Bab 10 : Nasihat Teman

6 0 0
                                        

Pohon beringin yang meneduhkan rumah Pak Nurman, bergoyang ke kanan dan ke kiri karena hembusan angin. Sepasang anak manusia duduk terdiam di sana. Tidak ada yang mereka lakukan, bahkan sajian yang ada dihadapan mereka hanya terletak diam tak disentuh.

Sejak kepulangan Robi dan Pak Nurman dari rumah Pak Joko Purwanto, terlihat perbedaan yang mencolok pada laki-laki gagah tersebut. Lebih banyak diam, lebih banyak merenung dan  terlihat tidak ingin melakukan apa-apa.

Tawaran Pak Nurman yang meminta mereka untuk menginap di dini karena alasan keselamatan, langsung di sambut Rara dengan baik. Biarlah malam ini ia dan Robi beristirahat di sini. Toh, jika mereka lanjutkan perjalanan Rara merasakan kondisi Robi tidak memungkinkan untuk itu.

"Diminum tehnya. Keburu dingin tidak enak lagi!" Perintah Rara sambil menyodorkan cangkir teh ke hadapan Robi.

Terlihat Robi menerimanya dengan separuh hati. Diminumnya seteguk hanya untuk menyenangkan Rara.

"Kau tidak ingin berbagi dengan ku?" tanya Rara

Hening, yang terdengar hanya bunyi jangkrik yang mulai ramai. Langit sudah semakin kelam. Udara di luar juga semakin dingin. Tidak mungkin berlama-lama ia duduk di sini. Robi mungkin tahan, tapi untuk tubuh mungil Rara tentu tidak akan sanggup menahannya.

"Jika begini keadaanmu. Besok kita langsung pulang saja ke Solo. Kalau kau ingin berlama-lama di sini. Aku pulang naik angkutan umum saja." jelas Rara sambil bangkit dari duduknya dan membawa cangkir teh miliknya yang isinya tinggal separo.

Seketika tangan Robi menarik tangannya. Mau tidak mau Rara terduduk. Dan meletakkan kembali cangkir teh tersebut

"Aku minta maaf." ucap Robi

"Apa yang harusku maafkan? Sejak tadi sore kau memang aneh. Tapi tidak ada kesalahan yang kau buat, sehingga harus aku memaafkan." protes Rara.

"Aku mau bercerita. Tapi tak tahu harus yang mana yang akan kusampaikan. Tak sanggup juga aku menyimpannya sendiri. Tapi ...." Robi diam, ia tidak melanjutkan.

Semilir angin yang menerpa puncak beringin, menjadi senandung malam yang dramatis. Sebenarnya Rara menikmati istirahat yang seperti ini. Menyatu dengan alam, lapang tanpa ada batas menatap langit. Seperti ini yang sering dilakukannya kalau sedang gundah melanda hati. Tapi kali ini ia sedang tidak gundah, teman bicaranya yang sedang gundah. Sehingga tidak mungkin bagi Rara untuk tetap menemani tanpa melakukan apa-apa.

"Suasana hatimu sedang tidak baik. Lebih baik besok aku pulang sendiri ke Solo. Kau tinggal Carikan aku mobil saja. Selanjutnya terserah kau mau apa."  ucap Rara sambil kembali bangkit dari duduknya.

"Kau tidak pernah terpikir untuk mencari orang tua kandungmu?" tanya Robi. Yang memaksa Rara untuk duduk kembali.

"Dulu pernah. Tapi sekarang sudah tidak!" jawab Rara.

"Kenapa bisa?" tanya Robi penasaran.

Rara tersenyum. Diperbaiki duduknya. Diteguk teh di dalam cangkir yang yang sudah mulai dingin. Dipandangnya laki-laki yang malam ini kehilangan kegagahan dan kepercayaan diri karena kegalauan hati.

"Betul kau ingin tau alasanku?" tanya Rara

"Iya. Ceritakanlah padaku." pinta Robi

Sejenak Rara menghembuskan napas. Membuang sejenak karbon dioksida yang memenuhi rongga dada. Selain melegakan juga mengusir ketidak nyamanan karena ia harus kembali mengingat kembalo masa lalu yang sudah di kubur dalam-dalam. Membaginya dengan teman yang mengalami nasib yang sama sepertinya.

"Aku mengetahui bukan anak mereka ketika aku berumur 15 tahun. Papa dan Mama yang mengatakan secara langsung. Pertama kali mengetahui itu, rasanya campur aduk. Tapi kecewa lebih mendominasi. Setelah itu kembali aku berpikir, walaupun aku bukan anak mereka tidak ada yang berubah dari sikap  mereka. Mereka tetap sayang, mengurusku dan tetap memperlakukanku sama seperti sebelumnya."

TAKDIR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang