Bab 22 : Berdamai

1 0 0
                                    

Senja turun dengan cepatnya. Alam yang awalnya terang benderang karena kehebatan sang mentari, lambat laun meredup tergantikan oleh keindahan rembulan. Dua ciptaan Tuhan yang hebat ini bersinergi, bekerja sama yang baik tanpa saling menyombongkan satu sama lain. Ketika terang punya cerita indah tersendiri yang menjadi milik abadi dari sang penghuni bumi, begitu juga malam, walau hanya berisi gelap dan pekat bukan berarti keindahan itu sirna, keindahan itu tetap ada dalam arti yang berbeda-beda.

Seperti kali ini. Setelah selesai sholat magrib berjemaah dengan semua penghuni rumah dan menjelang jam makan malam tiba, Rara menikmati keindahan malam.

Sudah lama ia tidak menelusuri jalan setapak yang mengelilingi taman bunga milik Mama, sudah lama pula ia tidak duduk dalam diam sambil menatap langit di gazebo yang khusus dirancang Bagas.

Malam ini Rara ingin menikmati semuanya. Malam ini ia ingin merasakan wangi tanah dan bunga yang aromanya akan dia hirup sebagai energi tambahan untuk memenuhi rongga-rongga hatinya yang telah kosong karena jauh dari rumah ini.

"Mau di temani?" Suara Bagas menyentakkan lamunan Rara. Entah kapan laki-laki dengan tinggi 183 cm ini hadir disampingnya dan ikut duduk menikmati dingin lantai gazebo buatannya.

"Kamu selalu seperti itu Mas, datang tiba-tiba. Kaget lho," protes Rara

Hahahaha...

Bagas tertawa lepas. Ia senang membuat gadis ini memunculkan ekspresi dengan mulut ditekuk, wajah marah yang lucu dan sorot mata yang tajam tapi tetap lembut. Bagi Bagas ekspresi itu hanya mampu ditunjukkan oleh Rara. Gadis yang sudah dikenalinya sejak kecil, gadis yang jika cemberut sebenarnya bukan dihiasi kemarahan tapi kemanjaan, dan ketika itu terjadi bawalah ia ke dalam pelukan, acak kucir kuda rambutnya dan jentik puncak hidung bangirnya. Seketika ia akan kembali tersenyum.

"Aku rindu rajukkanmu tadi," kata Bagas ketika Rara sudah melepaskan diri dari pelukannya.

"Yang satu lagi tidak pandai merajuk seperti ku?" Selidik Rara.

Bagas tersenyum. Laki-laki ini paham betul arah pembicaraan Rara. Bagas tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak.

"Siapapun yang hadir dan datang ke rumah ini. Dirimu tetap tak tergeser dan tergantikan di hati kami."

Rara ingin meyakini bahwa yang disampaikan Bagas benar apa adanya. Tapi entah mengapa hatinya belum bisa menerimanya dengan benar, karena mungkin ia belum melihat dan bertemu langsung dengan sumber ketakutannya yaitu Papa.

"Selama aku pergi Papa sering nggak nanyain aku ke Mas Bagas?" tanya Rara.

"Aku dan Papa sama, Ra. Kami laki-laki yang tidak terbiasa memperlihatkan isi hati kami. Walau Papa jarang bicara tapi dari sikapnya aku tahu beliau sangat merindukanmu."

"Setiap kau menelepon aku atau Mama. Papa pasti bertanya, ada tidak Rara menitipkan salam buatnya?"

Rara terhenyak mendengar apa yang disampaikan Bagas. Kecewa pada Papa dengan kehadiran "anak itu" membuat ia melupakan laki-laki yang sudah melindungi hampir seperempat abad usianya.

Laki-laki yang selalu jadi tempat bersandar dan bercerita ketika ia sedih dan gundah, laki-laki pertama yang selalu ada di depan untuk membelanya dan melindunginya. Tidak pernah sekalipun selama Rara di Solo ia mengkhususkan diri untuk menelepon dan sekedar bertanya kabar ayah angkatnya ini.

"Sungguh egoisnya aku." sesal batin Rara. Seketika timbul sebuah sesal dalam diri Rara. Kenapa selama ini ia melupakan Papa. Apakah ini sebuah hukuman yang diberikannya kepada laki-laki yang sudah bersedia memberikan sebuah identitas baru kepadanya, atau justru sikap ini adalah sebuah sikap untuk menjaga hatinya yang sedang terluka saat itu.

Bagas melihat situasi seperti ini membuat Rara tidak nyaman. Kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Selama di Solo temanmu hanya Robi?" Kali ini gantian Bagas yang menyelidikinya.

