Rara sudah berkali-kali mengganti posisi duduknya. Kadang punggung disandarkan, kadang ia membungkuk, kadang kaki satu naik menopang pada kaki yang lain. Kadang kedua kakinya naik bertumpu pada kursi yang ada didepannya.
Ia tidak tahu sudah berapa lama ada di tempat ini. Saat ini yang dirasakannya adalah ketenangan, walau mungkin hanya sebentar. Sang waktu adalah musuhnya saat ini. Entah berapa lama lagi ia akan mampu bertahan, atau mungkin ia akan berdamai dengan keadaan dan menerima semua ini dengan ikhlas.
Pukul 16.30 ketika Rara melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Berarti sudah hampir dua jam ia duduk sendiri disini. Mencoba mencari penyelesaian tapi yang didapat justru keresahan. Mencoba untuk bertanya pada hati yang didapat justru ia menjadi benci dengan takdir yang berlaku kini.
Dengan enggan ia bangkit dari duduknya. Kalau tidak kerena memikirkan Ibu ia akan memilih untuk melewati malam disini. Tapi Mama tidak boleh dibuat khawatir. Kesedihan yang ia miliki sekarang belum sebesar dan seberat kesedihan yang diterima oleh Ibu.
Baginya saat ini bukan hanya belajar menghibur hatinya, tapi yang terpenting adalah bagaimana menghibur Mama. Sejak pertengkaran kedua orang tuanya kemaren, Rara sudah menemukan terlalu banyak luka yang diterima oleh Mama. Sekarang ia dan Bagas berusaha untuk menyembuhkan luka itu.
"Aku tidak pantas ada di rumah ini, Mas!" tegas Rara pada Bagas ketika mereka berbincang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
"Bukan kita yang memutuskan," jawab Bagas
Rara tidak dapat menerima, ini tergambar dari pandangan matanya kepada Bagas, dengan lirih Rara berkata, "Yang berhak sudah ada!"
"Ra, Papa dan Mama adalah orang tua yang bijaksana. Biarlah mereka yang memutuskan apa yang terbaik untuk kita." Sambil menepuk lembut pundak Rara, Bagas meninggalkan Rara sendiri dalam keresahannya.
Dari awal kejadian ini, Bagas adalah orang yang paling logis bersikap menurut pandangan Rara. Tidak emosi dan tidak risau. Bahkan nampak kesan bahwa ia menerima semua ini dengan lapang dada. Berbeda jauh dengan sikap Rara dan Mama.
Bagi Bagas, apa yang terjadi sekarang dengan munculnya Sri Anna tidak akan mengubah hormat, sayang dan bangganya kepada Papa. Beliau tetap laki-laki hebatnya, laki-laki yang mampu memberikan hati dan cinta utuh tanpa melihat asal dan usul dirinya dulu.
Walau tidak terlalu mengingat kejadian ketika ia mendatangi rumah ini, tapi yang masih dirasakan Bagas sampai sekarang adalah pesan Papa kepadanya ketika ia menjadi bagian dari keluarga ini.
"Mulai sekarang dan seterusnya, kita adalah keluarga, Nak. Tidak perduli apa nanti yang akan berjalan kedepannya. Yang pasti saat ini dan selamanya kamu adalah anak laki-laki Papa."
Bagas ingat pesan itu dari Papa ketika dalam perjalanan dari panti asuhan tempat ia dirawat selama ini ke rumah yang didalamnya nanti akan ada yang dipanggilnya Papa, Mama dan Adik.
Takdir yang terjadi sekarang, membuat Bagas bisa menerima ini semua. Karena apapun keadaannya ia tetap anak laki-laki dari Papa. Tapi apakah sama yang dirasakannya jika yang hadir sekarang bukan Anna tapi yang lain. Apakah ia akan seikhlas ini? Apakah ia akan seoptimis ini? Atau apakah ia tetap memandang Papa tetap sama? Ia pun tak bisa menjawab. Mungkin ia akan sama terlukanya dengan Rara seperti sekarang.
"Mas, aku sudah minta izin Mama dan Papa untuk kerumah Eyang Misnadi di Solo," jelas Rara dua Minggu setelah Ana hadir di rumah ini.
"Sepertinya bakal lama di sana?" tanya Bagas sambil memperhatikan 2 koper yang sudah terkunci dengan rapi.
"Mungkin." jawab Rara sambil memasukkan beberapa barang kedalam tas ransel
"Sekalian mau traveling, Mas."
Lama hening diantara mereka, "Ra! belajarlah untuk menerima ini dengan ikhlas," ucap Bagas sambil membantu Rara memasangkan kunci pada dua travel bag yang sudah full kapasitas.
Semuanya tinggal menunggu hari keberangkatan. Semua sudah dipersiapkan dengan matang, walau waktunya bagi Mama terkesan mendadak. Berbagai penolakan sudah diberikan Mama, tapi begitu banyak juga alasan yang diutarakan Rara sehingga akhirnya dengan berat hati, Mama mengizinkan gadisnya berangkat dalam keadaan terluka.
Banyak kesedihan yang dirasakan Rara ketika Minggu pagi ini ia pamit pada Mama, Papa dan Bagas. Tetap ada air mata yang tergambar pada mata indah bening milik Ibu. Tetap ada pelukan lama dari Papa, yang tidak menghendaki gadisnya pergi dalam situasi seperti ini. Tapi ia harus merelakannya untuk sementara waktu, memberi ruang kepada Rara untuk memahami semua ini. Dan berdoa semoga gadisnya kembali dengan sebuah keputusan yang paling baik.
"Jaga Mama dan Papa untukku, Mas," bisik Rara pada Bagas ketika mereka berpisah di gerbang keberangkatan. Dilepaskannya Rara dari pandangan matanya. Sambil berucap dalam hati, semoga keluarga ini kembali bahagia seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
रोमांसPertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...