Udara sejuk kota Solo terasa amat beda dengan udara Jakarta yang biasanya panas. Berlama-lama berada di luar ruang pun tidak masalah, tetap nyaman. Seperti hari ini, selesai sholat subuh tadi, Rara memutuskan untuk tidak melanjutkan tidurnya. Rumah Eyang Misnadi yang terletak di ujung desa Manahan dikelililingi dengan nuansa pedesaan yang sangat kental. Pepohonan rindang, rumah penduduk yang asri dengan tumbuhan obat dan bunga di halaman rumah membuat betah mata memandangnya. Di tambah gemericik air sungai yang mengalir dari sungai-sungai kecil yang mengelilingi desa tersebut.
Hari ini perjalanan Rara berhenti tepat di sebuah taman bunga yang berada di ujung jalan berjarak lebih kurang 2 km dari rumah Eyang. Bangku taman yang terbuat dari batang pohon kelapa dengan kombinasi bambu pada sandarannya memberi keunikan tersendiri. Rara memilih tempat yang agak ke ujung jauh dari jalan dan lalu lalang orang.
Sudah hampir dua Minggu Rara ada di rumah Eyang. Silaturahmi kerumah Mbah Sur, Bude Jenar dan Pakde Parwoto sudah dilakukannya. Di setiap kunjungan Rara diminta menjawab pertanyaan yang sama.
"Kenapa sendiri?"
"Papa, Mama dan Bagas kenapa tidak ikut?"
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
Kesemua pertanyaan itu membutuhkan keahlian Rara dalam menjawab. Sehingga tidak timbul pertanyaan lanjutan dan ia pun tidak merasa bersalah karena berbohong pada orang-orang tua di sini. Namun tetap saja kebiasaan yang berbeda dari biasanya ini menimbulkan tanda tanya bagi tetua di sini, sehingga mereka hanya mampu memberi nasihat seakan-akan mereka paham akan kondisi yang dihadapi Rara.
"Nduk, kadang kami orang tua ini tidak selalu benar. Ada kalanya kami tersandung dan salah. Tapi jika kami tidak bicara, bukan karena kami membenarkan kebohongan, tapi karena kami ingin menjaga hati orang-orang yang kami sayangi." Pakde Parwoto memberikan pandangannya ketika tadi malam Rara bersilaturahmi ke rumah saudara laki-laki Mama.
Rara mendengarkan, sepertinya beliau sudah mengetahui, tapi tidak memaksa Rara untuk bicara semuanya.
Kemudian Pakde melanjutkan argumentasinya, "Menerima orang lain dalam hidupmu kini bukanlah perkara mudah. Tapi yakinlah kehadirannya tidak akan mengurangi cinta dan kasih sayang Papamu."
Rara mencoba meyakini semua itu dengan mudah. Ada sesuatu di dalam hatinya berontak dan protes bahwa apa yang disampaikan oleh kerabat ibunya ini bukan penjelasan yang mampu dengan mudah untuk diterimanya. Kehadiran Sri Anna diantara ia dan Papa menumbuhkan keraguan yang besar akan arti cinta seorang ayah kepada dirinya.
Pagi ini kembali Rara merenungi percakapan dan diskusinya tadi malam. Menerima yang baru bukan hal yang mudah untuk keadaannya kali ini. Sebagai gadis satu-satunya selama hampir 23 tahun, dengan kehadiran anak kandung dari ayahnya, membuat ia merasa tidak memiliki hak atas Papa.
Rara menilai kehadiran Sri Anna sudah merambah hak kepemilikannya terhadap Papa dan secara otomatis tanggung jawab Papa kepada dirinya juga sudah tidak ada lagi. Ia gamang, takut dan khawatir, karena pada kesimpulan akhirnya ia tetap tidak mau berbagi Papa dengan Sri Anna.
"Sendiri, Mbak." Suara laki-laki didekatnya menghentikan renungan panjang Rara.
Dihadapannya berdiri, laki-laki dengan tinggi 183 cm, berkulit sawo matang, dengan hidung tinggi dan mata elangnya. Rara tidak mengenalnya sehingga sapaan dari laki-laki itu tidak ditanggapinya.
"Boleh bergabung, Mbak." lanjut laki-laki itu.
Tanpa diminta ia langsung duduk dihadapan Rara. "Kalau punya masalah lebih baik diceritakan Mbak, dari pada dipendam jadi penyakit."
"Kenalkan saya Robi. Lengkapnya Robi Daniel Simanjuntak. Suku Batak, domisili keliling Indonesia, pekerjaan lagi diusahakan."
Cara perkenalan yang unik. Mau tidak mau Rara tersenyum menanggapinya. Dia laki-laki gigih yang tidak akan surut langkah karena ditolak. Ia akan terus berjuang sampai apa yang didapatkannya berhasil.
"Rara!" Singkat dan padat cara Rara memperkenalkan diri. Laki-laki yang bernama Robi tersebut tersenyum.
"Dilihat dari tampilan, sepertinya namamu bukan hanya secuil itukan?" Tanyanya sambil tetap tersenyum.
Setiap senyuman yang terukir dari bibirnya, menambah nilai istimewa laki-laki ini di mata Rara. Ada sebuah ikatan yang dirasakan Rara, bahwa laki-laki ini walau unik dan sedikit urakan dalam penampilan adalah laki-laki baik. Entah apalagi daya pikat yang ditawarkan laki-laki ini. Yang pasti Rara merasa terhibur, sedikit dari bebannya terangkat, dan untuk sejenak ia bisa melupakan lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RomancePertemuan Rara dan Robi membuka sebuah kisah dan rahasia kehidupan mereka masing-masing. Cinta yang hadir di antara mereka, tidak mengurangi permasalahan yang mereka hadapi dalam detak kehidupan yang merek jalani. Mampukah Rara dan Robi keluar dari...