Rara tersenyum, sesaat ia ingat Robi. Seharusnya laki-laki itu sudah sampai di tujuan. Tapi entah mengapa sampai malam menjemput belum ada kabar apapun untuk Rara. Karena alasan tidak ingin menganggu Robi, Rara tidak mendahului untuk bertanya.

"Aku ke Solo untuk menenangkan diri. Jadi untuk apa mencari banyak teman. Robi sendiri saja sudah cukup menghiburku untuk melupakan sejenak masalah yang ada."

"Sedikit tapi istimewa lebih baik dari pada banyak tapi biasa saja." Bagas tersenyum penuh arti.

Dari pada pemikiran Bagas menyimpulkan terlalu jauh, lebih baik Rara memperjelas keadaan yang sebenarnya.

"Aku membantu Robi, mencari Ibu kandungnya yang kabarnya ada di Jakarta."

Bagas tersenyum. Rara tidak pandai menyembunyikan perasaan. Ia ibarat buku terbuka yang siap dilihat kapan saja. Bagas yang memahami ini, melihat penjelasan yang diberikan oleh Rara adalah sebuah alasan untuk menutupi kebenaran. Sebenarnya ada sebuah perasaan yang bermain dalam hubungan mereka yang masih malu untuk diakui Rara.

"Biasanya jatuh cinta, salah satu obat untuk mengobati sebuah luka."

Wajah Rara merah padam dibuatnya. Lampu gazebo dan lampu taman yang hidup tidak mampu menyembunyikan rona merah yang memenuhi wajah oval milik Rara. Gadis ini malu, karena Bagas bisa mengetahui rahasia hatinya saat ini.

Bagas merangkul bahu Rara. Menggenggam tangannya. Hal ini selalu dilakukan jika Rara merasa terpojok dan takut untuk membuka perasaannya. Genggaman tangan Bagas seakan sebuah kekuatan yang akan membuat Rara mampu untuk jujur akan perasaannya, sehingga rasa takut itu lambat laun bisa berkurang.

"Kalau kau menyukai Robi, bagiku tidak ada masalah, tapi sebaiknya kau pulihkan dulu perasaanmu terhadap Anna. Dan yang paling penting maafkan Papa." Sebuah nasihat diberikan kepada Rara.

Gadis itu hanya diam. Jauh di dalam hatinya ia ingin protes, karena bagi Rara tidak ada korelasi antara ia jatuh cinta dengan menerima kehadiran Anna. Kalau untuk memaafkan Papa itu sudah pasti akan dilakukannya.

"Ra, cobalah memahami keadaan ini ya? Beban ini sebenarnya bukan hanya milikmu tapi milik kita. Papa juga terbebani Ra. Jadi agar semua ini bisa kembali seperti semula, belajarlah untuk menerima kenyataan yang ada. Bahwa Anna adalah anggota keluarga kita saat ini. Percayalah setelah ini bisa kau terima, hubunganmu dengan yang lain akan berjalan dengan baik."

Nasihat Bagas dicermati Rara. Apakah akan dipertimbangkan atau justru diabaikan, Rara akan mencoba mempelajari dan menelusuri semuanya. Sehingga semuanya menjadi baik untuk semua.

"Aden, Non. Ibu sudah menunggu di meja makan." panggilan Mbok Rah pelayan rumah ini menghentikan diskusi Bagas dan Rara.

Bagas dan Rara berjalan memasuki rumah induk dan menemui wanita yang paling mereka sayangi di dunia ini. Rumah ini adalah tempat mereka pulang dari segala kemelut yang ada. Rumah ini yang memberi mereka kehangatan sebuah keluarga. Melalui dekapan erat Mama dan Papa, mereka bisa merasakan kasih dan sayang dari orang tua yang sebenarnya.

Apapun yang terjadi di sini, ini tetap sebuah rumah bagi Rara. Rumah yang akan selalu dirindui, rumah yang selalu menghangatkan jiwa. Di rumah ini ia tumbuh dan ditempa jadi perempuan yang hebat, perempuan yang menerima segala curahan kasih dan sayang dari orang yang sama sekali tidak memiliki pertalian darah dengannya, karena itu Rara belajar untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat yang istimewa, serta tetap memiliki rasa yang sama seperti sebelumnya.

Semoga ketika Rara bisa berdamai dengan keadaan, ia bisa merasakan keindahan cinta Robi kepadanya. Satu-satu akan dibenahinya. Karena tujuannya pulang selain menolong Robi juga untuk menyelesaikan permasalahannya.

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang