberikan Robi kepada Evita melalui pesan singkat yang dikirimkannya. Robi tidak peduli apakah Evita akan membaca dan membalasnya atau justru mengabaikannya.
Sekarang Robi punya rencana sendiri. Bertemu Rara dan meminta maaf secara langsung sekaligus menyerahkan kado yang sudah dipersiapkannya. Mudah-mudahan Rara masih mau merespon rencanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomantikPertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...