Hari ini tepat Papa berulang tahun, selesai sholat subuh tadi seluruh keluarga ini sudah mengucapkan dan menyampaikan segala doa terbaik melalui sambungan internasional.
Di seberang sana Papa terlihat bahagia ketika melihat Rara sudah kembali kerumah, dan meminta secara khusus nanti untuk ikut bersama Bagas menjemputnya di bandara.
Selesai menikmati menu sarapan buatan Mama, Rara dan Bagas mempersiapkan diri untuk berangkat menjemput Papa. Mama tidak ikut, karena mau memastikan sekali lagi apa-apa saja yang belum dipersiapkan, untuk acara nanti malam.
"Ma, kami berangkat," pamit Bagas mewakili Rara yang sudah berdiri disampingnya.
"Iya, hati-hati. Langsung pulang ya? Kita makan siang bersama dengan Papa di rumah," pesan Mama sebelum mereka berangkat.
Lalu lintas ibu kota pada jam orang berangkat kekantor tidak pernah terlepas dari yang namanya kemacetan. Karena itulah Bagas berhati-hati dalam berkendara, agar kosentrasi terjaga baik Bagas maupun Rara sibuk dengan pikirannya masing-masing. Baru ketika memasuki jalan tol komunikasi antara kakak beradik ini terjalin.
"Kira-kira Papa masih kecewa sama aku nggak, Mas?" tanya Rara. Ada semacam rasa kaku yang Rara rasakan tadi waktu ia bicara dengan Papa melalui telepon. Entah ini perasaannya atau memang seperti itu adanya, karena itu ia bertanya pada Bagas.
"Awalnya iya. Tapi, Mas lihat belakangan ini Papa sudah bisa mengatasinya. Lagi pula hal yang wajar jika Papa kecewa, sedih dan resah. Anak kesayangannya pergi tanpa bisa ia cegah."
"Mas lebih disayang Papa dari pada aku." sungut Rara.
"Hai, enam bulan ini aku yang selalu bersama Papa, Non. Walau tak terucap oleh beliau tapi aku tahu Papa sangat mencintaimu," tegas Bagas meyakinkan Rara.
"Lalu bagaimana sikap Papa terhadap Anna?" Rara kembali mengajukan pertanyaan yang menyakitkan, tapi tetap harus ditanyakannya.
"Biasa saja. Selayak orang tua kepada anak. Tapi tetap kulihat sedikit beda ketika Papa memperlakukanmu." Bagas menjelaskan tanpa mengalihkan pandangannya pada padatnya lalu lintas didepannya.
"Papa sering jalan-jalan berdua dengan Anna?" Kembali Rara bertanya. Seakan apa yang disampaikan Bagas belum cukup untuk menenangkan hatinya.
"Ra, aku mohon jangan kau ungkit hal-hal yang akan membuatmu semakin terluka. Pesanku tolong kau ingat. Jangan pedulikan orang lain, selagi Papa tidak berubah selama itu berarti kau tidak perlu khawatir yang berlebihan."
Kadang apa yang disampaikan Bagas benar. Namun bagi Rara sepertinya itu tidak.memuaskan baginya. Tetap saja Rara berpikir Papa pasti memperlakukan Anna lebih istimewa dibandingkan dirinya. Karena status Anna sebagai anak kandung Papa membuat Rara menjadi semakin tidak nyaman dengan keadaan ini.
"Kau mengundang Robi datang?" Tiba-tiba Bagas mengalihkan pertanyaan.
"Rencana ia. Tapi aku belum ada mengabarinya," jelas Rara.
"Kenapa? Kau sedang tidak marahan kan?"
"Aku tidak berani menganggu dia. Karena Robi yang berjanji mengabariku begitu sampai pada tempat tujuan. Tapi ini sudah tiga hari berlalu. Ia belum juga mengabariku."
Ada nada kecewa dalam penjelasan Rara. Tapi setidaknya ini sedikit bisa mengalihkan kekhawatiran Rara saat ini untuk bertemu dengan Papa.
Rara memandang hampa ke depan. Bertambah lagi apa yang di khawatirkan Rara.
Gerbang bandara internasional Soekarno-Hatta sudah ada di depan mata. Berarti sebentar lagi laki-laki kebanggaan keluarga ini akan kembali ditengah mereka. Rara tidak sabar menanti kehadiran Papa, selain ia merindukan ada beberapa hal yang akan menjadi pusat perhatiannya nanti terhadap Papa dan akan menjawab semua risau di hatinya.
Setelah mencari tempat parkir. Bagas dan Rara bergegas menuju ke gerbang kedatangan internasional. Papan penanda memperlihatkan estimasi kedatangan pesawat yang Papa Naiki sekitar 15 menit lagi. Jantung Rara semakin berdebar tak menentu. Sebentar lagi ia akan memeluk dan melihat secara langsung laki-laki cinta pertamanya, laki-laki yang mampu memberikan cinta kepadanya tanpa pamrih.
Setelah menunggu selama 25 menit, dari kejauhan mata Rara menangkap sosok yang dirindukannya. Gambaran apa semakin lama semakin jelas tertangkap oleh mata. Tidak ada yang berubah pada laki-laki kebanggaannya ini. Masih gagah walau usia tua tidak dapat disembunyikan lagi, masih tampan walau rambut putih sudah.hampir merata memenuhi kepalanya. Tapi bagi Rara, sosok yang ada dihadapannya tetap teristimewa.
"Tidak mau memeluk Papa, Nak?" sapaan lembut penuh kerinduan menyadarkan Rara. Sejenak ia terpaku, bukan ia yang lari memeluk Papa, tapi Papa lah yang menghampirinya dan melesapkan tubuh mungil Rara kedalam peluknya.
Ditumpahkan segala rindu pada anak gadis yang terluka karena kesalahannya dimasa lalu. Disampaikannya permintaan maaf yang dulu belum pernah terucap.
"Maafkan Papa, Nak." hanya itu yang mampu diucapkan oleh Papa dan sesaat kemudian air mata Rara tumpah.
Ini kali kedua ia menangis di tempat yang sama. Pertama ketika ia harus berpisah dengan Robi dan yang kedua kini, ketika ia berjumpa dengan Papa.
"Nanti kita lanjutkan tangisnya di rumah ya Non. Kita nggak mungkin jadi tontonan orang banyak," tegur Bagas menepuk pundak Rara yang masih berada dalam dekap erat Papa.
Papa melonggarkan peluknya. Dipandangnya wajah gadis yang dirinduinya dalam diam. Diusapnya pipi lembut yang basah oleh air mata.
"Ayo kita pulang. Seharusnya sekarang kita bahagia bukan berduka," ucap Papa sambil merangkul pundak Rara dengan erat.
Rara masih terlihat canggung ketika di dalam mobil ia duduk disebelah Papa. Bagas membiarkan kursi disebelahnya tidak terisi. Waktu yang ada diberikan sepenuhnya pada Papa dan Rara untuk pulih dari luka masing-masing.
"Bagaimana kabar Solo?" tanya Papa membuka kekakuan di antara mereka.
"Eyang, Pak De dan Bude sehat semuanya Pa. Mereka titip salam dengan Papa."
Kembali diam. Rara tidak tahu harus membahas apa. Waktu enam bulan jauh dari Papa karena masalah tersebut, membuat Rara kehilangan keakraban dengan Papa.
"Sudah dapat hadiah untuk Papa, Nak?" tanya Papa mengalihkan pertanyaan. Mencoba membahas yang ringan sehingga Rara merasa nyaman.
Rara tersenyum. Laki-laki dengan rambut yang sudah seluruhnya putih itu terlihat bahagia. Ini adalah senyum pertama setelah hampir enam bulan ia merindukan senyum tersebut.
"Nanti Papa pasti akan tahu," ucap Rara penuh rahasia.
"Pasti sesuatu yang istimewa." Selidik Papa.
Kembali Rara tersenyum penuh misteri. Jangankan Papa, Mama dan Bagas yang bertanya tentang kadonya juga tidak diberitahu. Biarlah ini menjadi kejutan bagi Papa nanti malam.
"Rara, berharap Papa menyukaimya nanti." Sebuah pesan tersirat dalam perkataan tersebut.
Laki-laki yang telah membawa Rara kecil sebagai bagian dari tanggungjawabnya terlihat puas. Bukan karena anak gadisnya menyiapkan hadiah untuknya. Tapi adalah sebuah perjuangan yang dilakukan oleh Rara untuk kembali membahagiakannya. Dalam hati ia berjanji tidak akan mengecewakan Rara lagi.
Bersama mereka melangkah menuju ke depan, meninggalkan kepahitan yang pernah hadir. Sekarang tidak adalagi sedih. Bersama mereka dengan waktu yang dimiliki akan kembali merajut keindahan yang sempat terputus, karena sekarang mereka tidak akan berpisah lagi untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomancePertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...